BERITA

Rekam Jejak Media Komunitas dalam Tanggap Bencana

Dibaca 5 Menit

Hanya berselang beberapa jam setelah terjadinya gempa Lombok pada 29 Juli 2018 lalu, media komunitas Speaker Kampung langsung melaporkan situasi terbaru pascagempa di Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat melalui jejaring media sosial Facebook. Laporan terkait kondisi lapangan pascagempa tidak hanya diwartakan pada hari itu saja tetapi terus diperbarui secara berkala hingga tulisan ini dibuat (04/10/2018). Laporan-laporan tersebut memuat informasi mengenai berbagai hal terkait kondisi lapangan pascagempa, mulai dari jumlah korban, posko pengungsian, hingga kebutuhan logistik.

“Rumah Rusak dan Dua Orang Korban Akibat Gempa di Sambelia” adalah judul laporan pertama yang diwartakan oleh para pegiat media komunitas Speaker Kampung beberapa jam setelah terjadi gempa. Mereka bergerak cepat untuk segera mewartakan informasi terkini meski juga menjadi korban. Salah satu kebutuhan penting dalam situasi tanggap bencana adalah adanya akses informasi dan komunikasi yang memadai. Adanya akses yang layak akan membantu pemulihan pascabencana dengan lebih efektif dan tepat sasaran.

Meski demikian, kebutuhan informasi seringkali tidak dipenuhi dengan baik oleh media massa. Bahkan, informasi dari media arus utama juga kerap terbawa pada pola mendramatisasi situasi bencana. Padahal, kebutuhan informasi yang paling penting adalah informasi tentang mitigasi bencana dan data terkait kebutuhan penyintas sehingga distribusi dapat berjalan dengan baik. Media arus utama kerap “terlena” pada pola pemberitaan yang menunjukkan kesedihan, mengumbar penderitaan, tragedi, hingga mengaitkan bencana dengan hal-hal mistis.

Menyikapi hilir mudik informasi dari media arus utama yang kerap tak memosisikan diri sebagai penyedia informasi dalam kasus bencana, media komunitas mengambil peran signifikan dalam memberikan informasi terkini yang ada di lapangan kepada berbagai pihak. Media komunitas memiliki peran strategis dalam memberitakan bencana karena memahami permasalahan dan kebutuhan warga terdampak dengan lebih baik.

Hal itulah yang antara lain dilakukan oleh media komunitas Speaker Kampung selama situasi pascagempa berlangsung di Lombok. Tidak hanya berkontribusi dalam memberikan informasi, Speaker Kampung juga berkontribusi secara nyata dalam penanganan gempa. Mulai dari melakukan penggalangan donasi, mengadakan trauma healing untuk anak-anak dengan permainan tradisional hingga membuat rumah hunian sementara dari bambu.

Speaker Kampung melaporkan hasil liputannya baik melalui tulisan, foto maupun video untuk diunggah di akun Facebook mereka. Facebook menjadi pilihan utama dalam menyebarkan informasi karena warga yang dilayani media komunitas ini umumnya familiar dengan platform media sosial tersebut. Selain itu, mereka juga mengunggah berita di website resmi speakerkampung.net dan mengunggah video di akun Youtube.

Terdapat dua gempa terbesar yang dialami oleh Pulau Lombok, yakni pada 29 Juli 2018 dan 05 Agustus 2018 serta berbagai gempa susulan lain. Setidaknya selama kurang lebih satu minggu sesudah gempa pertama pada 29 Juli 2018 dan gempa kedua pada 05 Agustus, Speaker Kampung telah memberitakan sebanyak 78 berita.

Pemberitaan maupun laporan informasi terkait bencana tidak hanya dilakukan oleh Speaker Kampung, tetapi juga Radio Komunitas Primadona FM. Sejak gempa 29 Juli, para pegiat radio komunitas yang bertempat di Desa Karangbajo di Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara tersebut langsung merasakan dampaknya. Banyak warga yang menjadi pengungsi. Ditambah dengan gempa pada 5 Agustus, hampir seluruh rumah di desa itu hancur. Kabupaten Lombok Utara memang menjadi daerah terparah yang terdampak gempa Lombok. Otomatis, para pegiat Primadona FM pun menjadi pengungsi. Dalam situasi yang penuh keterbatasan, mulai dari aliran listrik yang mati, ketersediaan air yang minim, tidak banyak hal yang bisa dilakukan oleh Primadona FM beberapa hari pascagempa.

Sebelum gempa, Primadona FM rutin memberikan informasi kepada warga baik melalui siaran maupun berita tertulis yang diunggah ke blog. Namun, gempa membuat studio Primadona FM rawan roboh sehingga para pegiatnya tidak berani masuk. Sampai informasi ini ditulis, Primadona FM belum siaran kembali.

Primadona FM kemudian memanfaatkan media sosial sebagai salah satu wadah arus informasi. Media sosial yang dipilih adalah Facebook karena warga juga lebih familiar dengan aplikasi tersebut. Sehari setelah gempa, yakni pada 06 Agustus 2018, pegiat Radio Primadona FM merilis berita berjudul “Gempa 7 SR di KLU Regang Nyawa 65 Jiwa”. Sampat saat ini, mereka masih terus memperbarui informasi terkait pascagempa secara berkala di Facebook. Selama kurang lebih dua minggu, sebanyak 59 laporan telah diunggah ke Facebook Primadona FM dengan beragam bentuk, mulai dari teks, foto, video, hingga siaran langsung.

Sama seperti Speaker Kampung, Primadona FM juga memanfaatkan berbagai jenis bentuk dan pemberitaan, mulai dari teks, penggunaan foto hingga video yang kemudian diunggah ke akun “Rakom Primadona Ef Em” dan laman Facebook “Rakom Primadona FM”. Primadona FM juga memanfaatkan Youtube sebagai salah satu wadah arus informasi berbasis video.

Selain itu, para pegiat Primadona FM yang menjadi penyintas bencana juga menjadi motor bagi para relawan yang mengelola posko pengungsian utama di Desa Karangbajo. Mereka melakukan berbagai upaya mulai dari menghimpun serta mendistribusikan bantuan, mendata jumlah warga terdampak beserta kerugian akibat gempa, melakukan trauma healing khususnya bagi anak-anak, hingga membantu pengadaan hunian sementara bagi para tetangganya.

Infografis Media Komunitas Tanggap Bencana di Lombok (Olah data: Lamia Putri Damayanti, olah visual: Hamzah Ibnu Dedi)

Jalin Merapi, Peran Media Komunitas dalam Konteks Bencana

Rekam jejak media komunitas dalam merespons bencana tidak hanya dilakukan oleh Speaker Kampung maupun Primadona FM melainkan oleh berbagai media komunitas di daerah lainnya di seluruh Indonesia. Salah satunya adalah kolaborasi dari berbagai media komunitas yang terbentuk dalam Jaringan Informasi Lingkar (Jalin) Merapi. Jalin Merapi merupakan saluran informasi yang diperuntukkan sebagai respons dampak erupsi Merapi sejak tahun 2006 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah. Jaringan tersebut awalnya bergerak dari jaringan antarpegiat radio komunitas di sekeliling Merapi yakni Lintas Merapi FM (Kemalang, Klaten), MMC FM (Selo, Boyolali) dan KFM (Dukun, Magelang).

Pada saat itu, masyarakat di lereng Merapi merasa tidak mendapatkan informasi yang sesuai dengan kebutuhan mereka dari media arus utama. Dilansir dari tulisan Elanto Wijoyono berjudul “Menantang Bencana: Gerak Radio di Komunitas di Kaki Merapi” dalam buku “Mengudara Menjawab Ancaman” terbitan Combine Resource Institution tahun 2009, sebagian besar masyarakat di sekitar lerang Merapi seperti di Desa Sidorejo, Kemalang, Klaten, Jawa Tengah berprofesi sebagai petani dan penambang pasir. Namun, tidak ada satu pun informasi dari media arus utama yang berkaitan dengan mata pencaharian maupun kondisi lingkungan hidup di wilayah yang mereka tempati saat itu.

Media arus utama memang beberapa kali menyiarkan informasi terkait Merapi. Namun, informasi tersebut tidak dilakukan secara rutin dan hanya berdasarkan momen tertentu, misalnya saat erupsi. Ketika Merapi dalam kondisi “tenang”, media arus utama cenderung abai dalam proses pemberitaannya. Padahal, informasi-informasi mengenai Merapi, baik ketika aktif maupun tenang sangat dibutuhkan oleh masyarakat di sekitarnya.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa warga memerlukan media yang mampu mewadahi informasi yang terus-menerus terkait Merapi baik ketika gunung itu aktif maupun saat tenang. Ketika Merapi aktif, media tersebut akan mampu menjembatani informasi dan komunikasi antarwarga agar bisa berkoordinasi secara cepat. Dalam kondisi tenang, media tersebut bisa dikelola untuk mendukung tukar informasi yang memberdayakan warga, mulai dari pemberitaan tentang komoditi lokal hingga masalah kebijakan di tingkat lokal khususnya yang terkait dengan pengurangan risiko bencana erupsi Merapi.

Pada masa tanggap darurat Merapi di tahun 2010, jalinan informasi yang sudah dirintis Jalin Merapi menampakkan hasilnya. Jalin Merapi menjadi gerakan yang terbukti bisa menghubungkan warga terdampak di berbagai titik pengungsian dengan banyak pihak yang ingin menyalurkan bantuan.

Warga bekerja sama untuk mengelola informasi dengan sukarela. Tidak hanya warga lokal saja yang berdaya mengumpulkan dan menyampaikan informasi tetapi juga para relawan. Mereka terhubung melalui internet dan media sosial sehingga dapat bertukar informasi dengan lebih cepat.

Jalin Merapi menunjukkan bahwa pengorganisasian warga sejak pra-bencana menjadi kunci penanganan pascabencana, khususnya di masa tanggap darurat. Teknologi informasi mendukung kerja-kerja yang dilakukan dalam gerakan tersebut sehingga bisa lebih cepat, real time, serta menjangkau banyak kalangan.

Menurut Zaki Habibi dalam tulisannya yang berjudul “Jalin Merapi: Ketika Kepekaan Sosial Bertemu Ketepatan Media,” yang diterbitkan di Majalah Kombinasi Edisi 35 Tahun 2010, ada dua hal yang menjadi kunci sukses kerja Jalin Merapi, yaitu (1) penggunaan medium yang beragam sinergi yang tepat, dan (2) berbasis komunitas dengan melibatkan pelaku-pelaku yang banyak, beragam, dalam cakupan luas, dan tidak terbatasi oleh sekat-sekat sosial.

Jalin Merapi sebagai Saluran Informasi dari dan oleh Warga (olah data: Lamia Putri Damayanti, olah visual: Hamzah Ibnu Dedi)
Related posts
BERITA

Merumuskan Strategi Organisasi untuk Merespons Perubahan Sosial

Combine Resource Institution (CRI) kembali melakukan penyusunan perencanaan strategis (renstra) periode 2022-2025. Renstra ini bakal jadi pijakan untuk program-program kerja organisasi selama…
BERITA

Penerima Anugerah AJW 2022: Bersama Bersuara tentang Hak Digital

Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 2022 telah menemukan pemenangnya. Selain memberi penghargaan bagi para jurnalis warga, AJW tahun ini konsisten mengapresiasi kerja-kerja media…
LAPORAN TAHUNAN

Laporan Tahunan 2021

[ID] Sejumlah momentum penting bagi Combine Resource Institution (CRI) terjadi di 2021. Ketika tingkat pandemi Covid-19 masih cukup kritis, kami berjuang agar…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *