ULASAN

Yang Tak Tampak di Jagat Digital

Dibaca 3 Menit

Beberapa waktu lalu sempat ramai perbincangan mengenai film Penyalin Cahaya. Ada beberapa isu keamanan digital yang bisa jadi pengingat buat kita.

Kalau WeTV beberapa waktu yang lalu berhasil meramaikan jagat bioskop daring dengan serial Layangan Putus, maka Netflix tidak mau kalah lewat Penyalin Cahaya. Tidak berseri, tontonan tersebut adalah film yang berdurasi dua jam lebih sedikit. Film yang dirilis pada pertengahan Januari 2022 ini bertahan cukup lama di top ten Neflix Indonesia. Dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) yang digelar pada akhir 2021 silam, buah karya Wregas Bhanuteja ini memborong setidaknya dua belas penghargaan. Tema cerita tentang pelecehan seksual di kampus yang belakangan menjadi topik hangat pemberitaan, adalah kunci daya pikatnya. Ditambah lagi, alur menegangkan yang susah ditebak betul-betul membawa angin segar bagi penikmat film Indonesia. Maka, tidak heran kalau tanggal penayangannya yang perdana amat dinanti-nanti oleh pemirsa.

Di tengah euforia menyambut tanggal penayangannya di Netflix, kabar mengejutkan perihal skandal pelecehan seksual yang dilakukan oleh salah satu kru film ini viral. “Masak kru film bertema pelecehan seksual malah jadi pelaku pelecehan,” begitu celetuk salah seorang teman saat kami larut dalam kehebohan pemberitaannya. Sempat ada prediksi bahwa tontonan ini bakal tak laku akibat cerita kelam kreatornya. Akan tetapi prediksi itu tidak terjadi, sebab Penyalin Cahaya malah bertahan cukup lama di jajaran film paling dicari pada Januari—Februari 2022.

Saya tidak mau berpanjang-panjang membahas berita miring tentang kru yang bekerja di belakang kesuksesan film ini. Terlepas dari berita mengejutkan tersebut, saya tetap menikmati dan mendapat banyak pelajaran lewat Penyalin Cahaya. Salah satu isu penting yang disampaikan melalui film ini adalah fenomena pelecehan seksual dan ruang aman bagi kaum marginal. Aktivis perempuan Kalis Mardiasih, misalnya, yang sempat mengatakan bahwa absennya ruang aman di dunia daring (online) yang digambarkan melalui film tersebut merupakan lanjutan dari persoalan ketimpangan relasi kuasa di dunia luring (offline).

Melanjutkan pendapat Kalis soal ruang aman jagat daring, maka saya mencoba menguraikan sedikit tentang apa saja ancaman digital yang bisa ditemukan dalam film ini. Di dua puluh menit pertama, penonton akan diperkenalkan pada tokoh utama serta konflik cerita yang sangat kontekstual dengan jagat digital. Suryani, protagonis dalam film ini harus kehilangan beasiswa lantaran foto dirinya yang tengah mabuk di sebuah pesta tersebar melalui media sosial. Apa yang dialami oleh Sur seketika menyadarkan saya terhadap bahaya jejak digital yang di era ini dapat dengan mudahnya diakses oleh banyak orang. Siapa yang mengira, bahwa menyimpan swafoto di gadget pribadi yang seolah-olah lumrah dan tidak bakal memicu bahaya nyatanya berdampak pada masa depan.

Konflik kian meruncing tatkala dalam proses memperjuangkan kembali beasiswanya, Sur malah mendapati dirinya telah menjadi korban pelanggaran privasi dan keamanan data pribadi. Tanpa dia duga, tokoh Amin–seorang penjaga fotokopi kampus–yang merupakan orang kepercayaan Sur untuk membantu menyelesaikan permasalahan beasiswanya, justru berkhianat. Amin ternyata telah membobol foto-foto pribadi Sur, juga beberapa pelanggan jasa fotokopi di lapaknya. Parahnya lagi, foto-foto pribadi Sur dan beberapa orang korban lainnya kemudian diberikan kepada pihak lain demi memperoleh keuntungan. Saya ngeri sendiri membayangkan bahwa diri ini juga bisa saja menjadi korban pencurian data pribadi sekaligus pelanggaran privasi akibat memakai jasa print di gerai fotokopi. Saya tidak pernah benar-benar tahu seberapa besar jaminan keamanan data pribadi saat sedang mencolokkan flashdisk atau smartphone di komputer fotokopian.

Hampir semua korban pencurian data dan pelanggaran privasi yang dilakukan oleh Amin adalah mahasiswi. Dari ilustrasi tersebut, semakin tergambar bahwa ancaman kekerasan di ruang digital lebih banyak dialami oleh perempuan. Istilah “Kekerasan Berbasis Gender Online” (KBGO) tentu saja menjadi materi penting yang juga tidak boleh dilupakan dalam film ini.

Setelah menonton film ini, saya bertanya-tanya pada diri sendiri: seberapa besar, sih, kesadaran masyarakat akan bahaya dunia digital yang makin hari makin bervariasi? Berapa banyak orang, sih, yang sudah paham tentang pesatnya perkembangan teknologi era kini yang sebetulnya berbanding lurus dengan kian maraknya ancaman dunia online yang terkadang luput disadari? Menurut saya, ide cerita film tersebut sangat brilian. Bukan cuma sebagai sebuah karya seni yang menyerukan kritik terhadap kekerasan seksual, tetapi film ini juga menyiarkan pentingnya literasi keamanan digital. Belum banyak film Indonesia yang mengangkat tema bahaya perkembangan digital. Namun, lewat film ini, penonton akan disadarkan pada urgensi untuk mulai melek digital.[]


Gambar “Penyalin Cahaya” (2021) diambil dari imdb.com.

Related posts
ULASAN

Catatan Perjalanan APrIGF 2023 dan Langkah Panjang Menuju Keadilan Data

Pada gelaran Asia Pacific Regional Internet Governance Forum (APrIGF) 2023 di Brisane, Australia, Combine fokus menyuarakan isu atas hak privasi, kebebasan sipil,…
ARTIKELBERITA

Lokakarya Keamanan Website Guna Memitigasi Serangan Digital terhadap Organisasi Masyarakat Sipil

Literasi keamanan digital kian dibutuhkan di tengah pelbagai represi virtual yang mengadang. Combine Resource Institution (CRI) kemudian menyelenggarakan lokakarya keamanan website bagi…
BERITA

Pemenuhan Hak-hak Digital di Indonesia Masih Buruk

Sejumlah lembaga masyarakat sipil menilai bahwa hak-hak digital di Indonesia, khususnya di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah, belum menjadi isu penting bagi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *