ARTIKELOPINI

Censorship dan Dampaknya terhadap Kebebasan Berekspresi Masyarakat Sipil

Dibaca 5 Menit

Bayangkan sebuah dunia di mana setiap kata yang kita ucapkan diawasi, setiap opini yang kita bagikan berpotensi dibungkam, dan kritik terhadap kekuasaan bisa berujung pada konsekuensi serius. Bagi sebagian orang, itu bukan lagi sekadar bayangan dari dunia distopia dalam film fiksi ilmiah, melainkan kenyataan yang mereka hadapi sehari-hari. Indonesia dan Amerika Serikat adalah dua contoh nyata, meskipun berada di ujung spektrum yang berbeda, keduanya memperlihatkan wajah-wajah sensor yang kompleks dan terkadang kontradiktif.

Kebebasan berekspresi sering disebut-sebut sebagai hak dasar manusia, sebuah prinsip yang tertulis dalam berbagai konstitusi dan deklarasi internasional. Namun, seiring waktu, batas antara pelindungan terhadap hak ini dan kebutuhan untuk melakukan sensor menjadi semakin kabur. Apa yang seharusnya menjadi ruang bebas untuk berbagi pikiran, sering kali justru diisi oleh berbagai bentuk pembatasan. Artikel ini mencoba membedah bagaimana sensor bekerja di dua negara besar, dampaknya terhadap gerakan masyarakat sipil, dan bagaimana langkah yang dapat kita lakukan dalam menghadapinya.

Untuk membandingkan sensor antara Indonesia dengan Amerika Serikat dan menganalisis perubahan dari zaman dulu sampai era modern, kata “sensor” (censorship dalam bahasa Inggris) harus kita telaah terlebih dahulu. Definisi dari kata sensor adalah pembatasan atau penghapusan ucapan, media, atau informasi. Sensor terjadi di berita, buku, musik, televisi, film, platform daring, dan media sosial di seluruh dunia. Sensor biasanya terjadi, terutama, karena tiga alasan: politik, sosial, dan moral (termasuk agama).

Dalam perbandingan isu sosial di negara seperti Amerika dan Indonesia, yang bisa dibandingkan pertama-tama adalah sejarahnya–bagaimana isu ini mewujudkan diri?

Di Amerika, “freedom of speech” dan “freedom of press” dilindungi oleh konstitusi. Tepat pada Amandemen 1 dari Bill of Rights yang menjadi semacam mantra demokrasi yang dibanggakan. Namun tetap saja, sensor diterapkan mulai dari pembatasan buku-buku dan berita tertentu dalam perpustakaan umum dan koran. Di pertengahan abad ke-20, mulai ada pembatasan terhadap materi pro-komunis. Tapi simbol protes perang masih diperbolehkan; sebagaimana kasus yang diperkarakan hingga Mahkamah Agung, yang memutuskan melindungi hak kaum pelajar untuk mengekspresikan pandangan politiknya masing-masing.

Memasuki abad ke-21, wujud sensor bertransformasi. Ada dua macam sensor yang berlaku di Amerika. Banyak produk media yang disensor oleh pemerintah lebih mengarah pada lirik musik eksplisit dan konten LGBT. Biasanya tertera dalam bentuk undang-undang, regulasi, dan larangan. Sementara proses sensor kedua dilakukan oleh perusahaan teknologi besar, atau Big Tech, dalam bentuk moderasi konten, demonetisasi, dan pemblokiran akun. Proses penyensoran semacam ini adalah bentuk baru sensor yang banyak menjadi perdebatan. Di satu sisi, ada janji melindungi publik dari misinformasi. Di sisi lain, ada kekhawatiran kebebasan berekspresi sebagai hak pengguna yang dapat ditransaksikan demi kepentingan bisnis atau politik.

Sekarang, mari kita bergeser melihat seperti apa sensor dilakukan di Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 memang menjamin kebebasan berekspresi, tetapi prakteknya jauh dari janji tersebut, terutama di era Orde Baru. Kala itu, kritik terhadap pemerintah Suharto bisa berarti akhir dari karier, atau lebih buruk lagi, akhir dari kebebasan pribadi. Media dibungkam, seniman diintimidasi, dan suara-suara berbeda menghilang dalam senyap. Setelah Reformasi pada 1998, situasi di Indonesia membaik, namun tidak sepenuhnya bebas. Sekarang, di era digital pemerintah memiliki wewenang terhadap platform media sosial untuk menghapus konten tertentu, memblokir situs web tertentu, memutus jaringan Internet di tempat tertentu jika sedang konflik, memotong bagian-bagian tertentu dari sebuah film, dan mengintimidasi seniman atau musisi yang dianggap mengkritik pemerintah.

Dampak sensor di Indonesia luas dan dalam. Sensor bukan hanya soal menekan tombol “hapus” di media sosial atau memblokir sebuah situs. Ia mengubah cara orang berpikir dan berinteraksi. Ketika ruang-ruang diskusi dibatasi, masyarakat sipil kehilangan tempat untuk menyampaikan suara mereka. Hal ini kemudian berimbas pada masyarakat yang menjadi takut untuk berbicara secara terbuka. Di Indonesia, aktivis yang vokal mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada publik, misalnya, sering kali harus berhadapan dengan ancaman hukum. Seperti UU ITE, yang telah menjadi momok.

Banyak yang akhirnya memilih diam, bukan karena tidak punya sesuatu untuk dikatakan, tetapi karena takut pada konsekuensinya, dengan kata lain terjadi swasensor. Dampaknya? Ruang diskusi yang menyempit membuat masyarakat semakin sulit mengakses informasi yang beragam. Swasensor kian sering terjadi. Orang memilih diam daripada ambil risiko. Demokrasi, pada akhirnya, kehilangan daya hidupnya. Tanpa kritik, tidak ada perbaikan. Kemudian, ditambahi dengan besarnya pengaruh faktor agama dalam sensor di Indonesia, ada pertanyaan yang muncul: siapa yang berhak menentukan apa yang pantas atau tidak?

Kita sudah membahas sejarah dan dampak sensor di kedua negara, kita bisa membandingkan apa saja kesamaan dan perbedaan antara sensor di Amerika Serikat dan Indonesia. Kesamaannya mulai pada dasarnya: keduanya memiliki perdebatan tentang sensor, pemerintah dan perusahaan yang mengontrol arus informasi, dan sensornya terkait dengan politik, agama, dan moralitas. Intinya, secara umum alasan di balik sensornya dan siapa sebenarnya yang menyensor itu sangat mirip. Ada kemungkinan besar di negara-negara lain juga sama seperti ini. Namun, sensor di Amerika lebih banyak dikontrol oleh perusahaan teknologi besar (Big Tech) dan lebih fokus kepada kebebasan ekspresi daripada kekurangan informasi.

Sementara di Indonesia, sensor lebih banyak dikontrol oleh pemerintah dan lembaga resmi daripada dari perusahaan seperti di Amerika. Oleh karena itu, di Amerika muncul banyak aplikasi media sosial atau situs web baru yang memperbolehkan ucapan dan konten apapun yang sama sekali tidak terbatas di situs web tersebut. Tentu saja platform seperti ini tidak diperbolehkan masuk ke Indonesia, dan di Amerika pun kurang sukses karena kalah populer dengan saingan perusahaan media sosial yang sudah berdiri lama. Sebab itu, masyarakat Indonesia jika hendak melawan sensor, harus mencari cara yang berbeda.

Ada satu pertanyaan yang memulai banyak perdebatan tentang sensor: haruskah pemerintah menyensor media? Pertanyaan ini sulit dijawab karena hal positif serta hal negatif muncul ketika ada sensor.

Hal positif yang bisa kita ambil dari sensor adalah:

  1. Mengatasi misinformasi karena hoaks atau informasi salah dibatasi (tetapi siapa yang menentukan yang mana yang benar dan yang mana yang hoaks?);
  2. Membatasi ujaran kebencian;
  3. Melindungi anak-anak dari konten yang tidak pantas;
  4. Menghormati keyakinan agama karena menyensor yang tidak pantas menurut moralitas agama;
  5. Mencegah hasutan kekerasan.

Sementara hal negatif dari penyensoran adalah:

  1. Membatasi akses informasi dan kemudian membuat masyarakat kurang teredukasi;
  2. Memungkinkan pemerintah menekan media anti-pemerintah (termasuk berita tentang korupsi);
  3. Bias politik dalam sensor (perdebatan antara kelompok kiri dan kanan yang ingin menyensor hal yang berbeda).

Kasus atau informasi yang jarang diberitakan itu juga salah satu bentuk sensor. Sering kali kasus-kasus tersebut sengaja disembunyikan atau diblokir.

Meski demikian sensor bukanlah akhir dari kebebasan berekspresi. Banyak jalan, banyak cara. Kita bisa memilih platform alternatif ketika platform utama terasa terlalu mengekang, kita bisa beralih ke media alternatif yang menjanjikan lebih banyak ruang kebebasan dan keamanan. Terliterasi secara digital, melek teknologi, memahami cara kerja sensor, dan tahu bagaimana menghindarinya, adalah cara untuk menangkal pembatasan kebebasan; termasuk mempelajari bias algoritma dan pentingnya diversifikasi sumber informasi. Terakhir, ketika media arus utama menghadapi tekanan, kita bisa mengandalkan jurnalisme warga dan media independen untuk mengisi kekosongan dalam menjaga arus informasi tetap mengalir.

Sensor adalah tantangan yang tidak mudah diatasi. Ia merasuk dalam banyak bentuk dan alasan. Namun, itu tidak berarti kita harus diam dan menyerah. Kebebasan berekspresi adalah ruang yang harus terus diperjuangkan. Teknologi, solidaritas masyarakat sipil, dan pengetahuan menjadi alat utama kita. Karena pada akhirnya, pertanyaannya adalah: apakah kita cukup peduli dengan kebebasan berekspresi hari ini, atau baru akan sadar ketika semuanya telah hilang?

Profil penulis

Sophia Kuncoro adalah mahasiswa dari Princeton University yang sedang mengikuti program pertukaran untuk melayani komunitas dan belajar tentang budaya di Indonesia. Saat ini dia bekerja sebagai relawan di Combine Resource Institution.

Related posts
OPINI

Merebut Makna Demokrasi: Merespons Situasi Politik Elektoral 2024

Menghitung jam menuju momen monumental 14 Februari, kita fasih menelan pertanyaan; “Pesta Demokrasi” ini milik siapa? Sebab frasa tersebut tak pernah dirasakan warga. Pemilu adalah proses panjang yang tak hanya berlangsung sehari, begitu pula dengan rekayasa politik yang mengekori. Menilik ke belakang, praktik kecurangan demokrasi telah berjalan secara sistematis. Intervensi dan…
SIARAN PERS

Stop Memberangus Hak Warga Bersuara

Dandhy Dwi Laksono, seorang warga yang juga merupakan pembuat film dokumenter, ditangkap aparat kepolisian pada 26 September 2019, menjelang tengah malam. Dandhy…
BERITA

Media Komunitas, Usaha Warga dalam Kemandirian Informasi

Bermula dari hobi, radio yang pada awalnya digunakan sebagai sarana hiburan, berangsur menjadi salah satu usaha warga untuk memproduksi informasi. Perkembangan teknologi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *