Perjalanan 20 Tahun Combine Resource Institution

Usia Combine Resource Institution (CRI) sudah menginjak angka 20 pada tahun 2021. Sejak berdiri, CRI bercita-cita besar mendorong terciptanya warga berdaya secara ekonomi, sosial, budaya dan politik, melalui pengelolaan informasi berbasis komunitas. CRI berupaya mendorong penguatan institusi lokal, jejaring warga, serta kapasitas warga di bidang informasi tata kelola sumber data melalui pemanfaatan teknologi informasi komunikasi. Untuk mencapai itu, CRI menyusun berbagai program yang berfokus pada empat hal, yaitu: pemberdayaan media komunitas, respon kebencanaan, tata kelola satu data, dan literasi keamanan digital. Tentang bagaimana dinamika CRI dan program-program yang digagasnya hingga hari ini akan dipaparkan dalam paragraf-paragraf berikutnya.

2001 — 2002

CRI sebagai lembaga berasal dari sebuah program pemberdayaan komunitas bertajuk Community-based Information Network (COMBINE) yang dijalankan sejak akhir tahun 1998. Program COMBINE digagas untuk mendorong terbentuknya jaringan komunitas antar-daerah agar bisa terhubung dan saling mendukung menjadi komunitas yang berdaya. Demi mewujudkan komunitas yang berdaya, yang dilakukan adalah dengan menguatkan kelembagaan komunitas dan mengembangkan sistem informasi berbasis komunitas. Penguatan kelembagaan diupayakan dengan cara sosialisasi dan pendampingan pengembangan komunitas. Sementara sistem informasi berbasis komunitas dikembangkan melalui ide memunculkan media komunitas (medkom) yang berupa mading warga, buletin, hingga radio komunitas (rakom). Sasaran program ini adalah komunitas-komunitas lokal yang ada di tiga kota: Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Tidak bekerja sendirian, dalam menjalankan program COMBINE, CRI bermitra dengan Pawarta (Paguyuban Warga Yogyakarta) dan AKPPI (Asosiasi Konsultan Pembangunan Permukiman Indonesia). Adapun Ford Foundation juga terlibat sebagai donor program.

Pada tahun 2001, setelah tiga tahun berjalan, semangat program COMBINE diteruskan untuk pendirian sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang hari ini dikenal sebagai CRI. Dengan demikian, para pendiri CRI merupakan orang-orang yang bekerja untuk program COMBINE. Disebabkan oleh cakupan wilayah kerja yang berada di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, maka dibukalah kantor CRI di tiga kota tersebut. CRI sebagai lembaga kemudian melanjutkan program COMBINE hingga tahun 2003.

Sambil menjalankan program COMBINE, pada tahun 2002, CRI terlibat dalam upaya advokasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran di Jakarta. Amandemen UU No 24/1997 tentang penyiaran yang tidak mengakui eksistensi lembaga penyiaran komunitas adalah latar belakang digagasnya program ini. Demi mencapai tujuan advokasi tersebut, CRI yang bekerja sama dengan Tifa Foundation, Yayasan IdeAs, dan Pawarta mengumpulkan para perwakilan radio komunitas yang tersebar di seluruh penjuru pada Mei 2002 di Jakarta. Para rakom yang tergabung  dalam program advokasi RUU Penyiaran – yang berasal dari Sumatera Utara, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara – dipertemukan dalam sebuah lokakarya untuk bersama-sama membahas persoalan yang dihadapi oleh masing-masing rakom sekaligus menyusun strategi advokasi penyiaran komunitas.

Terlaksananya program advokasi RUU Penyiaran tidak hanya membuat Undang-Undang Penyiaran mengakui eksistensi lembaga penyiaran komunitas pada bulan November 2002, melainkan juga menjadi penghubung antar jaringan rakom di Indonesia hingga pendeklarasian terbentuknya Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) pada 15 Mei 2002.

2003

Tahun 2003, beberapa kecamatan di Indonesia menjadi sasaran Program Pembangunan Kecamatan (PPK). Program pembangunan tersebut digagas untuk menanggulangi kemiskinan dengan prinsip utama: melibatkan peran masyarakat untuk terus memantau/memonitoring prosesnya. Sosialiasi dan monitoring program tersebut pada mulanya disampaikan lewat mading yang terdapat di kantor kecamatan. Akan tetapi, pemanfaatan sarana informasi mading dalam PPK dirasa kurang maksimal fungsinya. Hal ini disebabkan karena para warga jarang mengunjungi kantor kecamatan sehingga berbagai informasi tentang PPK yang terpampang di mading kantor kecamatan jarang dibaca oleh warga. Di samping kurang berpotensi untuk menjangkau banyak pihak, mading dianggap sebagai media yang tidak partisipatif dan persuasif.

Demi menyiasati permasalahan yang telah diuraikan di atas, pihak PPK bekerja sama dengan CRI untuk mencari alternatif pengganti mading sebagai sarana informasi dan pemantau program tersebut. Radio komunitas kemudian diuji coba untuk menjadi pengganti mading dalam mensosialisasikan dan memonitoring program PPK. Rakom dianggap dapat menjadi sarana  sosialisasi pembangunan yang partisipatif dan efektif.

Uji coba pemanfaatan rakom sebagai sarana monitoring program pembangunan oleh masyarakat- yang dalam internal CRI dikenal sebagai program Community Radio Monitoring (CRM)-dilaksanakan di lima lokasi sasaran yang tersebar di Provinsi Lampung, Jawa Barat, DIY, dan NTT. Para kader pegiat rakom dipilih dan diberi penguatan kapasitas tentang pemanfaatan hingga pengelolaan kelembagaan rakom. Selain pelatihan, CRI juga terlibat dalam pendirian dan penguatan kelembagaan rakom di Lampung dan NTT. CRI terlibat dalam kegiatan tersebut selama beberapa bulan. Dimulai pada bulan April dan berakhir pada bulan Agustus 2003. CRI juga terlibat dalam proyek serupa di tahun 2004 dengan sasaran lokasi yang berbeda.

2004

Bekerja sama dengan VHR (Voice of Human Right), dan memperoleh pendanaan dari Tifa Foundation, pada tahun 2004 CRI mulai menjalankan program Saluran Informasi Akar Rumput (SIAR). Program tersebut merupakan wadah yang menjadi tempat pengelolaan proyek siaran bersama antar radio komunitas dengan pemanfaatan teknologi internet. Tujuan dirancangnya SIAR adalah demi mendorong terciptanya sinergi antar rakom melalui jaringan informasiyang mengutamakan kecepatan, keakuratan, interaksi, dan demokrasi. Jaringan radio komunitas yang kuat akan memunculkan gotong-royong untuk menyuarakan dan mengadvokasi isu yang sama-sama sedang mereka hadapi walau di lokasi yang berbeda. Sasaran program ini yaitu beberapa rakom yang tersebar di wilayah Jabar dan DIY.

Pegiat rakom sasaran program SIAR diberi penguatan kapasitas melalui pelatihan TI yang meliputi: teknik-teknik dasar mengoperasikan komputer, intalasi jaringan, pemanfaatan sistem Linux, hingga penggunaan website. Tidak hanya pelatihan berbasis teknologi, CRI juga memberikan pelajaran jurnalistik dan mendalami metode produksi konten. Bersama VHR, CRI  memberi pemahaman tentang isu HAM, sosial, budaya, dan ekonomi sebagai pijakan wawasan untuk menciptakan produk informasi. Tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh para pegiat SIAR dipublikasikan di situs web www.siar.or.id. Selain mengupayakan penguatan kapasitas bagi pegiat rakom yang tergabung dalam program SIAR, CRI juga memberi dukungan infrastruktur berupa peralatan TI agar semakin menunjang proses siaran bersama. Program SIAR berjalan selama hampir dua tahun, yakni sepanjang November 2004 hingga Maret 2006.

Selain menjadi tahun awal lahirnya program SIAR, 2004 juga menjadi tahun terakhir bagi CRI Bandung dan Jakarta beroperasi. Kedua kantor CRI di kota tersebut ditutup dengan alasan efisiensi dan efektivitas lembaga. Sementara itu, kantor CRI Yogyakarta terus berupaya menyusun program-program pemberdayaan masyarakat tanpa mengesampingkan kestabilan keuangan lembaga.

2005

Aceh Emergency Radio Network (AERNet) dan Aceh Reconstruction Radio Network (ARRNet) merupakan dua program respon kebencanaan di bidang komunikasi dan informasi yang dijalankan oleh CRI sebagai respon atas bencana tsunami di Aceh dan Nias. AERNet adalah program respon cepat yang berdurasi 3 bulan yang kemudian dilanjutkan dengan program pemulihan/rekonstruksi yaitu ARRNet yang berdurasi 3 tahun. Dua program tersebut dirancang guna mempermudah pertukaran informasi antara pihak korban bencana dengan pihak pemberi bantuan tentang penyaluran bantuan; data kerusakan infrastruktur; hingga korban meninggal maupun hilang pasca tsunami Aceh dan Nias melalui pemanfaatan radio komunitas.

Radio komunitas didirikan di beberapa titik terdampak bencana yang tersebar di Aceh hingga Nias. Total adal 45 radio komunitas yang didirikan hingga program ARRNet berakhir. Selain memanfaatkan radio komunitas, website juga digunakan dalam menunjang pertukaran dan persebaran informasi terkait aksi pemulihan Aceh dan Nias.

Dalam menjalankan program AERNet dan ARRNet, CRI mendapatkan dukungan pendanaan dari Japan Social Development Fund (lembaga pemerintah Jepang) yang disalurkan melalui World Bank. CRI juga memperoleh dukungan dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) dan dinas terkait yang ada di Aceh maupun Nias. Melalui program kebencanaan AERNet dan ARRNet, CRI menemukan peluang pemanfaatan media komunitas dalam aksi respon kebencaan. Melalui dua proram itu pula, CRI mulai dikenal sebagai LSM spesialis tata kelola informasi dan komunikasi dalam kebutuhan respon bencana alam. Citra tersebut berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Tercatat bahwa CRI beberapa kali menjalankan program lain dengan konsep serupa di tahun-tahun selanjutnya.

2006

Di tahun 2006 dalam situasi erupsi Gunung Merapi di DIY dan sekitarnya, CRI mencoba menjalin hubungan dengan beberapa radio komunitas yang secara geografis terletak di kawasan lereng Merapi. CRI mendorong agar rakom-rakom di lereng Merapi membentuk sebuah jaringan informasi agar dapat saling bertukar kabar terkait aktivitas Merapi. Walhasil, di tahun itu terbentuklah sebuah Jaringan Informasi Lingkar Merapi (Jalin Merapi) yang beranggotakan tiga rakom yaitu Lintas Merapi FM (Klaten), MMC FM (Boyolali), K-FM (Magelang).

CRI memberikan penguatan kapasitas berupa pelatihan pemanfaatan teknologi bagi para rakom anggota Jalin Merapi sebagai bentuk dukungan. Dari tahun ke tahun, anggota Jalin Merapi bertambah yang tadinya dari 3 rakom menjadi 8. Kelima rakom yang bergabung dengan Jalin Merapi adalah Gema Merapi FM (Sleman), Lahara FM  dan Gema Swara (Magelang), Merapi FM dan Gemi Nastiti FM (Boyolali). Jalin Merapi memiliki kelembagaan dengan struktur seperti kebanyakan lembaga warga lainnya. Hingga kronik ini ditulis, Jalin Merapi masih bertahan sebagai sebuah lembaga warga.

2008

2008 menjadi tahun lahirnya program Suara Komunitas (SK) yang sumber pendanaannya berasal dari HIVOS. Secara konsep dan cita-cita, program SK sama seperti SIAR (2004). Kegiatan demi kegiatan yang dilakukan dalam program pun sama. Perbedaannya adalah jumlah radio komunitas yang bergabung dengan SK lebih banyak dan tersebar hingga luar Jawa (Aceh, Lampung, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTB). Produk berita yang dihasilkan oleh para kontributor SK tersimpan dan dapat diakses melalui situs website www.suarakomunitas.net. Program SK berakhir pada tahun 2014.

2009

Pada tahun 2009, CRI kembali terlibat dalam program pemanfaatan media komunitas sebagai alat monitoring program pembangunan oleh masyarakat akar rumput. Program tersebut bertajuk DISKUSI (Radio Komunitas untuk Akuntabilitas dan Transparasi). Secara konsep, tujuan, hingga kegiatan, DISKUSI sama dengan program CRM (2003). Yang menjadi pembeda adalah program DISKUSI tidak hanya mengembangkan rakom sebagai sarana monitoring dan partisipasi warga dalam program pembangunan, melainkan juga mendorong pemanfaatan buletin komunitas.

Program DISKUSI dijalankan demi mendukung berjalannya program PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri, yang mempunyai prinsip utama bahwa partisipasi masyarakat dalam jalannya program pembangunan dan penanggulangan kemiskinan itu penting. Program DISKUSI berjalan selama tiga periode, yakni di tahun 2009, 2010, dan 2012. Program DISKUSI mendapatkan pendanaan dari World Bank yang disalurkan melalui PNPM Mandiri. Adapun sasaran dari program DISKUSI adalah komunitas akar rumput di Aceh, Lampung, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Barat.

Di samping mulai menjalankan program DISKUSI, CRI juga memulai gagasan untuk merancang produk pengetahuan berbentuk aplikasi yaitu Sistem Informasi Desa (SID). Di awal periode kemunculannya,  SID adalah respon atas kebutuhan administratif di beberapa desa di DIY yang terdampak bencana gunung meletus maupun gempa bumi. Erupsi Merapi tahun 2006 dan gempa  DIY pada 2006 menimbulkan beberapa masalah, yang antara lain adalah soal administrasi desa.  Sebab itulah, CRI mencoba merespon kebutuhan yang berasal dari desa-desa tersebut. Lewat SID, CRI  membantu pemerintah desa untuk mendokumentasikan data-data desa dengan basis data yang lengkap dan mutakhir. SID juga diciptakan untuk mendukung terwujudnya upaya pelayanan publik yang cepat di tingkat desa. Seiring dengan berjalan waktu, SID berkembang menjadi sistem tata kelola data yang dipakai acuan untuk perencanaan dan pengambilan kebijakan di tingkat desa.

SID diperkenalkan untuk yang kali pertama di Desa Terong, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul. Dimulai dengan sosialisasi dan pelatihan soal tahap awal program yang kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan data kependudukan dan pengembangan sistem. SID kemudian disosialisasikan di beberapa desa lain di Yogyakarta dan sekitarnya. Dalam perjalanan mengembangkan SID, CRI bekerja sama dengan pemerintah desa, juga lembaga nonpemerintah seperti IDEA.

2010

Pada tahun 2010, CRI mengalami pergantian struktur lembaga yang tadinya hanya terdiri atas satu unit program kemudian dipecah menjadi empat. Unit pertama adalah Suara Komunitas (SK) – nama unit terinspirasi dari program SK yang sudah dijalankan oleh CRI sejak 2008. Unit SK berperan sebagai fasilitator jaringan informasi komunitas. Unit kedua yaitu Pasar Komunitas (PK) yang bekerja untuk pengembangan praktik ekonomi keadilan berbasis jaringan informasi komunitas. Unit ketiga adalah Lumbung Komunitas (LK) yang menjalankan tugasnya sebagai pengembang gagasan tata kelola data di tingkat desa melalui Sistem Informasi Desa (SID). Unit keempat ialah Tikus Darat (Tim Komunikasi-Informasi untuk Situasi Darurat) yang merupakan unit pemberdayaan tata kelola informasi dalam mitigasi maupun respon kebencanaan.

Tahun 2010 juga menjadi penanda perdana CRI menyelenggarakan acara Jagongan Media Rakyat (JMR). Acara tersebut menjadi forum sekaligus momentum bagi berbagai media komunitas dan kelompok masyarakat sipil untuk saling berbagi maupun berkolaborasi. Digelarnya JMR diharapkan dapat memperkenalkan dan menunjukkan eksistensi serta prinsip-prinsip jaringan informasi berbasis akar rumput yang banyak digagas oleh komunitas. JMR juga diharapkan mampu membangun jaringan kerja antar para pengelola media komunitas,

JMR biasanya digelar dalam 3-4 hari dan diisi oleh berbagai kegiatan diskusi, workshop, hingga pameran yang mengangkat tema media hingga isu-isu yang dekat dengan rakyat. Para mitra kerja CRI baik itu LSM, hingga organisasi komunitas dilibatkan dalam acara ini. JMR kemudian menjadi acara rutin 2 tahunan yang digelar pada 2012, 2014, 2016, dan 2018.

2011 — 2012

Di tahun 2012, CRI memulai program kebencanaan Tangguh Merapi yang didanai oleh JICA (Japan International Cooperation Agency) dan disalurkan melalui FM YY (sebuah radio komunitas spesialisasi kebencanaan yang berasal dari Jepang). Program Tangguh Merapi yang berdurasi kurang lebih 40 bulan merupakan program pelatihan persiapan menghadapi bencana. Program Tangguh Merapi menjadikan para pegiat rakom yang sebelumnya telah terjaring dalam gerakan Jalin Merapi sebagai kelompok sasaran. Melalui program Tangguh Merapi, CRI yang berkolaborasi dengan FM YY mengadakan pelatihan DMAM (Disaster Management Audio Material) yang harapannya dapat membantu warga sekitar lereng Merapi dalam pengurangan risiko bencana. Selain memberikan pelatihan DMAM kepada pegiat rakom, CRI melalui Tangguh Merapi juga beberapa kali memberikan pelatihan dasar kebencanaan dengan menyasar anak-anak dan perempuan, misalnya Pelatihan Bokomi (metode kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas yang dikenalkan oleh Jepang).

2013 — 2014

CRI mengadakan Temu Media Komunitas di Pulau Bali pada bulan Oktober tahun 2013. Pada pertemuan ini, CRI mengundang beberapa media komunitas dari berbagai latar belakang. Diadakannya acara tersebut adalah sebagai ruang bertukar pengalaman bagi para pegiat rakom dengan isu wilayah yang beragam. Di samping itu, pertemuan ini juga dimaksudkan untuk menggali potensi kolaborasi antarpeserta dengan bertukar pengalaman dan keahlian.

Dari Temu Media Komunitas, CRI beralih pada kegiatan Internet Governance Forum (IGF) yang dilangsungkan di waktu yang hampir bersamaan. Pertemuan yang juga diselenggarakan di Bali ini merupakan kolaborasi antara CRI dan ICT Watch. Momentum ini menjadi kali pertama bagi CRI bersentuhan dengan isu tata kelola internet yang menjadi pijakan penting dalam pembahasan tata kelola data, juga isu literasi digital yang kelak di tahun 2018 mulai digarap secara serius sebagai salah satu fokus kerja lembaga.

Di tahun 2013, CRI juga disibukkan dengan kegiatan memperkenalkan SID ke beberapa daerah di luar Jawa (NTB. NTT, dan Sulawesi Tenggara) yang mendapatkan dukungan dari program ACCESS. Walau sibuk dengan kegiatan sosialisasi SID di luar Jawa, bukan berarti desa-desa yang sudah terlebih dahulu dijajaki kemudian dilupakan begitu saya. CRI melakukan pendampingan pemanfaatan integrasi data SID untuk acuan analisis kemiskinan di beberapa desa di Kabupaten Gunungkidul. Program pendampingan tersebut dikerjakan bersama lembaga IDEA, SAPA (Strategic Alliance for Poverty Alleviation), dan TKPKD (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah) setempat.

Berikutnya, di tahun 2014, CRI mulai menargetkan SID yang menjangkau level pemerintahan yang lebih tinggi. Maka digagaslah SID Supra Desa yang diterapkan sebagai sistem tata kelola data di level kabupaten. SID Supra Desa mensyaratkan agar data-data di level desa sebagai sumber data di lini paling dasar harus akurat dan rutin diperbarui secara partisipatif. Dengan demikian, SID Supra Desa ini tidak bisa dipisahkan dari pengelolaan SID di tingkat desa. Gunungkidul menjadi kabupaten pertama yang menjadi sasaran pemanfaatan SID Supra Desa. Beberapa desa di kabupaten tersebut dijadikan desa percontohan untuk menerapkan SID yang terhubung dengan SID Supra Desa. Beberapa wilayah di Indonesia yaitu Kebumen, Temanggung, Lombok Utara, hingga beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan kemudian menyusul untuk menerapkan SID.

Di samping fokus pada penerapan SID di banyak wilayah, pada tahun 2014 CRI merespon berbagai bencana alam maupun bencana sosial. Bencana erupsi Gunung Sinabung dan Kelud membuat CRI mengirimkan Unit Tikus Darat untuk menguji pemanfaatan sistem informasi dalam penanganan bencana. Di wilayah rawan sekitar Sinabung, CRI melalui Tikus Darat menggagas saluran informasi lewat radio darurat Sora Sinabung. CRI bekerja sama dengan radio FMYY Jepang dan JRKI untuk memfasilitasi berdirinya radio Sora Sinabung demi memperlancar proses pertukaran informasi di sana.

Sementara itu, di area rawan sekitar Gunung Kelud, CRI yang membantu pemulihan radio-radio komunitas yang tergabung dalam Jangkar Kelud yang sempat berhenti beroperasi akibat terdampak erupsi. Sampai akhirnya Rakom Kelud FM yang telah difasilitasi oleh CRI dapat beroperasi kembali dan menjadi simpul utama pertukaran informasi terkait kondisi pascabencana di sekitar wilayah tersebut.

Dalam merespon bencana sosial, CRI mengirimkan tim pendampingan bagi masyarakat Rembang di mana para penduduk lokal di sana harus berjuang mempertahankan tanah mereka dari pembangunan pabrik semen. Tujuannya adalah agar CRI dapat membantu pengelolaan informasi untuk kepentingan publikasi internal warga maupun eksternal. Publikasi eksternal menjadi penting di waktu itu sebab tidak banyak media massa yang memberitakan tentang situasi mereka. CRI memberikan pelatihan radio komunitas kepada warga Rembang, khususnya menyasar kaum perempuan yang menjadi garda depan perlawanan. Lewat radio komunitas, diharapkan agar pertukaran informasi seputar perjuangan warga Rembang dapat dilakukan dengan cepat dan akurat.

Kaum perempuan sebagai sasaran pemberdayaan berlanjut pada Temu Perempuan Pegiat Media Komunitas yang melibatkan para perempuan pegiat medkom yang tersebar di seluruh Indonesia. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh CRI, jumlah pegiat media komunitas perempuan masih sedikit. Dengan demikian, kegiatan tersebut diselenggarakan sebagai upaya CRI untuk mengarustumakan isu perempuan di media komunitas. Tercatat ada perwakilan dari Radio Suara Perempuan dari Padang; Marsinah FM dan Hapsari FM di Deli Serdang; TIKI Video Komunitas di Papua; dan Jaringmas di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Lewat kegiatan ini, meeka dapat saling berbagi pengalaman dan bertukar pikiran melalui program ini. Mereka juga menjadi saling tahu tentang isu perempuan yang sedang dihadapi di wilayah masing-masing sehingga memunculkan sinergi isu antarkomunitas yang dapat mempermudah advokasi.

2015 — 2016

Pada tahun 2015, terjadi dinamika internal maupun eksternal lembaga yang berujung pada urgensi untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh. Mulai dari refleksi akan perjalanan lembaga selama 14 tahun ke belakang, perubahan konsep dan implementasi program, hingga penguatan kelembagaan baik secara infrastruktur maupun kapasitas staf. Evaluasi tersebut menjadikan empat unit program sebelumnya yaitu Suara Komunitas, Lumbung Komunitas, Pasar Komunitas, dan Tikus Darat mengalami perubahan menjadi dua unit program yaitu UPIK (Unit Pengelolaan Informasi Komunitas), UPSDK (Unit Pengelolaan Sumber Daya Komunitas), dan unit sekretariat sebagai unit penopang unit program. UPIK bertanggung jawab untuk menjalankan program pendampingan media komunitas, dan kelak juga menjadi unit penanggung jawab program literasi digital mulai tahun 2018. Sedang UPSDK sebagai pengelola program tata kelola data berbasis warga.

Pada periode 2015-2016, CRI mulai merintis rancangan fundraising yang serius melalui layanan pelatihan. Lahirlah Sekolah SID yang skemanya adalah pelatihan berbayar. Maka mulailah disusun kurikulum, standarisasi hingga model bisnis Sekolah SID. Pada beberapa kali penyelenggaraan di masa awal, peserta Sekolah SID ini berasal dari antara lain dari Kebumen, Pacitan, Gunungkidul, hingga Lombok Utara. 

Di tahun ini, CRI juga melakukan riset tentang bagaimana media komunitas beradaptasi mengikuti perkembangan teknologi digital. Pesatnya perkembangan teknologi internet mendorong media komunitas berbasis teknologi analog seperti radio dan buletin komunitas untuk beradaptasi dengan situasi. Riset ini merupakan kolaborasi CRI dengan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ada lima media komunitas yang menjadi subjek penelitian ini: Rakom Best FM (Cirebon), Rakom Wijaya FM (Sleman), Rakom Suandri FM (Sumatra Barat), Rakom Primadona FM (Lombok Utara), dan media komunitas berbasis internet Speaker Kampung (Lombok Timur). Hasil penelitian yang dilakukan oleh CRI menunjukkan bahwa media-media komunitas bersedia mengikuti perkembangan teknologi dengan cara mereka masing-masing.

Di tahun yang sama, CRI juga menyiapkan diri untuk menjadi kandidat penerima program BUILD dari Ford Foundation. Program tersebut merupakan program dukungan bagi sebuah lembaga demi tujuan penguatan kelembagaan.  Berbeda dengan dukungan program reguler untuk implementasi program seperti selama ini, BUILD adalah jenis program baru yang didesain Ford Foundation untuk penguatan dan keberlanjutan lembaga masyarakat sipil. Karena sifatnya itu, ditambah durasinya yang cukup panjang yaitu lima tahun, maka tidak semua lembaga bisa mendapatkannya.

2017 — 2019

Setelah melalui proses panjang, akhirnya tahun 2017 hingga 2021, CRI menjadi salah satu lembaga pertama di Indonesia yang menjadi penerima program BUILD dari Ford Foundation.  Sebagai salah satu syarat program, CRI mesti melakukan Organisation Mapping Tools (OMT) yang hasilnya mengerucut pada tiga aspek utama yang akan dibenahi sepanjang program BUILD yaitu advokasi, SDM, dan fundraising. CRI mulai merancang strategi, tujuan, serta sasaran advokasi yang sesuai dengan kapasitas stafnya dan berpedoman pada visi lembaga. Ada tiga isu yang diadvokasi oleh CRI: satu data dari desa, perlindungan hukum bagi media dan jurnalis warga, serta isu literasi digital sebagai bidang terbaru yang coba dijajaki secara serius. Adanya perkembangan teknologi membuat ancaman di bidang digital semakin besar, terutama yang mengincar masyarakat akar rumput sehingga CRI mulai mengupayakan advokasi di bidang tersebut menyusul dua fokus yang lainnya.

Bicara soal penguatan SDM, CRI rutin mengirimkan stafnya untuk mengikuti berbagai pelatihan yang berhubungan dengan fokus-fokus kerja lembaga. Sementara untuk untuk fundraising, CRI memulai untukmerencanakan keberlanjutan lemabaga secara sungguh-sungguh  dengan menggarap fundraising. CRI merancang unit usaha berupa guest house dan training center yang mulai dibangun sejak 2017 dan kemudian beroperasi pada 2019. Guest house dan training center yang diberi nama Griya Jagadhaya tersebut dikelola oleh unit fundraising CRI.

Di samping menguatkan kelembagaan lewat dukungan program BUILD dari Ford Foundation, CRI tetap menjalankan program pemberdayaan dan penguatan kapasitas masyarakat akar rumput seperti yang sudah belasan tahun dikerjakan. CRI fokus mengembangkan strategi satu data dari desa melalui sistem tata kelola data di tingkat desa SIDB (Sistem Informasi Desa Berdaya) dan SIKAB (Sistem Informasi Kabupaten) sebagai sistem informasi di tingkat kabupaten. SIKAB merupakan penyempurna SID Supra Desa yang pernah diperkenalkan di tahun 2014. Di tahun 2018, SIDB dan SIKAB secara resmi menjadi hak kekayaan intelektual CRI melalui pengesahan yang diberikan Kemenkumham. Meski SIDB dan SIKAB termasuk open source yang dapat diakses gratis oleh publik, namun bukan berarti produk pengetahuan tersebut tidak memerlukan perlindungan hukum yang sah. Adanya merek tersebut juga mempertegas hak dan kewajiban CRI maupun para pengguna SIDB dan SIKAB. Sampai kronik ini dibuat, tercatat ada beberapa kabupaten (Gunungkidul. Lombok Utara, Sleman, dan Bantul) yang telah menerapkan SIDB dan SIKAB sebagai pedoman tata kelola data di daerah mereka.

Terkait isu media komunitas, CRI berupaya untuk terus melakukan penguatan kapasitas dan mengadvokasi hak perlindungan bagi pewarta warga. Advokasi dilakukan antara lain dengan riset, kampanye isu, ajang apresiasi, rangkaian pertemuan dan diskusi dengan pemangku kepentingan terutama Dewan Pers dan menguatkan jejaring. CRI juga kembali melakukan riset untuk mengetahui bagaimana media komunitas menjadi ruang publik.

Adapun literasi digital yang mulai digarap dengan serius oleh CRI menyasar kaum perempuan akar rumput sebagai target program. Sasaran tersebut dipilih berdasarkan kajian dan temuan oleh CRI bahwa kaum perempuan menjadi pihak yang lebih rentan di dunia digital, sehingga perlu adanya perhatian lebih kepada mereka. Sejak tahun 2018 sampai 2021, CRI rutin menyelenggarakan berbagai kegiatan pelatihan maupun diskusi daring dengan tema perempuan dan keamanan digital. Para perempuan pegiat PKK Desa Panggungharjo menjadi kelompok pertama yang memperoleh pelatihan keamanan digital pada tahun 2018. Berikutnya, pada tahun 2019 CRI mengadakan pelatihan yang berkolaborasi dengan beberapa TBM (Taman Baca Masyarakat) di Bantul. Ada tiga TBM yang menjadi mitra CRI, yaitu TBM Delima, TBM Teras Baca Guyup Rukun, dan TBM Helicopter Go Book Maos.

Sementara itu, keterlibatan dalam respon dan pemulihan bencana yang pada tahun-tahun sebelumnya juga menjadi fokus kerja CRI tetap dijalankan. Akan tetapi, porsi kerja CRI tidak seintens pada tahun-tahun sebelumnya dikarenakan peran Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) yang telah mampu menjangkau hampir semua kebutuhan di lokasi terdampak bencana, termasuk kebutuhan pengelolaan informasi dan komunikasi. Tercatat pada tahun 2018 CRI mengirim tim untuk merespon gempa di Lombok dan Palu. Tim dikirim untuk melakukan asesmen kebutuhan manajemen informasi pada situasi darurat di sana.

2020 — 2021

Pandemi yang melanda seluruh dunia sejak awal tahun 2020 membuat CRI berusaha untuk beradaptasi dengan situasi. Program BUILD yang sudah dilalui setengah jalan mesti mengalami penyesuaian strategi. Fundraising yang baru dikembangkan mengalami penurunan target yang cukup signifikan akibat pandemi. Sementara penguatan kapasitas SDM dan advokasi yang memerlukan banyak aktivitas fisik untuk mencapai hasil yang maksimal harus diubah menjadi agenda virtual.

Advokasi satu data dari desa misalnya, yang proses koordinasinya dengan para mitra biasanya dilakukan melalui pertemuan offline harus mulai dijalankan secara daring. Sepanjang tahun 2021, seri Focus Group Discussion (FGD) satu data yang digagas CRI dijalankan secara hibrida dengan tujuan agar proses advokasi satu data dari desa tidak putus akibat pandemi. Hal serupa juga terjadi pada program literasi digital dan media komunitas. Beberapa kali CRI mengadakan agenda diskusi daring agar proses transfer pengetahuan tetap bisa dijalankan. Misalnya, diskusi daring peluncuran hasil riset “Ruang Publik Itu Bernama Media Komunitas”  pada tahun 2021. Terakhir, di pengujung tahun 2021, CRI mengadakan aktivitas full daring yaitu Jagongan Melek Digital (JMD) untuk mengampanyekan pentingnya literasi keamanan digital bagi kaum perempuan.[]