OPINI

Kemajuan Teknologi yang Mengkhianati HAM

Dibaca 4 Menit

Perkembangan teknologi yang diklaim dapat memberdayakan kelompok-kelompok terpinggirkan dan menciptakan kesetaraan nyatanya tidak berjalan. Perkembangan teknologi malah memperdalam jurang kesenjangan.

Saya pernah mengikuti kelas filsafat online selama enam hari berturut-turut. Para pesertanya berjumlah kurang dari sepuluh orang, dan mayoritas berdomisili di pulau Jawa. Salah satu teman dalam kelas tersebut berasal dari Indonesia bagian timur. Sebut saja namanya Jupiter, umurnya 24 tahun. Dia merupakan seorang relawan pendidikan sekaligus pengelola rumah baca. Dari enam hari pertemuan, Jupiter terhitung hanya empat kali hadir, itu pun dia kerap terlambat. Setiap kali kami yang ada di dalam kelas bertanya perihal ketidakhadirannya, Jupiter selalu memberikan jawaban yang sama: sebab alasan koneksi. Tidak ada sinyal di tempat tinggalnya, sehingga dia harus pergi ke kota lain demi mengikuti kelas ini.

“Saya harus menempuh perjalanan sekitar satu setengah jam demi sinyal, Bang,” katanya kepada mentor kelas filsafat kami sambil tertawa.

Saya geleng-geleng kepala, takjub menyaksikan Jupiter yang masih sempat-sempatnya tertawa di tengah keletihannya bermobilisasi. Bayangkan, ia harus menempuh tiga jam (1,5 jam pergi-pulang) perjalanan untuk memperoleh koneksi internet. Sementara kelas filsafat kami hanya berdurasi maksimal 2 jam. Jadi, Jupiter yang malang ini harus menghabiskan lebih banyak waktu di jalan, ketimbang di kelas itu sendiri. Belum lagi, dia harus melakukannya selama berhari-hari. Bayangkan, betapa lelahnya dia, dan betapa boros waktunya, mungkin juga ongkos perjalanannya demi kelas virtual ini.

Pengalaman Jupiter seketika mengingatkan saya bahwa di era serba online ini, ternyata masih ada orang yang kesulitan mengakses internet. Beruntung sekali diri ini yang kebetulan tinggal di wilayah yang tidak kekurangan fasilitas internet, sehingga dapat dengan mudah mengaksesnya untuk menunjang kehidupan. Saya bisa memanfaatkan kecanggihan internet untuk berbelanja online, membeli tiket perjalanan, berkonsultasi dengan dokter dan menukar resep obat, bahkan membayar pajak. Pokoknya, sejak ada kecanggihan teknologi, hidup saya terasa lebih praktis.

Lalu bagaimana dengan Jupiter? bisakah dia seperti saya, yang dapat mengefisienkan kegiatan sehari-hari berkat bantuan teknologi? Bukankah justru sebaliknya, kehadiran teknologi malah membuat Jupiter terbebani, sebab dia malah harus mengeluarkan banyak tenaga dan menempuh perjalanan jauh untuk mengaksesnya?

Jupiter tidak sendirian. Entah ada berapa juta manusia di dunia ini yang juga punya pengalaman serupa: hidup di era yang serba terhubung (connected society), namun dengan keterbatasan akses internet. Philip Alston, seorang profesor di bidang hukum sekaligus pelapor khusus PBB, mengungkapkan dalam sebuah laporan berjudul Extreme Poverty dan Human Right (2019) bahwa ada kelompok-kelompok atau pihak-pihak yang tidak mampu mengakses internet, sebab kendala dana maupun sinyal. Pada laporan yang ditulisnya untuk PBB itu, Alston juga menambahkan bahwa ada pula kelompok-kelompok yang tidak memiliki kecakapan digital, sehingga mereka sulit memperoleh manfaat teknologi.

Bagi Alston, persoalan kesenjangan di ranah digital ini erat sekali kaitannya dengan hak asasi manusia (HAM). Dia menulis bahwa perkembangan teknologi yang harusnya memberdayakan dan mendorong terciptanya kesetaraan malah menimbulkan keadaan yang sebaliknya. Perkembangan teknologi malah memunculkan kesenjangan kelas yang semakin besar.

Beranjak dari persoalan kesenjangan, perkembangan teknologi ternyata juga menimbulkan permasalahan HAM lainnya, yaitu pelanggaran privasi data pribadi. Melalui artikel Why The Digitization of Welfare State is a Pressing Human Right Issue, ahli hukum HAM dari NYU School of Law, Cristiaan van Veen bercerita tentang pelanggaran privasi penduduk di beberapa negara akibat kebijakan digitalisasi data yang dikeluarkan oleh pemerintah. Veen mengambil contoh pemerintah dua negara dari dua benua, yaitu Kenya dan Irlandia. Pemerintah di kedua negara tersebut sama-sama mendapat kritik dari Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) setempat karena menetapkan sistem data digital untuk syarat akses semua jaminan dan fasilitas penduduknya. Kebijakan tersebut dinilai tidak tepat. Sebab, pemerintah Kenya maupun Irlandia dianggap memaksa penduduknya untuk menukar banyak sekali data pribadi mereka dengan berbagai fasilitas kesejahteraan. Banyaknya data pribadi penduduk yang dihimpun dalam sistem data digital tersebut disinyalir dapat menimbulkan persoalan hak-hak digital, yang tentu saja melanggar HAM.

Skema yang sama juga terjadi di Indonesia. Pemerintah pernah merencanakan mewajibkan kita untuk menginstal aplikasi PeduliLindungi sebagai syarat akses berbagai fasilitas umum di musim pandemi. Terakhir warga diwajibkan menggunakan aplikasi tersebut untuk membeli minyak goreng murah. Tidak hanya itu, baru-baru ini kita juga dianjurkan menggunakan aplikasi MyPertamina sebagai syarat membeli bahan bakar minyak jenis pertalite. Kita disuruh menginstal aplikasi-aplikasi itu, sehingga mengorbankan data pribadi demi mengakses fasilitas umum.

Belajar dari pengalaman Jupiter, laporan Philip Alston, juga tulisan Christiaan van Veen, menjadi pahamlah diri ini kalau ternyata perkembangan teknologi sebagai jalan kemudahan tidaklah seindah kelihatannya. Perkembangan teknologi ternyata punya banyak celah yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Ada persoalan kesenjangan digital, hingga pelanggaran privasi data pribadi. Belum lagi persoalan kejahatan siber dan potensi ancaman digital lainnya yang belum terbahas di artikel ini. Lalu, bagaimanakah solusinya agar teknologi dapat digunakan secara aman dan dirasakan manfaat kecanggihannya oleh semua pihak?

Alston menegaskan bahwa pemerintah harusnya tidak hanya fokus pada inovasi teknologi saja, melainkan harus juga memikirkan tentang bagaimana pendistribusian akses yang merata, juga penguatan kapasitas rakyatnya. Buat apa buru-buru menciptakan sistem digital yang canggih, kalau manfaatnya cuma dirasakan oleh kaum tertentu saja, dan malah membuat kelompok lainnya jadi keteteran. Pelapor Khusus PBB itu juga menambahkan bahwa parapihak yang bertanggung jawab dalam pengembangan sistem digital harus rutin melakukan evaluasi, supaya selalu ada kontrol di setiap inovasi yang dihasilkan.

Solusi yang mirip-mirip juga dipikirkan oleh Shita Laksmi, Direktur Eksekutif Tifa Foundation, sebuah OMS di Indonesia yang bekerja pada isu perlindungan hak-hak masyarakat. Dalam sebuah diskusi virtual bertema Privasi dan Kebebasan Berekspresi di Era Digital yang diselenggarakan pada bulan Maret 2022 silam, Shita sempat menyatakan pendapatnya tentang kemungkinan untuk menghentikan inovasi teknologi demi mengatasi berbagai permasalahan HAM di zaman yang serba digital. Baginya, perkembangan teknologi berjalan dengan terlalu cepat, sementara para manusia belum sepenuhnya siap untuk mengikutinya.

“Kalo saya boleh berpikir gila, menurut saya sebaiknya inovasi teknologi berhenti dulu, karena kita belum siap untuk melakukannya. Kita harusnya memikirkan hal-hal yang lebih mendasar dulu, fokus di level manusianya,” tutur Shita.

Di luar argumen solutif yang telah disampaikan di atas, tentu masih banyak pendapat lainnya. Sebab, isu perkembangan teknologi ini merupakan isu yang kekinian, kompleks, dan menyangkut hajat hidup banyak orang. Saya harap, teman-teman yang telah membaca tulisan ini juga memiliki argumen reflektifnya sendiri soal dampak perkembangan teknologi terhadap isu HAM.

Sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan mumpuni di bidang inovasi teknologi, apalagi pemegang kuasa yang dapat mengontrol dan mengevaluasi jalannya perkembangan teknologi, maka yang bisa saya lakukan hanyalah menjaga diri sendiri dari berbagai kemungkinan ancaman di ranah digital. Selain itu, saya juga tidak berhenti berdoa agar Jupiter, dan orang-orang yang bernasib sama sepertinya segera mendapatkan apa yang menjadi haknya.[]

Daftar Pustaka


Sumber gambar: Dan Cristian P. via pexels.com.

Related posts
ULASAN

Catatan Perjalanan APrIGF 2023 dan Langkah Panjang Menuju Keadilan Data

Pada gelaran Asia Pacific Regional Internet Governance Forum (APrIGF) 2023 di Brisane, Australia, Combine fokus menyuarakan isu atas hak privasi, kebebasan sipil,…
ARTIKELBERITA

Lokakarya Keamanan Website Guna Memitigasi Serangan Digital terhadap Organisasi Masyarakat Sipil

Literasi keamanan digital kian dibutuhkan di tengah pelbagai represi virtual yang mengadang. Combine Resource Institution (CRI) kemudian menyelenggarakan lokakarya keamanan website bagi…
BERITA

Pemenuhan Hak-hak Digital di Indonesia Masih Buruk

Sejumlah lembaga masyarakat sipil menilai bahwa hak-hak digital di Indonesia, khususnya di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah, belum menjadi isu penting bagi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *