OPINI

Bergerak Bersama Warga: Usaha Membangun Kesadaran Literasi

Dibaca 7 Menit
OPINI

Bergerak Bersama Warga: Usaha Membangun Kesadaran Literasi

Dibaca 7 Menit

Sore hari di penghujung November 2018, kami berkumpul. Dingin gerimis di luar tak mampu menerobos hangat obrolan tentang aktivitas literasi dari berbagai tempat. Di depan deretan gamelan full set milik Balai Budaya Minomartani, kami duduk melingkar.

Obrolan itu saya awali dengan membuat kesepakatan bersama mengenai literasi. Dalam rumusan Pusat Bahasa, literasi adalah kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Dengan definisi ini, pemaknaan literasi menjadi sangat luas dan tidak terbatas hanya pada aktivitas membaca dan menulis. Maka kita mengenal berbagai istilah sertaan literasi seperti literasi baca tulis, literasi digital, literasi finansial, literasi gizi, literasi informasi, literasi internet, literasi keuangan, literasi media, literasi numerasi, literasi sains, literasi visual, dan lain sebagainya.

Paparan berlanjut pada pengalaman saya sebagai pegiat literasi di tiga lini, yaitu komunitas, desa, dan sekolah. Saya percaya bahwa apa pun dan di mana pun komunitasnya, proses literasi pasti berjalan di dalamnya. Bertukar pengalaman dan pengetahuan saja sudah merupakan bagian dari aktivitas literasi itu sendiri.

Di lini komunitas ini, biasanya ada dua kategori seperti gambar berikut :

Bagan 1

Pada bagian pertama (sebelah kiri), sebuah komunitas menyadari adanya proses literasi dalam berbagai interaksi di dalamnya sehingga menumbuhkan kesadaran untuk berbagi pengetahuan lebih luas. Kegelisahan anggota komunitas akan merangsang produk-produk literasi yang bisa disampaikan kepada masyarakat umum, tidak terbatas anggota komunitas saja. Sementara komunitas kedua (sebelah kanan) cenderung berhenti sebagai sebuah pengalaman dialog atau terbatas pada komunitas.

Literasi di desa cenderung lebih rumit daripada di komunitas. Kompleksnya kehidupan sosial di dalamnya membuat kita harus lebih hati-hati dalam menyelipkan agenda-agenda literasi. Pada dasarnya masyarakat menyadari pentingnya literasi, namun penerimaannya tak semudah ketika kita menyodorkan nasi bungkus.

Salah satu langkah strategisnya adalah dengan bekerja sama dengan pemangku kepentingan setempat, misalnya, pemerintah desa. Namun itu pun tidak menjadi jaminan apabila pemerintah desa tidak memiliki semangat yang sama. Jika cara ini berhasil, kita bisa menyusupkan agenda literasi melalui lembaga (di bawah naungan) desa, kegiatan-kegiatan desa, pelatihan atau lokakarya, sosialisasi, website desa, dan lain sebagainya.

Literasi di sekolah menjadi paparan terakhir saya. Sayangnya, pengalaman saya dengan unit ini tidak terlalu bagus. Saya bertemu dengan sekolah yang kurang memperhatikan literasi meski ia sendiri adalah lembaga literasi (formal). Sekolah cenderung mengikuti instruksi-instruksi dari dinas terkait daripada membuat inisiatif-inisiatif yang berbasis literasi. Tahunya sekadar mengeluarkan anggaran untuk kegiatan literasi, selebihnya diserahkan kepada pendamping ekstrakurikuler literasi.

Paparan di atas menjadi pemantik diskusi lebih lanjut. Taman Baca Masyarakat (TBM) Guyub Rukun (Dusun Jambon, Bantul), Rumah Baca Komunitas (RBK) (Sleman, DIY), Media Komunitas Warta Desa (Pekalongan, Jawa Tengah), Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani (BBM) (Sleman, DIY), TBM Rumah Asa (Mergangsan, Yogyakarta), dan Radio Komunitas Wijaya FM (Sleman, DIY) berbagi pengalaman proses berliterasi bersama warga di lingkungan masing-masing. Dari ladang yang berbeda, masing-masing menemukan persoalan dan kemudian menciptakan berbagai gagasan serta inovasi untuk bertahan dan akhirnya menjadi penggerak sosial di lingkungannya.

Dari seluruh proses masing-masing komunitas dari awal hingga perjalanannya kini, nyaris memiliki pola yang sama.

Bagan 2

Bergerak Bersama Masyarakat

Sejak awal, masing-masing komunitas telah menyadari dengan siapa mereka berhadapan. Bukan satu atau dua orang, melainkan masyarakat (jamak). Akan tetapi, mereka mengambil segala risiko demi terwujudnya cita-cita bersama. Tak ada perjuangan yang berjalan mulus, berbagai tentangan dan pandangan miring bahkan sering mereka terima.

TBM Guyub Rukun, misalnya. Bukan perkara mudah meminta masyarakat untuk memilah sampah, yang pada akhirnya akan bermanfaat bagi mereka sendiri. Apalagi bagi masyarakat perdesaan, tidak ada tempat khusus untuk membuang sampah. Limbah rumah tangga itu biasanya hanya dikumpulkan lalu dibakar. Kalau tidak, dibuang ke kali.

Namun, pandangan pesimis ini mampu diubah oleh sekawanan anak muda di Sedayu di bawah komando Triyanto, pendiri TBM Guyub Rukun. Melalui penyelenggaraan TBM yang aktif dan partisipatif, mereka berhasil mengambil hati masyarakat. Program-program kreatif mereka justru banyak diminati.

Selain pengelolaan sampah, yang cara-caranya dipelajari dari buku, mereka berhasil menyelenggarakan bimbingan belajar (bimbel). Di desa yang jauh dari keramaian, kegiatan bimbel tentu hal yang asing. Namun kegigihan mereka akhirnya dapat diterima dan murid pun semakin banyak.

Uniknya, untuk membiayai berbagai kegiatan, mereka kerap meminta sumbangan barang bekas kepada warga untuk dijual. Hasil berjualan itulah yang kemudian dapat menjadikan mereka mandiri hingga saat ini.

Pengalaman serupa kita temukan pada kisah Indra, pengelola TBM Rumah Asa. Menghadirkan perpustakaan di lingkungan yang notabene kota, tidak serta-merta dapat disambut baik. Kecurigaan yang cenderung politis diterimanya. Namun Indra memang keras kepala. Ia masih saja melanjutkan aktivitas literasinya itu. Indra mengaku, TBM akan tetap menjadi core dari seluruh kegiatan yang ia gawangi.

Jika Triyanto menjadikan sampah sebagai pupuk kompos, Indra memilih memanfaatkannya untuk literasi sains dengan produk batik ecoprint. Bedanya, sampah yang dimaksud adalah sampah alam seperti dedaunan. Sampah itu dikelola untuk menghasilkan warna yang akan dipindahkan ke kain.

Melalui media sosial dan berbagai pameran produk, lingkungan Indra kini dikenal sebagai Kampung Sains. Produksi batik ecoprint pewarna alam pun menigkat. Konsekuesinya, kampung mereka menjadi rujukan wisata edukatif yang kemudian memunculkan tantangan lain. Pengelolaan pariwisata menjadi PR besar.

Keprihatinan literasi pun dirasakan oleh Kuncoro, pegiat Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani (BBM). Meski tinggal di pinggiran kota yang ramai dan padat–bahkan sebagian merupakan kompleks perumahan–tak menjadikan masyarakatnya sadar literasi. Padahal, tak kurang-kurang lembaga pendidikan mengelilingi lingkungan mereka. Pun ada banyak pengajarnya tinggal di sana.

Meski demikian, Kuncoro tak merasa bahwa yang dilakukan BBM adalah bagian dari laku literasi. Literasi budaya, begitu para aktivis literasi menyebut segala kegiatan Kuncoro. Bersama kroninya, ia mengambil bentuk seni pertunjukan sebagai media dakwah literasinya. Dengan modal seperangkat gamelan, BBM menyampaikan literasi luhur milik moyang dengan beragam variannya.

Wayang, mocopat, karawitan, pertunjukan teater merupakan beberapa aktivitas BBM. Seluruhnya melibatkan pengetahuan kearifan budaya lokal. Bahkan, dari komunitas ini, lahir buku sejarah Desa Minomartani yang selama ini masih abu-abu. Tak ayal jika dengan beragam kegiatannya, BBM mampu menarik banyak komunitas untuk berproses bersama. BBM pun menjadi salah satu kantong budaya di Yogyakarta yang diperhitungkan. Lingkupnya tak lagi hanya lokal, melainkan sudah melebar lebih luas.

Gesekan dengan masyarakat yang paling kuat dirasakan oleh Rumah Baca Komunitas (RBK). Tanaman yang mereka gadang-gadang sebagai salah satu bentuk kemandirian dan ketahanan pangan komunitas, dibabat habis oleh salah seorang warga. Situasi ini boleh jadi disebabkan status mereka sebagai pendatang di Dusun Kanoman, Banyuwaden, Gamping, Sleman. 

Dengan tiga jargon “membaca, menulis, menanam” RBK giat dalam aktivitas literasi. Dengan dukungan relawan mahasiswa, sasaran kegiatan tak hanya masyarakat di lingkungan mereka, melainkan jauh lebih luas. Beberapa agenda rutin mereka adalah RBK for Kids, RBK On the Streets, Diskusi Reboan, dan tentu saja ecoliterasi. Beberapa program lain diusahakan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Di luar kegiatan ini, RBK juga melakukan pendampingan terhadap kaum miskin kota.

Kasus yang cukup berbeda saya dapatkan dari cerita Buono, warga Pekalongan yang mengelola Media Komunitas Warta Desa. Ia bersama teman-temannya bersentuhan dengan warga tidak sebagai kerumunan seperti peserta lainnya, melainkan hadir sebagai media warga. Dulu, ia mengelola radio komunitas, dan kini beralih ke portal daring.

Portal daring ini menyediakan diri sebagai corong warga dengan beragam persoalannya. Namun kehadiran mereka tak sepenuhnya dimanfaatkan warga. Sebagian wagra masih beranggapan bahwa mereka tidak bedanya dengan media lain; semua media sama sehingga membentangkan jarak. Padahal Warta Desa telah menyediakan diri sebagai tameng dan berpihak kepada warga.

Keputusan pengelola portal untuk tidak menerima iklan sebetulnya menjadi persoalan tersendiri. Di satu sisi ada keinginan menjaga independensi, di sisi lain mereka membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit.

Ragam persoalan yang dihadapi oleh komunitas di atas seolah menegaskan bahwa perjuangan sosial tidak pernah sendirian. Combine Resource Institution mempertemukan komunitas-komunitas ini tidak hanya untuk saling berbagi pengalaman, melainkan juga untuk saling meneguhkan. Kita tidak pernah sendirian, meski berada di rel masing-masing.

PR Besar vs Idealisme

PR sebagian besar lembaga ini memang terkesan klasik lantaran mencoba mempertahankan idealisme komunitas dan secara tidak sadar menutup diri dari peluang untuk mendapatkan pemasukan finansial. Misalnya, usul salah satu peserta untuk membuka iklan di website komunitas. Mengapa harus dibenturkan dengan idealisme, seolah nilai-nilai perjuangan akan tereduksi dengan adanya iklan? Padahal tidak selalu demikian. Jika toh iklan mengganggu, pembaca punya pilihan untuk menutup iklan tersebut dan tetap bisa melanjutkan membaca. Iklan tidak akan mengurangi substansi perjuangan komunitas.

Pun demikian dengan membuka peluang publik untuk berdonasi, tidak akan merendahkan suatu komunitas sebagai sekumpulan orang kere. Justru dengan kedua cara ini kita sedang menunjukkan indepedensi suatu komunitas. Kita hanya perlu menguatkan posisi dan daya tawar komunitas kepada masyarakat untuk dapat terus bertahan.

Lalu, upaya apa yang perlu dilakukan agar komunitas memiliki daya tawar tinggi di masyarakat. Berikut beberapa tawaran dari saya :

Pertama, menyadari jebakan angan-angan.
Kerap kali, suatu komunitas merasa memiliki nilai lebih tinggi daripada yang lain. Komunitas itu berusaha membandingkan dengan kelompok-kelompok serupa yang menginduk pada suatu korporasi, yang seolah haram bagi mereka.

Dengan demikian, komunitas ini merasa memiliki nilai lebih tinggi karena rela dalam kondisi yang sengsara dan kere. Padahal apa yang dilakukan sebenarnya tidak begitu dibutuhkan masyarakat, tetapi dengan pembenarannya sendiri, menganggap telah mewakili dan mengentaskan persoalan suatu masyarakat.

Proyek idealisme ini justru akan menjebak komunitas dalam kubangan angan-angan ingin menjadi besar dan disegani banyak orang. Suatu komunitas yang berhasil mestilah bergerak dengan arah, metode, dan model yang jelas serta terukur.

Kedua, perbanyak portofolio.
Portofolio tak hanya penting untuk pencari kerja. Dalam sebuah komunitas atau lembaga, portofolio dapat kita sebut sebagai arsip, baik berupa catatan, dokumen, maupun dokumentasi.

Komunitas yang bekerja tanpa arsip akan tumbuh lamban dan kehilangan arah. Jika ditanya, pentingkah arsip? maka semuanya menjawab penting. Tetapi, arsip juga ihwal yang paling diabaikan. Bahkan kerap berada hanya satu strip di atas sampah.

Dalam arsip itu, portofolio sebuah komunitas akan tampak jelas, apakah terus bergerak atau diam-diam bunuh diri.

Ketiga, penguatan jaringan.
Salah seorang peserta memberi saran, “jangan dihindari, tetapi jangan diharapkan.” Saran tersebut muncul dalam perbincangan tentang bantuan dari pemerintah.

Hal ini sebenarnya tak berlaku pada jaringan pemerintah saja, melainkan pada seluruh jaringan. Sebab, sikap utama komunitas adalah independen. Dengan selalu mengharapkan bantuan, produktivitas tak akan pernah tumbuh dengan baik.

Sebuah komunitas mestinya dapat memperlakukan seluruh jaringannya secara sejajar. Entah donatur atau jaringan lembaga. Dalam suatu kesempatan jaringan lembaga dapat membantu kita lebih besar daripada pendanaan dari donatur. Pada prinsipnya, jaringan ini menjadi modal sosial dan kultural yang akan memberikan banyak kontribusi kepada komunitas kita. Semakin banyak jaringan, semakin luas pula kesempatan untuk berkembang lebih pesat.

Keempat, memaksimalkan potensi.
Kerap kali suatu komunitas sulit berkembang karena tidak dapat memetakkan potensinya sendiri, pun potensi personelnya; atau sudah merasa memetakkan potensi, tetapi masih sulit untuk berkembang. Dalam kondisi ini, sebuah komunitas membutuhkan pandangan orang lain agar semakin dalam mengetahui potensi, peluang, serta ancaman apa saja bagi komunitas tersebut.

Tugas selanjutnya adalah mencari metode untuk mengembangkan potensi tersebut. Potensi yang besar tidak akan menjadi apa-apa jika tidak digerakkan dengan metode yang tepat. Metode inilah yang kemudian menentukan indikator keberhasilan program-program yang dilaksanakan.

Di akhir obrolan, kami menyadari bahwa komunitas yang selama ini kami geluti masih menyimpan dan menyisakan berbagai PR. Perkaranya bukan terletak pada kecil atau besarnya PR, melainkan bagaimana PR itu diselesaikan dan dengan cara apa? PR itu tidak akan pernah selesai, hingga kami dinyatakan lulus, entah oleh siapa. Yang kami tahu, kami mestilah terus bergerak.

1 posts

About author
Pendiri sukusastra.com dan ejabahasa.com. Ketua Lembaga Desa Budaya Bumi Panggung, Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul.
Articles
Related posts
BERITA

Merumuskan Strategi Organisasi untuk Merespons Perubahan Sosial

Combine Resource Institution (CRI) kembali melakukan penyusunan perencanaan strategis (renstra) periode 2022-2025. Renstra ini bakal jadi pijakan untuk program-program kerja organisasi selama…
BERITA

Penerima Anugerah AJW 2022: Bersama Bersuara tentang Hak Digital

Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 2022 telah menemukan pemenangnya. Selain memberi penghargaan bagi para jurnalis warga, AJW tahun ini konsisten mengapresiasi kerja-kerja media…
WAWANCARA

Tunggul Harwanto: Masa Awal RLI Berdiri Berdarah-darah, tapi Senang

Mengelola gerakan atau organisasi berbasis komunitas di kawasan rural bukanlah perkara mudah. Tantangan sumber daya manusia, kondisi geografis, hingga dana kerap menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *