ARTIKEL

Pentingnya Tata Kelola Data Dan Informasi Kebencanaan

Dibaca 5 Menit

26 Desember menjadi momen berharga bagi kita untuk mengingat kembali peristiwa bencana tsunami yang melanda di Aceh. Bencana tsunami yang terjadi pada minggu pagi ini berasal dari sebuah gempa dahsyat berkekuata 9.3 skala richter yang berasal dari laut lepas Samudra Hindia. Bencana alam ini tidak hanya merobek dan menghancurkan pembangunan infrastruktur saja. Tapi juga berdampak besar bagi psikologi kehidupan masyarakat Aceh saat ini. Duka bencana alam ini pun menjadi momen ingatan bersama bagi Indonesia dan warga dunia.

Bentang alam Indonesia memang tak bisa lepas dari kebencanaan. Jajaran gunung berapi aktif, patahan lempeng bumi, serta potensi gempa dan tsunami menjadi bagian yang tidak terpisah dari wilayah kepulauan ini. Untuk itu, peristiwa bencana tsunami dan gempa yang terjadi pada 20 tahun lalu di Aceh, menjadi refleksi penting saat ini dan di masa depan.

Masyarakat Aceh mengenang narasi besar peristiwa gempa dan tsunami Aceh melalui banyak cara. Pembangunan monumen, museum, pendekatan budaya dan agama menjadi jalan sosial pemulihan pascabencana. Memori kolektif ini masih bisa kita temukan pada tempat, benda, peristiwa, dan cerita-cerita di masyarakat. Peristiwa ini menjadi ruang koletif bersama bagi penyintas untuk mengingat, melupakan, sekaligus meningkatkan kesadaran kesiapsiagaan bencana di masa depan.

Bencana alam memang bukan hanya terjadi di Aceh saja. Dalam periode momen ini juga bencana terjadi di wilayah lainnya. Tsunami Pangandaran, gempa di Bantul dan Yogyakarta, meletusnya Gunung Merapi, gempa di Padang dan Mentawai, erupsi Gunung Sinabung, tsunami dan gempa di Palu, gempa Cianjur, hingga peristiwa meletusnya Gunung Lewotobi di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.

Berbagai peristiwa bencana alam besar ini menjadi fakta bahwa kita hidup dan menjadi bagian dari risiko rawan bencana. Dimensi kebencanaan juga semakin kritis dan diperparah akibat perubahan iklim dan perilaku pembangunan yang massif di berbagai daerah di Indonesia.

Mendirikan memori kebencanaan melalui pendekatan infrastruktur tentu saja tidak cukup sebagai bagian dari membangun kesadaran mitigasi kebencanaan. Terlebih pembangunan ini tidak melibatkan kesadaran kolektif para penyintasnya. Mitigasi kebencanaan juga tidak hanya selesai dengan urusan pembentukan badan kebencanaan hingga ke level desa. Tapi juga merancang, mengolah, dan menjadikan seluruh data dan informasi sebagai kunci penting dalam membangun ekosistem mitigasi kebencanaan. Ibaratnya, data dan informasi ini seharusnya menjadi jantung utama mitigasi kebencanaan.

Combine Resource Institution (CRI) sebagai organisasi sipil di Indonesia mencatat peranan penting tata kelola data dan informasi kebencanaan ini. Keterlibatan CRI khususnya pada pembelajaran peristiwa gempa dan tsunami di Aceh, bencana gempa dan meletusnya Gunung Merapi, dan Gunung Sinabung. Tiga peristiwa besar ini menjadi pembelajaran berharga bagi CRI dalam memetakan penanganan kebencanaan ke depan. Khususnya, bagaimana mengelola penangangan kebencanaan yang melibatkan banyak aktor, komunitas, lembaga sipil, private, dan lembaga pemerintah secara efektif.

CRI berpandangan bahwa keputusan yang tepat bersumber dari ketersediaan data dan informasi yang akurat yang terkelola dengan baik. Mulai dari pengumpulan data di lapangan, pengamatan, penelitian, kebijakan, hingga data-data sektoral lainnya. Berbagai sumber data dan informasi ini harus selalu dikelola secara berkala, aktif, agar bisa menjadi rujukan penting dalam menyusun kebijakan strategis penanganan bencana. Termasuk di dalamnya untuk menyusun peta kebencanaan hingga ke level desa.

Peranan BPBD selaku pemangku kebencanaan daerah memang menjadi ujung tombak dalam penanganan bencana secara formal dalam mengelola data dan informasi ini. Tentu saja dukungan lintas sektoral pemerintahan perlu memperkuat peranan BPBD lebih jauh agar lebih maksimal dan menjadikan tata kelola data dan informasi ini menjadi bagian inti dari kelembagaan BPBD. Peran BPBD bukan hanya menjadi komandan saat penanganan bencana saja. Tapi juga melingkupi peran yang lebih strategis dan vital.

Data dan informasi ini penting sebagai rujukan utama bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan yang akurat, tepat, dan strategis. Termasuk mendorong dan menyediakan ruang kolaborasi bagi lembaga non pemerintah untuk terlibat lebih jauh. Baik keterlibatan dari komunitas, organisasi sipil, hingga publik lebih luas. Peta data dan informasi ini menjadi syarat penting dalam membangun ekosistem mitigasi kebencanaan dalam pembangunan yang lebih holistik.

Hingga saat ini CRI berperan dan menekankan pentingnya Sistem Informasi Desa (SID) di berbagai wilayah kabupaten di Indonesia. Khususnya di Kabupaten Gunungkidul, Sleman, dan Buleleng, di Bali Utara. SID tidak hanya sekedar berperan dalam mengolah data di desa tapi juga mencakup isu kebencanaan. Data kebencanaan desa ini menjadi model sekaligus penyedia informasi penting dalam memotret peta kebencanaan lebih luas lagi. Pemodelan ini bisa dikembangkan lebih jauh melalui SIKK atau Informasi Kebencanaan Kabupaten yang lebih terintegrasi melalui aplikasi berbasis internet yang ramah bagi siapapun.

Pengalaman di lapangan, pembelajaran penanganan saat terjadi bencana, komunikasi lintas lembaga, hingga inovasi teknologi tepat guna dan fungsional menjadi model dalam mengembangkan gagasan yang lebih kolaboratif dan terbuka. Aspek lain yang tak kalah penting, adalah memaksimalkan peranan komunikasi sebagai media sekaligus teknologi dalam menyediakan data dan informasi kebencanaan sesuai kultur warga setempat.

Praktik dan pembelajaran penanganan kebencanaan ini pun pernah menjadi rujukan bagi komunitas Meister Toya-Usu Geopark di lereng Gunung Usu dan pemerintahan daerah di Hokkaido, Jepang pada 2015. Tiga perwakilan radio komunitas Jalin Merapi yang berada di lereng Gunung merapi berkesempatan untuk berbagi pengalaman mitigasi kebencanaan melalui pengelolaan radio komunitas.

“Saya pernah ke Indonesia dan belajar dari Indonesia tentang pengurangan resiko bencana, gunung api dan tentang pemetaan kawasan rawan bencana. Apa yang saya pelajari saya terapkan di Jepang dengan membuat sistem pembelajaran dan penyadaran mitigasi bencana. Sistem itu berjalan dengan baik sekali di sini. Indonesia memang sangat maju dan berpengalaman dalam pengelolaan kebencanaan,” jelas Okada, senior Komunitas Meister Toya-usu Geopark menjelaskan.

Gunung Usu pernah erupsi pada tahun 2000 dan mengakibatkan kampung di sekitar gunung rusak dan mengakibatkan tiga orang warganya meninggal dunia. Erupsi Gunung Usu menjadi pembelajaran bagi warga desanya untuk melakukan tindakan mitigasi kebencanaan secara mandiri di tingkat lokal.

Radio komunitas di Indonesia memang masih eksis dan menjadi media penyebar informasi yang efektif bagi satu wilayah. Sekalipun tantangan saat ini menghadapi persoalan sumber daya, persyaratan penyiaran, dan digital. Namun, peranan radio komunitas masih relevan dan tidak bisa tergantikan dengan perkembangan teknologi digital sekalipun. Hingga saat ini, bagi warga Gunung Usu, radio komunitas masih melayani untuk menyediakan hiburan, sarana edukasi, dan informasi kebencanaan.

Jepang tentu saja serius dan disiplin dalam melaksanakan upaya mitigasi kebencanaan di tingkat nasional hingga ke daerah. Mereka menyadari geografi wilayah Jepang tidak bisa lepas dari risiko kebencanaan. Untuk itu, ketersediaan data dan informasi yang akurat, tepat, dan efisien, menjadi bagian penting dalam pembangunan dan budaya keseharian mereka. Pengalaman efektifitas data dan informasi inilah yang menyelamatkan ribuan nyawa mereka ketika terjadi tsunami pada tahun 2011 silam.

Warga Jepang menjadi manusia pembelajar dan menyerap berbagai pengalaman penting dari berbagai negara lain. Termasuk penanganan kebencanaan yang melibatkan inisiasi komunitas di Gunung Merapi melalui Jalin Merapi. Praktik-praktik baik inisiasi komunitas ini sangat berharga untuk kembali dipelajari dan disesuaikan dengan perkembangan saat ini.

Sumber daya, teknologi, komunikasi, dan pengetahuan tentu saja mengalami perubahan besar dibandingkan dua puluh tahun lalu saat terjadi tsunami dan gempa di Aceh. Mitigasi kebencanaan yang kolaboratif, dukungan inisiasi komunitas dan organisasi sipil, hingga membangun tata kelola data dan informasi yang utuh, menjadi agenda utama dalam membangun mitigasi kebencanaan hingga ke level desa.

Agenda di tahun 2025, CRI bersama Pujiono Center juga bergerak untuk memitigasi kebencanaan di wilayah pesisir Jawa Selatan. Mulai dari Tasikmalaya hingga ke Trenggalek dengan fokus pendampingan pada komunitas sekolah melalui pengembangan akses penguatan internet. Jawa Selatan juga masuk dalam peta rawan bencana tinggi. Program ini dirancang untuk merespon ancaman potensi gempa megathrust yang dilansir oleh BMKG.

Mitigasi kebencanaan adalah upaya tanpa lelah untuk membaca alam dan merespon tindakan manusianya dengan tepat. Data dan informasi membantu kita memandu kehidupan lebih baik.

Di penghujung akhir tahun 2024 ini juga menjadi momen untuk membaca kembali linimasa kebencanaan di Indonesia. Sejauhmana kita sudah tepat dan benar dalam melihat penanganan kebencanaan ini. Tidak hanya menyikapi bencana yang disebabkan oleh alam saja. Melainkan oleh perilaku manusianya sendiri yang cenderung desktruktif dan eksploitatif.

Related posts
ARTIKELBERITA

Kick-off Meeting CRI Bersama Pemangku Pendidikan Pangandaran: Pembekalan Keterampilan Digital & Kebencanaan

Nia Sulastri, guru SD Negeri 2 Pangandaran, salah satu peserta yang mengikuti kick-off meeting program Peningkatan Jaringan Internet Sekolah & Keamanan Pelatihan…
ARTIKELBERITA

Tingkatkan Literasi Digital Dan Mitigasi Kebencanaan Bagi Komunitas Sekolah Dasar Di Pesisir Jawa Selatan

Combine Resource Institution atau CRI melaksanakan program Peningkatan Jaringan Internet Sekolah & Keamanan Pelatihan Internet Bagi Guru, Orangtua, dan Murid di Wilayah…
BERITA

CRI Memaparkan Konsep Integrasi DTKS di Lombok Utara

Kamis, 28 Januari 2020, Combine Resource Institution (CRI) memaparkan hasil analisis untuk rujukan perancangan konsep integrasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) melalui…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *