“Great things are not done by impulse but by a series of small things brought together,” demikian kata pelukis tersohor Vincent van Gogh. Terjemahan singkatnya kurang lebih adalah hal besar terwujud dari serangkaian hal kecil yang disatukan. Memang bisa saja ucapan itu muncul merujuk pada teknis melukis pointilism yang menyatukan titik-titik warna menjadi sebuah gambar. Tapi ungkapan singkat itu mampu mewakili jawaban atas pertanyaan, “Apa yang coba dilakukan CRI tahun ini?”
Tidak banyak yang memahami langkah CRI saat mulai mengubah beberapa konsep, maupun saat mengangkat wacana yang tidak populer. Mengubah konsep Sistem Indormasi Desa (SID) misalnya, menjadi lebih berpegang pada prinsip dan proses, membuat banyak pihak merasa terancam kepentingan sesaatnya dan memilih untuk meninggalkan fair play baik secara etika maupun hukum. Demikian juga saat mulai membantu menggaungkan wacana keamanan data pribadi secara digital, antara lain dengan mempertanyakan kejelasan proses bisnis registrasi simcard, tidak banyak yang sejalan.
Kami berkomitmen untuk konsisten pada sesuatu yang lebih besar yaitu prinsip, visi yang ingin dicapai saat melakukan beragam hal-hal yang mungkin dinilai sederhana dan kecil. Tahun 2018 adalah waktunya kami kembali menggelar agenda dwitahunan, Jagongan Media Rakyat. Pada JMR kelima ini kami juga mulai mengubah konsep. Tidak lagi mengejar jumlah diskusi dan pengunjung yang fantastis. Kami memilih membawa tema baru di luar media dan teknologi seperti yang biasanya mendominasi JMR. Salah satunya mengajak petani pesisir, petani kopi hingga pembuat jajan pasar untuk mengisi Kampung Pangan. Konsep kampung ini membuat diskusi tidak lagi dilakukan di kelas, melainkan secara terbuka berbaur dengan keriuhan seliweran pengunjung.
Kami mencoba membuat tema diskusi tidak lagi bagi mereka yang sudah familiar, melainkan bisa menyusup di telinga dan kesadaran orang yang belum mengakrabinya. Prinsip kolaborasi diuji di sini, apakah para pegiat di JMR hanya bisa berkolaborasi dengan yang sudah kenal, atau malah bisa membuka diri lintas tema dan komunitas untuk membuat gerakan makin riil dan berdampak. Tentu bukan hal yang mudah mengingat tidak sedikit yang selama ini merasa butuh “situasi khusus”, mulai dari tempat pameran hingga ruang diskusi yang fokus pada dirinya. Namun inilah prinsip JMR yang kami ingin dijadikan pegangan oleh semua pihak yang selama ini menjadi bagian, atau akan menjadi bagiannya.
Kami juga tidak hanya berhenti di JMR. Salah satu agenda JMR yang kami lanjutkan adalah literasi digital untuk perempuan. Kami memulainya dengan hal kecil yang bisa dilakukan, yaitu bersama kalangan ibu di sekitar kantor. Kami sangat yakin literasi digital adalah kunci menghadapi belitan masalah yang terkait penggunaan internet, mulai penyalahgunaan media sosial oleh anak hingga makin mudahnya pasal 27 ayat 3 UU ITE digunakan untuk menyerang kebebasan berpendapat seseorang. Dan melalui belajar bersama kalangan ibu, kesenjangan digital dapat mulai dikikis. Mungkin akan panjang dan melelahkan, namun kami telah meletakkan komitmen itu.
Integrasi data, keamanan data, literasi digital dan pengelolaan informasi warga tetap menjadi isu yang kami usung hingga beberapa tahun ke depan. Keempatnya akan hadir dalam bentuk kegiatan-kegiatan kecil. Kegiatan-kegiatan inilah yang menjadi titik titik warna yang akan dirangkai menjadi satu gambar yang lebih besar dan bermakna. Meski tentu tidak berharap, namun bisa saja nasib kami seperti van Gogh yang baru terkenal setelah meninggal. Kalaupun itu yang terjadi kami tetap bangga, sebab bagi kami popularitas instan yang berbasis kepentingan sesaat tidaklah penting dibandingkan manfaat dan makna bagi warga. Begitulah kami ingin dikenal dan dikenang.
Laporan-Tahunan-CRI-2018