WAWANCARA

Gunardi: “Membangun Data Itu Harus Pelan-pelan dan Tidak Mudah”

Dibaca 4 Menit

Program satu data dari desa yang dijalankan oleh Combine Resource Institution (CRI) telah diimplementasikan di empat kabupaten. Ada Gunungkidul, Bantul, Lombok Utara, dan yang terbaru adalah Sleman. Inisiatif satu data di Sleman dimulai sejak tahun 2017 silam.

Pemkab Sleman berkoordinasi dengan pihak desa untuk terus menginput dan memutakhirkan data dari akar rumput melalui Sistem Informasi Desa (SID) Berdaya dan Sistem Informasi Kabupaten (SIKAB) – dua sistem informasi yang telah CRI persiapkan untuk tujuan tata kelola data dari level desa. Seperti yang terjadi di tiga kabupaten lainnya, pekerjaan membangun data dari desa memang bukanlah proses instan yang akan menuai hasil dalam waktu sekejap. Berbagai tahap harus dengan sabar dilalui demi perwujudan tata kelola data yang lebih baik.

Fiahsani Taqwim, Staf Penguatan Kapasitas dan Komunikasi CRI mewawancarai Gunardi, aparatur sipil negara (ASN) senior di Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PMK)1 Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk merekam proses tata kelola data yang tengah dijalankan di Sleman. Gunardi yang menjabat sebagai Analis Kebijakan Ahli Muda telah mengawal upaya perwujudan satu data di Sleman sejak proses ini dimulai pada 2017 silam. Gunardi bercerita tentang bagaimana tahap demi tahap proses satu data tengah dijalankan. Selain itu, dia juga akan berbicara terkait tantangan apa saja yang mesti dihadapi.

Bagaimana awal mula ketertarikan Pemda Sleman terhadap aplikasi SID Berdaya dan SIKAB?

Tahun 2017, saya baru dipindah ke Dinas PMK Sleman dan mendapat tugas untuk mengurus sistem informasi kelurahan (desa). Saat itu, saya temukan banyak dokumen kajian tentang tata kelola data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo), dan Dinas Perhubungan (Dishub). Dari kajian itu, disebutkan bahwa aplikasi tata kelola data yang paling baik adalah yang dikembangkan oleh CRI. Saya kemudian tertarik untuk mencari tahu CRI lewat website. Akhir tahun 2017 atau awal 2018, saya mencoba menghubungi teman-teman di CRI lewat kontak yang ada di website. Dari komunikasi itulah, saya kemudian mempelajari payung hukum dan metode penerapan SID Berdaya dan SIKAB sebelum benar-benar menyiapkan dokumen kerja sama dengan CRI.

Dengan siapa Dinas PMK Sleman berkoordinasi untuk mewujudkan pemanfaatan SID Berdaya dan SIKAB di Kabupaten Sleman?

Mulanya, ini adalah inisiatif dari Dinas PMK Sleman. Kami kemudian menggandeng Diskominfo dan Bappeda (Badan Pembangunan Daerah) atas rekomendasi dari CRI. Kami kemudian berbagi peran. Dinas PMK mengurusi sumber daya manusianya, Bappeda mengurusi soal muatan datanya, Diskominfo mengurusi aplikasi dan teknologinya, dan seterusnya. Dalam proses ini, kami secara bertahap juga melibatkan dinas-dinas lainnya. Ada Disdukcapil, Dinsos, Dinkes, semua dimintai keterangan tentang data apa saja yang mereka punya.

Sampai saat ini, sudah sejauh mana tahap implementasi SID Berdaya dan SIKAB?

Awalnya saya pikir proses pemanfaatan SID Berdaya dan SIKAB ini akan gampang dan cepat, tapi ternyata tidak seperti itu. Prosesnya berjalan paralel dan pelan. Kami mulai dengan input data dari Disdukcapil, kemudian lanjut ke Data Kesejahteraan Sosial Terpadu (DTKS) milik Dinsos. Di samping itu, kami juga terus melakukan sosialisasi, bimbingan teknis, dan koordinasi dengan teman-teman di desa. Prosesnya bertahap, dari koordinasi dan memberikan bimbingan teknis terkait penggunaan SID Berdaya di 17 desa, kemudian menyusul 36 desa, dan terakhir nanti 33 desa. Tahun 2022 ini, tahap koordinasi dan bimbingan teknis sudah dilakukan ke hampir seluruh desa di Sleman. Sebenarnya, kami ingin lebih cepat, tetapi kemarin sempat terhenti karena kendala pandemi.

Apa saja tantangan yang dihadapi demi memaksimalkan pemanfaatan SID Berdaya?

Tantangan terberatnya bagi saya adalah kerja tim. Kalau kita kerja sendiri tinggal jalan, tapi, kerja tim ini lain. Kata teman-teman CRI, minimal Dinas PMK, Diskominfo, dan Bappeda harus kompak. Kadang-kadang, Dinas PMK dan Diskominfo sudah jalan, tapi Bappeda belum. Termasuk juga kerja sama dengan teman-teman kelurahan. Jadi, yang susah adalah menarik semua elemen yang berkaitan dengan satu data ini, dari mulai teman-teman di desa, hingga di organisasi pemerintah daerah (OPD). Secara aplikasi sudah oke, sudah jadi, sudah difasilitasi oleh teman-teman di Diskominfo dan CRI. Nah, bagaimana koordinasi membangun datanya ini yang harus pelan-pelan dan tidak mudah.

Bagaimana cara menghadapi atas tantangan-tantangan tersebut?

Cara menghadapi tantangan di level desa harus dengan cara orang Jawa, yaitu harus dipangku. Maksudnya begini, kalau kita care, mengayomi, setia mendampingi teman-teman yang ada di desa, maka ikatan sosiologis akan terbangun. Selama ini sering kali pemda hanya melakukan monev (monitoring dan evaluasi), tanpa melakukan pendampingan rutin. Nah, sedangkan menurut saya, model pendampingan intensif dan tatap muka langsung ke desa-desa itu penting. Saya pribadi selalu mengusahakan untuk menemani teman-teman di desa kalau mereka membutuhkan. Jika sudah begitu, nanti ke depan kerja sama satu data antara pemda dan desa lebih mudah.

Kalau dengan teman-teman di Kominfo, Bappeda, dan OPD, cara menghadapinya adalah dengan tidak berhenti, tidak putus mengajak rapat koordinasi. Apa pun caranya, pokoknya semua dinas terkait harus diajak, dilibatkan dalam rapat.

Apa harapan atas proses tata kelola data ini?

Ada beberapa harapan. Pertama, saya berharap agar teman-teman di desa maupun di kabupaten dapat dengan cepat dan mudah memperoleh dan mengakses data. Selama ini, teman-teman di kabupaten sering sekali meminta data dari teman-teman di desa. Ada kebutuhan data apa, langsung minta. Besoknya, minta lagi. Pokoknya dikit-dikit minta data. Harapannya, kalau semua data sudah tersimpan dan terorganisir di SID Berdaya dan SIKAB, yang semacam itu tidak terjadi lagi. Jadi, energi pihak desa maupun kabupaten tidak habis di proses ini saja dan bisa dialihkan untuk mengerjakan hal lain.

Harapan yang kedua adalah, saya ingin pemerintah desa berdaulat atas datanya sendiri. Saya berharap mereka bisa memiliki, bisa mengelola, dan bisa memberikan kepada pihak kabupaten. Selama ini, teman-teman di desa hanya menjadi “subjek penderita” karena terlalu sering disuruh-suruh oleh pemda. Mereka diminta untuk mengumpulkan data, sampai meng-entry ke sistem, tapi tidak diberi kesempatan untuk memanfaatkannya.

Terakhir, saya berharap tata kelola data lewat SID Berdaya dan SIKAB ini bisa dijadikan dasar perencanaan pembangunan desa bahkan kabupaten. Sebab, perencanaan dan pembangunan yang baik harus didasarkan pada data yang akurat.[]


1 Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PMK) bisa disebut juga dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD).


Keterangan foto: Gunardi (paling kiri), sedang memfasilitasi kegiatan bimtek pemanfaatan SID Berdaya di Sleman.

Related posts
ARTIKELBERITA

18 Desa Percontohan, Simpul Belajar SID Berdaya di Provinsi Bali

Proses pembelajaran awal 18 desa percontohan tengah sampai pada tahap evaluasi. Masing-masing perwakilan desa saling berbagi saran dan peran guna tindak lanjut…
ARTIKELBERITA

Inisiasi Kerja Sama, Combine dan Penggerak Masyarakat Buleleng Bangun Tata Kelola Data

Combine menginisiasi pelatihan Data Center bagi pengelola SID Berdaya, sekaligus mengajak Pemkab Buleleng untuk berkolaborasi dan merumuskan perjanjian bersama. Ikhtiar Combine Resource…
ARTIKELBERITA

Asa Warga Desa Wujudkan Satu Data di Buleleng Bali

Penguatan satu data daerah di Kabupaten Buleleng Bali telah sampai pada tahap identifikasi kebutuhan, finalisasi peta jalan, serta sosialisasi fitur SID. Para…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *