LAPORAN TAHUNAN

Laporan Tahunan 2017

Dibaca 3 Menit

Disinformasi saat ini menjadi musuh bersama seluruh negara bangsa. Sekitar dua tahun lalu di Filipina misalnya, saat citra Presiden Rodrigo Duterte sangat buruk terutama terkait hak asasi manusia maka banjir informasi palsu tentang kebaikan Duterte meruyak. Termasuk di dalam informasi palsu tersebut adalah informasi bahwa Bill Gates saking terkesannya dengan Duterte akan berinvestasi US$ 20 miliar di Filipina. Kemudian muncul skandal Cambridge Analytica di belakang terpilihnya Donald Trump jadi Presiden Amerika Serikat. Skandal yang kemudian menjadi bola salju diskursus pelanggaran data pribadi melalui media sosial. Belum lagi di belahan Afrika dimana mudah sekali media resmi memantulkan informasi yang sumbernya tidak jelas.

Beragam upaya telah dilakukan di sana sini, mulai dari membuat segepok regulasi hingga memperbesar arus gerakan literasi. Namun krisis ini multidimensi, dan sayangnya semua harus diselesaikan secara simultan agar dampaknya optimal. Warga sudah berada dalam tingkat kerentanan tinggi terhadap gelombang informasi palsu yang memang sengaja disebarkan untuk memanipulasi publik. Teknologi informasi telanjur menelurkan banyak cara baru berkomunikasi, yang terdepan tentu media sosial.

Disinformasi sesungguhnya bisa dimulai di mana saja, kapan saja, oleh siapa saja. Komunikasi digital lantas membuatnya menjadi makin tak terbendung. Bagi kami, yang bertulang punggung gerakan pengembangan dan pemanfaatan teknologi informasi, titik pijak analisis masalahnya adalah faktor manusia. Titik pijak analisis masalah yang kami yakini bukan lagi sekedar fokus pada hal teknis seperti pengembangan aplikasi dan fitur baru penangkal informasi palsu misalnya.

Merujuk pengalaman kami, disinformasi tidak hanya terkait politik praktis dari desa hingga negara. Disinformasi bisa sengaja diproduksi dan disebarkan dengan motivasi uang, klaim keberhasilan individu, klaim pencapaian target proyek, hingga penghancuran citra pihak lain. Pelaku maupun korbannya tidak terbatas politisi melainkan bisa individu, kelompok warga, organisasi lokal hingga organisasi internasional.

Sistem Informasi Desa dapat menjadi contoh bahan disinformasi yang digulirkan beberapa pihak untuk kepentingan tersebut. Media sosial masih menjadi alat efektif untuk menyebarkannya. Riset Buzzfeed menyebutkan saat pilpres di AS 2016, 20 informasi palsu di Facebook yang paling mendapat respon ternyata disebarkan lebih banyak dibandingkan 20 informasi akurat yang paling mendapat respon. Demikian juga dengan disinformasi yang terjadi pada SID, begitu mudah mendapatkan respon entah berupa ikon jempol hingga share tanpa ada upaya verifikasi informasi secara detil. Akibatnya adalah cara pandang pemerintah desa hingga pusat didominasi aspek seberapa cepat aplikasi bisa direplikasi, bukan pada prinsip penerapannya yang membutuhkan perubahan kultur berupa semangat antikorupsi misalnya.

Namun di sisi lain, reaksi para pengambil keputusan publik terhadap fenomena ini juga tidak semuanya lepas dari kritik. Salah satunya saat Dewan Pers menegaskan selain media berbadan hukum yang terdaftar di Dewan Pers maka media tersebut tidak di kuadran yang sama dengan media resmi. Sungguh ini kerugian besar terutama bagi para jurnalis dan media warga yang berupaya keras membuat informasi di tengah warga sekitarnya dengan menerapkan prinsip jurnalistik. Bandingkan dengan media yang disebut resmi namun proses penyajian beritanya tidak dilambari semangat kepentingan publik.

Sementara itu, dalam transaksi informasi ada perbedaan mendasar antara prinsip keterbukaan data (open data) dan keterbukaan informasi publik. Prinsip open data membuka data seluas-luasnya kepada publik sedangkan keterbukaan informasi publik melakukan pemilahan data untuk melindungi data sesuai peruntukan publik. Sering kali karena ketidaktahuan dan kelalain maka perlindungan data dan informasi terabaikan.

Kami menyikapi isu disinformasi dan perlindungan data pribadi secara serius. Kami memulainya dengan mengintegrasikan prinsip yang kami yakini tentang dua hal tersebut dalam program kerja kami, termasuk SID dan media komunitas. Kampanye kami lakukan melalui serangkaian diskusi dan publikasi. Saat Kementerian Kominfo RI mengeluarkan regulasi tentang registrasi kartu SIM misalnya, kami dinilai melawan arus karena pagi-pagi sudah menyoal jaminan perlindungan data pribadi pelanggan. Belakangan terbukti aturan tersebut toh direvisi dan isu perlindungan data warga kembali menguap. Sementara UU Perlindungan Data Pribadi tak juga dibahas di parlemen.

Tahun ini juga lisensi SID Berdaya mulai kami bahas. Bukan berarti kami sok bergaya perusahaan aplikasi karena jelas bukan motivasi ekonomi yang melatarbelakangi tindakan kami melainkan itikad untuk menjaga prinsip dan proses di balik aplikasi. Ini sekedar upaya kecil yang kami mampu untuk menyumbang perlindungan bagi desa dari gempuran disinformasi oleh pihak-pihak  yang sering meninggalkan desa bukan karena desa sudah mampu mengelola potensinya sesuai prinsip tata kelola yang baik, melainkan karena tak ada lagi madu yang bisa dihisap.

Laporan-Tahunan-CRI-2017_Book_resize

Related posts
ARSIPLAPORAN TAHUNAN

2022 Annual Report

Throughout 2022, this institution will focus on two topics: sustainability and independence As it enters its 20th year, the Combine Resource Institution…
ARSIPLAPORAN TAHUNAN

Laporan Tahunan 2022

Keberlanjutan dan kemandirian, dua hal yang menjadi pusat diskusi lembaga ini di sepanjang tahun 2022 Dalam usia yang telah mencapai lebih dari…
LAPORAN TAHUNAN

Laporan Tahunan 2021

[ID] Sejumlah momentum penting bagi Combine Resource Institution (CRI) terjadi di 2021. Ketika tingkat pandemi Covid-19 masih cukup kritis, kami berjuang agar…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *