WAWANCARA

Tunggul Harwanto: Masa Awal RLI Berdiri Berdarah-darah, tapi Senang

Dibaca 4 Menit

Mengelola gerakan atau organisasi berbasis komunitas di kawasan rural bukanlah perkara mudah. Tantangan sumber daya manusia, kondisi geografis, hingga dana kerap menjadi pemicu ketidakberlanjutan gerakan yang diinisiasi oleh komunitas.

Combine Resource Institution (CRI) berkesempatan melakukan wawancara dengan Tunggul Harwanto, salah satu pendiri Rumah Literasi Indonesia (RLI), sebuah organisasi berbasis komunitas yang terus mengupayakan perkembangan literasi di Banyuwangi dan sekitarnya. RLI merupakan salah satu contoh organisasi komunitas yang masih mampu bertahan bahkan berkembang di tengah berbagai tantangan yang harus dihadapi. Wawancara dilakukan oleh Fiahsani Taqwim, Staf Komunikasi CRI pada bulan Februari 2022.

Bagaimana awal mula berdirinya RLI? Boleh diceritakan dengan agak detail?

RLI berdiri dengan latar belakang kesadaran para pendiri akan kebutuhan pendidikan di kampung halamannya, di Ketapang, Banyuwangi. Angka perceraian yang tinggi, ditambah masalah pernikahan dini yang banyak ditemukan di sana membuat Nurul Hikmah, salah satu pendiri RLI merasa terpanggil untuk menyelamatkan masa depan anak-anak melalui pendidikan. Awalnya, kira-kira tahun 2011, Hikmah membuka rumah bimbel (bimbingan belajar) untuk beberapa anak. Dari anak-anak inilah kemudian rumah bimbel itu menjadi ramai, karena anak-anak ini sistemnya getok tular. Melihat antusiasme itu, akhirnya diputuskan untuk melembagakan rumah bimbel ini menjadi taman baca.

Pada tahun 2014, Hikmah mulai mengumpulkan para anak muda dan siapa pun yang bersedia dijadikan mitra di Banyuwangi untuk merumuskan program peduli literasi untuk anak-anak dan pemuda. Saya termasuk salah satu relawan yang tertarik untuk mendukung ide Hikmah. Dia punya keyakinan bahwa pasti ada banyak daerah lain yang membutuhkan taman baca seperti yang sudah didirikannya di Ketapang itu. Dari sanalah, mulai ada inisiasi pendirian Rumah Literasi Banyuwangi, yang kemudian berubah menjadi Rumah Literasi Indonesia yang kita kenal hari ini.

Tiga tahun masa awal RLI berdiri, kami gunakan dana pribadi, karena belum ada yang men-support. Lumayan berdarah-darah, tapi senang. Kami enjoy menjalankan itu. Setelah RLI semakin banyak dikenal orang dan mulai sering mendapatkan tawaran kerja sama, akhirnya kami para founder memutuskan untuk mendaftarkan RLI sebagai sebuah organisasi berbadan hukum/resmi.

Apa harapan dan tujuan RLI didirikan?

Cita-cita besar RLI adalah mewujudkan generasi yang berwawasan dan berkepribadian. RLI berharap anak-anak dan pemuda Banyuwangi mendapatkan pendidikan literasi dan berdaya di kampung halaman atau rumahnya sendiri. RLI ingin senantiasa mengembalikan fungsi utama rumah dan keluarga sebagai tempat yang paling indah dan aman untuk belajar. Jadi, RLI ada sebagai tempat belajar yang nyaman bagi anak-anak Banyuwangi.

Siapa saja pegiat atau kontributor RLI?

RLI mempunyai relawan tetap. Artinya, para relawan ini direkrut dengan perjanjian kontrak kerelawanan selama satu tahun dan nantinya akan diperpanjang bila yang bersangkutan bersedia. Para relawan tetap inilah yang aktif dilibatkan dalam penyusunan peta jalan (roadmap) program-program gagasan RLI. Mereka tidak dibayar, namun sebagai gantinya, RLI menghargai mereka dengan berbagai agenda kelas belajar dan capacity building yang rutin dilakukan tiga bulan sekali, bahkan terkadang sebulan sekali.

Di samping relawan tetap, ada pula relawan yang tidak diikat oleh perjanjian kontrak, sebutannya relawan simpatisan. Mereka adalah relawan yang direkrut sebagai eksekutor program dan akan secara otomatis bukan relawan lagi ketika program usai. Para relawan tetap maupun simpatisan ini berasal dari Kabupaten Banyuwangi, Jember, Bondowoso, dan Situbondo. RLI memberikan ruang bagi siapa saja yang ingin mengembangkan diri lewat kegiatan sosial untuk bergabung menjadi relawan. RLI dapat menjadi tempat yang nyaman bagi para relawan ini untuk mengembangkan skill dan pengetahuan mereka.

Siapa saja mitra kerja RLI?

Mulanya yang tertarik bekerja sama dengan RLI cuma orang-orang yang tertarik untuk membuat rumah atau taman baca saja. Namun setelah berproses akhirnya pemda (pemerintah daerah-red) dan beberapa pihak swasta yang tertarik dengan program RLI juga menjadi mitra.

Program atau kegiatan apa yang menjadi milestone di RLI?

Milestone RLI adalah program gerakan 1000 rumah baca. Fokus program ini adalah bagaimana caranya agar rumah-rumah baca di Banyuwangi bisa menjadi ruang untuk meningkatkan pengetahuan bahkan skill anak-anak dan pemuda di berbagai aspek. RLI menggunakan pendidikan literasi untuk memberdayakan anak-anak dan pemuda yang singgah di rumah baca. Pada tahun 2015, setahun setelah RLI memulai gerakan peduli literasi, ada 15 rumah baca berhasil didirikan di seluruh Banyuwangi. Jumlah itu kemudian berkembang menjadi 50-an rumah baca dalam kurun waktu tiga tahun. Program tersebut juga mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Najwa Shihab dan Narasi TV adalah salah satu pendukung gerakan 1000 rumah baca yang dikelola RLI.

Manfaat apa yang sudah dicapai dari program atau kegiatan tersebut terhadap kehidupan warga?

Di masa pandemi, gerakan rumah baca yang dikelola RLI membantu meringankan beban para murid dan orang tua yang tidak siap dengan mekanisme sekolah daring. Dari data yang dikumpulkan RLI, 70 hingga 80 persen siswa di Banyuwangi tidak mendapatkan akses internet, bahkan 25 persen responden mengaku kalau mereka tidak punya gawai. Bagaimana mereka bisa menyerap materi kalau gawai dan internet saja tidak mereka punya. Rumah baca menyediakan tempat dan akses bagi anak-anak ini. Rumah baca juga menjadi tempat bagi para murid untuk bersama-sama mengulas kembali materi pelajaran dari sekolah formal yang belum sepenuhnya mereka pahami akibat adanya kebijakan sekolah daring. Keberadaan rumah baca yang menawarkan sekolah berbasis komunitas juga menjadi alternatif jalan keluar bagi para orang tua yang kesulitan mendampingi anaknya mengikuti kelas-kelas daring.

Tantangan apa yang kerap dihadapi sepanjang perjalanan di RLI?

Ada tantangan internal, misalnya soal kaderisasi relawan dan bagaimana caranya mempertahankan rumah-rumah baca yang telah didirikan. Relawan adalah kunci pertahanan rumah baca, sehingga kalau tidak terus dikader dan dikembangkan skill individunya, bisa menyebabkan kejatuhan banyak rumah baca.

Tantangan internal lainnya adalah SOP (standard operating procedure). RLI belum punya SOP yang kuat untuk internal organisasi maupun dalam menjalankan program-program, sehingga itu menjadi PR besar yang harus segera diselesaikan.

Ada juga tantangan pada aspek fundraising, di mana sulit sekali menumbuhkan jiwa wirausaha para pengelola rumah baca. Mereka cenderung masih mengharapkan bantuan dari desa atau dana hibah dari pihak lainnya. Padahal, langkah fundraising dengan berwirausaha adalah bagian dari strategi keberlanjutan sebuah rumah baca. Tapi RLI selalu optimis menghadapi berbagai tantangan dan percaya bahwa itulah proses yang harus dilalui.[]

Related posts
OPINI

Bergerak Bersama Warga: Usaha Membangun Kesadaran Literasi

Sore hari di penghujung November 2018, kami berkumpul. Dingin gerimis di luar tak mampu menerobos hangat obrolan tentang aktivitas literasi dari berbagai…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *