OPINI

Mendefinisikan Privasi di Ruang Media Sosial

Dibaca 7 Menit

Pada akhir tahun 2014, kasus Florence Sihombing, mahasiswi Fakultas Hukum UGM yang dituntut pidana akibat mengunggah konten yang menghina warga Yogyakarta merebak di media massa.

Kasus ini diawali dengan hal sederhana, yaitu Florence mengunggah status di akun Path miliknya yang berisi makian terhadap kota Yogyakarta karena suatu kejadian tidak menyenangkan yang ia alami di SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum). Salah seorang teman Florence di Path kemudian merekam tangkapan layar (screenshot) dari unggahan tersebut kemudian menyebarkannya di kanal media sosial lain. Beberapa pihak yang tidak terima kemudian menuntut Florence secara hukum di pengadilan.

Kasus yang menimpa Florence Sihombing hanya satu dari sekian banyak kasus yang dihadirkan oleh jejaring sosial, khususnya mengenai privasi dalam penggunaan akun media sosial itu sendiri. Jejaring sosial menghadirkan paradoks atas privasi atau hal-hal yang dianggap privat oleh para pengguna media sosial. Kasus-kasus lain yang tidak terekspos oleh media mainstream, seperti pertikaian antarteman dan perselisihan antarkekasih akibat unggahan di media sosial pun banyak terjadi. Begitu pula dengan beberapa orang yang disatroni pihak-pihak tertentu akibat unggahan mereka atas isu yang sensitif di media sosial.

Di satu sisi, media sosial memberikan keleluasaan bagi para penggunanya untuk menghadirkan apa yang mereka kehendaki melalui akun mereka di dunia maya kepada publik. Di sisi lain, mereka tidak memiliki kendali atas konten yang sudah terunggah ke dunia maya. Meskipun media sosial menawarkan kendali tersebut (misalnya dengan memasang fitur ‘akun privat’), yang terjadi justru sebaliknya, karena seberapapun pengguna membatasi lingkaran mereka, lingkaran tersebut masih terhubung dengan lingkaran lain, dan begitu seterusnya. Munculnya kasus-kasus terkait dengan privasi dalam media sosial dalam masyarakat Indonesia memunculkan pertanyaan besar mengenai gagasan ‘privasi’ itu sendiri dalam konteks sosiokultural di Indonesia.

Tinjauan Akademisi Barat atas Privasi di Ruang Media Sosial

Sebelum berusaha memahami pemaknaan privasi di Indonesia, kita dapat melihat bagaimana konsep privasi dipahami secara umum oleh dunia Barat melalui para akademisi, utamanya dalam konteks ruang media sosial.

Hasrat manusia untuk membangun komunikasi melalui media digital dengan cara yang personal dan privat selalu ada (Trepte & Reinecke, 2011). Dengan adanya media sosial, para pengguna mendapatkan kepuasaan dari proses pengungkapan diri yang mereka lakukan terhadap publik yang mereka pilih sebagai kontak yang terhubung dalam jejaring sosial mereka. Pada waktu yang bersamaan, seiring dengan pengungkapan diri yang mereka lakukan dalam media sosial, maka semakin besar pula risiko atas pelanggaran privasi. Alan Westin menyatakan bahwa privasi adalah cara yang orang lakukan untuk melindungi diri mereka dengan jalan membatasi akses orang lain kepada diri mereka untuk sementara (Margulis, 2011). Dengan kata lain, persoalan privasi adalah persoalan proteksi dan kontrol seseorang atas diri mereka.

Dengan adanya privasi, seseorang dapat menentukan bagi diri mereka sendiri mengenai kapan, bagaimana, dan sejauh apa informasi tentang diri mereka dibuka kepada orang lain (Margulis, 2011). Oleh karena itu, Westin mencatat bahwa privasi terjadi dalam tiga level, yaitu level individual, level kelompok, dan level organisasi atau institusional (Margulis, 2011). Dalam konteks penggunaan media sosial, privasi terjadi pada level individual hingga level kelompok, di mana para pengguna melibatkan setidaknya orang-orang yang ia anggap aman untuk berbagi informasi privat melalui kanal media sosial.

Privasi adalah suatu kebutuhan bagi manusia. Irwin Altman menyatakan bahwa privasi adalah kontrol selektif atas akses terhadap diri (selective control of access to the self) (Margulis, 2011). Menurut Altman, privasi beroperasi secara individual dan kelompok, dengan tiga penekanan penting dalam aspek-aspek mengenai privasi, yaitu (1) privasi adalah proses sosial secara inheren, (2) pemahaman terhadap aspek psikologis privasi mencakup interaksi antarmanusia, dunia sosial mereka, lingkungan fisik, dan fenomena sosial yang secara alamiah bersifat sementara, dan (3) privasi memiliki konteks kultural; secara spesifik, privasi adalah hal yang cultural universal, namun memiliki manifestasi psikologis yang spesifik secara kultural (Margulis, 2011). Pada tataran ini, pembatasan diri (self-boundary) menjadi kata kunci dalam privasi. Dalam mendapatkan privasi, seseorang akan melakukan pembatasan diri secara terkontrol terhadap akses atas diri mereka sendiri dari lingkungan sosialnya.

Tidak hanya mengenai ketertutupan diri, pembatasan diri dalam privasi juga melingkupi keterbukaan diri. Petronio mengemukakan teori manajemen privasi komunikasi (Communication Privacy Management) yang menekankan bahwa privasi adalah proses dialektika antara menutup dan membuka diri dalam proses interaksi seorang individu dengan lingkungan sosialnya (Griffin, 2012). Dengan demikian, privasi tidak berdiri sendiri, melainkan saling berjalin-kelindan dengan proses pengungkapan diri seorang individu; relasi keduanya pun selalu dialektis, karena seseorang akan secara terus-menerus menyesuaikan level privasi dan pengungkapan diri baik secara internal maupun eksternal. Hal ini didasari oleh kebutuhan manusia untuk bersosialisasi secara terbuka sekaligus memiliki otonomi pribadi atas diri secara simultan (Margulis, 2011). Penekanannya ada pada bagaimana keputusan mengenai menutup atau membuka suatu informasi itu dilakukan.

Privasi merupakan konsep yang elastis karena berbagai konteks sosial dan kultural mengenai oleh siapa, bagaimana, kapan, dan di mana konsep tersebut diterapkan. Penerapan privasi pun bersinggungan dengan berbagai ranah, mulai dari psikologi, hukum, ekonomi, kesehatan, dan politik. Pada tataran penggunaan media sosial, privasi bersinggungan dengan keterbukaan informasi, pengungkapan diri, dan representasi identitas para pengguna. Perdebatan yang muncul mengenai privasi di era media sosial ini berkisar mengenai ada atau tidaknya privasi serta seperti apa wujud dan batasan atas suatu informasi yang dinilai privat.

Menyoal Privasi dalam Konteks Indonesia

Ketika konsep privasi yang dihasilkan oleh kajian akademisi Barat dimaknai sebagai dialektika antara pembatasan diri (self-boundary) dan pengungkapan diri (self-disclosure), lantas bagaimana dengan yang terjadi di Indonesia?

Dalam masyarakat Barat yang cenderung individualis, konsep privasi dalam konteks luring diartikan sebagai ruang privat, di mana seseorang memiliki otoritas penuh atas ruang tersebut. Pada sistem sosial yang paling mikro dalam masyarakat, yaitu keluarga, misalnya, ruang privat digambarkan sebagai kamar pribadi dalam lingkup rumah. Umumnya, sedari kecil mereka telah diberi kamar tidur yang terpisah dari kedua orangtuanya, sehingga kesadaran atas ‘privasi’ mulai terbentuk dari situ.

Namun, kondisi sosiokultural masyarakat Indonesia yang cenderung komunal, serta latar belakang status sosial ekonomi telah mengonstruksi kebiasaan yang berbeda dalam lingkup keluarga. Tidak jarang, anak-anak di Indonesia harus berbagi kamar tidur dengan orangtua atau saudaranya. Bahkan, ketika usia mereka sudah mencapai usia dewasa pun, banyak yang masih tinggal serumah dengan orangtua, baik sebelum maupun sesudah menikah. Pada tataran ini, konsep ‘privasi’ yang dibayangkan oleh dunia Barat tidak berlaku dalam konteks Indonesia.

Dengan latar belakang sosiokultural tersebut, kehadiran media sosial dan wacana atas privasi menjadi hal yang kompleks di Indonesia; terlebih tanpa bekal atas konsep ruang privat yang ada dalam konteks luring. Terlebih, dengan adanya polimediasi diri, yang merujuk pada praktik multiplikasi diri seseorang dalam kanal-kanal media sosial, di mana diri kita dan realitas kita terfragmentasi dalam banyak ruang sekaligus (Herbig, Herrmann & Tyma, 2015). Contoh dari polimediasi diri ini adalah ketika kita memiliki banyak akun dalam satu kanal media sosial, atau menggunakan banyak media sosial, sehingga diri kita terbagi-bagi dalam kanal-kanal media sosial tersebut.

Dalam penelitian yang dilakukan terhadap pemaknaan privasi dalam penggunaan media sosial oleh kaum muda Indonesia, ditemukan bahwa terjadi tarik-menarik pada tataran bagaimana para pengguna media sosial “menyeimbangkan” antara hasrat untuk berbagi informasi personal mereka dan kebutuhan untuk memiliki kendali atas keterbukaan informasi tersebut (Purwaningtyas, 2019). Polimediasi diri dalam ruang siber menjadi salah satu aspek yang membuat praktik pemaknaan atas privasi menjadi hal kompleks. Privasi bukan lagi sekadar upaya untuk mencapai otonomi diri dengan melakukan isolasi atau eksklusivitas atas informasi personal, melainkan berangkat dari proses dialektik antara pengungkapan diri (self-disclosure) dan pembatasan diri (self-boundary), sehingga membahas tentang privasi berarti juga membahas mengenai publisitas.

Kondisi di mana seseorang memiliki akun dalam lebih dari satu kanal media sosial (atau banyak akun dalam satu kanal media) kemudian membuat diri menjadi terfragmentasi (Purwaningtyas, 2020). Melalui fragmentasi diri yang terjadi, pengguna media sosial memperlihatkan kecenderungan atas “diri yang ambivalen”, “diri yang menghasratkan pengakuan”, dan “diri yang mencari kebebasan”. Pada tataran ini, konsepsi atas “diri” yang muncul dari fragmentasi diri para pengguna media sosial tersebut mengarahkan pada satu narasi besar bahwa “diri yang dianggap otentik telah hilang” melalui paradoks-paradoks yang muncul dalam dialektika antara privasi dan publisitas pada penggunaan media sosial. Namun, hilangnya diri yang dianggap otentik tidak dimaknai pengguna sebagai hilangnya otonomi atas diri mereka, karena privasi kemudian dimaknai dalam spektrum pertukaran untuk mendapatkan pengakuan sosial tertentu yang mereka inginkan. Dengan kata lain, mereka merasa bahwa privasi tidak terlanggar selama mereka memeroleh sesuatu yang mereka inginkan, sehingga definisi privasi dalam media sosial mewujud pada bagaimana diri melepas informasi personal tertentu untuk mendapatkan pengakuan sosial tertentu.

Proses pertukaran yang dilakukan oleh individu dalam upaya pemenuhan hasrat atas privasi terkait dengan ruang personal yang ia konstruksi sedemikian rupa demi mewujudkan hasrat tersebut. Dalam konteks media sosial, persoalan ini menjadi kompleks karena batas-batas antara ruang personal dan ruang publik di kanal media sosial telah kabur (Purwaningtyas, 2019). Oleh karena itu, upaya pemenuhan hasrat “diri” individu untuk menyeimbangkan privasi dan publisitas dalam praktik bermedia sosial tidak dapat mengesampingkan “ruang” sebagai aspek yang memberi signifikansi terhadap pemaknaan privasi itu sendiri.

Melalui konstruksi atas ruang personal yang dilakukan para pengguna Path dalam penelitian ini, ditemukan bahwa para mereka cenderung membangun “ruang kenyamanan dalam keserupaan”, “ruang liberasi yang semu”, dan “ruang yang meruntuhkan panoptik”. Ketiga konsepsi atas “ruang” tersebut mengarahkan pada satu narasi besar bahwa ruang personal menjadi ruang semitransparan yang dikonstruksi sedemikian rupa dalam upaya untuk menghilangkan hierarki, kontrol, dan pengawasan dalam bentuk tertentu dari pihak tertentu (khususnya relasi keluarga). Namun, hierarki, kontrol, dan pengawasan tetap ada dalam bentuk yang lain dari pihak yang lain, yaitu relasi pertemanan, meskipun hal tersebut tidak dimaknai pengguna sebagai hilangnya ruang personal yang mereka inginkan. Dengan kata lain, mereka merasa bahwa ruang personal tidak terlanggar selama mereka mendapatkan sensasi atas kesetaraan dalam bentuk relasi pertemanan. Pada tataran ini, definisi privasi dalam media sosial mewujud pada bagaimana pengguna melihat ruang personal bukan merupakan ruang isolasi diri, melainkan sebagai arena kontestasi atas pemenuhan hasrat privasi dan publisitas untuk mendapatkan resiprokalitas dalam relasi.

Dengan demikian, definisi privasi dalam bingkai penggunaan media sosial mengerucut pada dua tataran, yaitu “diri” dan “ruang”. Pada tataran “diri”, privasi menjadi proses transaksi di mana risiko atas kehilangan diri yang dianggap otentik hingga taraf tertentu ditukarkan dengan potensi individu untuk mendapatkan pengakuan sosial tertentu yang ia inginkan. Pada tataran “ruang”, privasi menjadi upaya membangun ruang personal semitransparan sebagai arena kontestasi atas proses pertukaran tersebut untuk memeroleh relasi yang resiprokal. Dalam bingkai pemaknaan tersebut, pengguna tidak merasa privasi mereka terlanggar selama diri mereka memeroleh sensasi atas pengakuan sosial, kesetaraan, dan resiprokalitas dalam ruang media sosial.[]


Daftar Pustaka

  • Griffin, E. (2012). A first look at communication theory (8th ed.). McGraw-Hill.
  • Herbig, A., Herrmann, A. F. & Tyma, A. W. (2015). Beyond New Media: Discourse and Critique in a Polymediated Age. Lexington Books.
  • Margulis, S. T. (2011). Three Theories of Privacy: An Overview. In S. Trepte & L. Reinecke (Eds.), Privacy Online: Perspective on Privacy and Self-Disclosure in the Social Web (pp. 9–18). Springer.
  • Purwaningtyas, M. P. F. (2019). Privacy and Social Media: Defining Privacy in the Usage of Path. KnE Social Sciences, 217–235. https://doi.org/10.18502/kss.v3i20.4938
  • Purwaningtyas, M. P. F. (2020). The Fragmented Self: Having Multiple Accounts in Instagram Usage Practice among Indonesian Youth. Jurnal Media Dan Komunikasi Indonesia, 1(September), 171–182.
  • Trepte, S., & Reinecke, L. (2011). Privacy Online: Perspectives on Privacy and Self-Disclosure in the Social Web.

*Ilustrasi oleh Aliem Bakhtiar.

1 posts

About author
Mashita Phitaloka Fandia Purwaningtyas, atau kerap diringkas sebagai Mashita Fandia, adalah dosen di Departemen Ilmu Komunikasi UGM. Mashita memperoleh gelar S1 di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM pada tahun 2013 dan gelar S2 di Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana UGM pada tahun 2018. Mashita mendalami kajian mengenai budaya digital, psikologi media, kajian media hiburan, budaya kaum muda, dan kajian gender. Mashita dapat dihubungi lebih lanjut melalui alamat surel [email protected].
Articles
Related posts
ARTIKELULASAN

Rangkai Jejak Pelatihan Pelindungan Data Pribadi untuk Organisasi Masyarakat Sipil

Pelatihan PDP untuk OMS dilaksanakan berseri selama tiga kali (September-November 2023) dengan melibatkan total 102 peserta dari 51 OMS yang tersebar di seluruh nusantara.
ULASAN

Catatan Perjalanan APrIGF 2023 dan Langkah Panjang Menuju Keadilan Data

Pada gelaran Asia Pacific Regional Internet Governance Forum (APrIGF) 2023 di Brisane, Australia, Combine fokus menyuarakan isu atas hak privasi, kebebasan sipil,…
ARTIKELBERITA

Lokakarya Keamanan Website Guna Memitigasi Serangan Digital terhadap Organisasi Masyarakat Sipil

Literasi keamanan digital kian dibutuhkan di tengah pelbagai represi virtual yang mengadang. Combine Resource Institution (CRI) kemudian menyelenggarakan lokakarya keamanan website bagi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *