ULASAN

Tantangan Implementasi Satu Data di Daerah (Bag. 1)

Dibaca 2 Menit

Program satu data digadang-gadang menjadi jalan keluar bagi karut-marut pengelolaan data di berbagai level. Meski sudah ditetapkan dalam peraturan presiden sejak 2019, penerapan satu data masih belum menemukan titik terang.

Combine Resource Institution menyelenggarakan rangkaian Focus Group Discussion (FGD) sepanjang 2021 untuk merangkum proses perkembangan satu data di tingkat daerah. FGD dilaksanakan tiga kali dalam rentang Juni – November 2021 dan dihadiri oleh berbagai pihak, di antaranya, Sekretariat Satu Data Indonesia, pengamat kebijakan publik, perwakilan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), hingga Dinas Komunikasi dan Informtika dari beberapa kabupaten.

Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia telah ditetapkan tiga tahun lalu. Penentuan dan pembagian peran juga telah terangkum dalam regulasi tersebut. Sejumlah kementerian/lembaga memiliki peran sebagai penanggungjawab seperti pembina data, sekretariat data, wali data, dan produsen data yang terintegrasi antara pusat dengan daerah. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas yang menjadi leading sector dalam urusan satu data membuat portal Satu Data Indonesia, data.go.id. Portal ini dimaksudkan sebagai portal resmi data terbuka Indonesia, di mana seluruh data pemerintah dan data instansi lain yang terkait dapat diakses melalui satu pintu.

Akan tetapi, dalam implementasinya, formulasi sinkronisasi data antara pusat dengan daerah belum tersedia. Dalam program perencanaan, pemerintah daerah menggunakan basis data mikro (data by name by address). Sementara itu, pemerintah provinsi sebagai subsistem pemerintah pusat menyediakan dukungan data dalam bentuk agregat. Sinkronisasi antarkedua data dasar tersebutlah yang menghasilkan sumber data. Yang jadi persoalan bagi pemerintah daerah adalah memastikan bagaimana agar proses tersebut tidak tumpang tindih dan dapat diadaptasi tanpa menabrak regulasi.

Inisiasi Daerah dalam Mewujudkan Satu Data

Beberapa pemeritah daerah selama ini telah sejak lama merujuk pada data yang dikumpulkan di tingkat desa. Dalam FGD ketiga yang diselenggarakan pada pertengahan November 2021, Kepala Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Lombok Utara, Yuni Kurniati Maesyarah, menyatakan rujukan data untuk perbaikan pembangunan harus dimulai dari desa dan tidak bisa serta-merta mengacu pada data di kabupaten. Menurutnya, pemerintah kabupaten maupun pusat sebenarnya tidak bisa mengklaim program pembangunan daerah tanpa mengacu pada data yang dikumpulkan dari pemerintah tingkat terbawah.

Pemkab Lombok Utara berupaya menerapkan satu data dari desa melalui Sistem Informasi Desa (SID) Berdaya yang kemudian diagregasikan di tingkat kabupaten dalam Sistem Informasi Kabupaten (SIKAB). Melalui SID Berdaya, desa memiliki ruang dan wewenang mengelola datanya sendiri dan menjadikannya sebagai basis perencanaan pembangunan desa dengan meningkatkan fungsi pelayanan publik, informasi, dan data mikro.

Di Provinsi Yogyakarta, Gunungkidul menjadi kabupaten yang memanfaatkan SID Berdaya dan SIKAB untuk memperbaiki tata kelola data yang sejalan dengan prinsip satu data. Saat penanganan Covid-19, misalnya, sebelum Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di Kabupaten Gunungkidul ditetapkan, Bappeda dan Dinas Kesehatan bekerja sama membangun sistem pendataan untuk membantu screening yang telah terolah di SID Berdaya dan SIKAB untuk kemudian digunakan sebagai rujukan bantuan bagi warga terdampak.

Tantangan yang Dihadapi

Pemerintah daerah dihadapkan dengan berbagai permasalahan terkait bantuan salah sasaran, terkendala, atau tidak tersalurkan. Penyebabnya adalah karena desa, sebagai sumber data, tidak memegang kendali atas data yang dihasilkan. Dalam prosesnya, setelah desa melakukan verifikasi dan validasi, data yang dimasukkan ke dalam database atau sistem program tidak terekam dan tidak dapat diakses kembali oleh desa. Akibatnya, desa harus melakukan pendataan berulang atau data tidak mutakhir sesuai kondisi terkini. Hal semacam inilah yang kemudian berdampak pada banyaknya program salah sasaran.

Problem lainnya adalah adalah soal otoritas data. Pemerintah desa dan kabupaten kerap dikalahkan dalam urusan ini, sebab pemerintah pusat kerap menganggap bahwa data yang berasal dari pusat lebih benar sehingga dapat digunakan untuk program-program di daerah. Walhasil, data yang berasal dari desa yang terbukti lebih valid terlupakan. Pemerintah pusat juga kerap menjajikan proses, namun tanpa proses yang dapat diakses oleh publik.

Situasi inilah yang membuat pemerintah daerah akan selalu menanggung dampak karut-marut data. Maka, perlu dipikirkan strategi yang lebih baik untuk menyinkronisasi data agar tata kelola data dapat lebih baik dan berdampak positif bagi masyrakat.[]

Related posts
ARTIKELBERITA

18 Desa Percontohan, Simpul Belajar SID Berdaya di Provinsi Bali

Proses pembelajaran awal 18 desa percontohan tengah sampai pada tahap evaluasi. Masing-masing perwakilan desa saling berbagi saran dan peran guna tindak lanjut…
ARTIKELBERITA

Inisiasi Kerja Sama, Combine dan Penggerak Masyarakat Buleleng Bangun Tata Kelola Data

Combine menginisiasi pelatihan Data Center bagi pengelola SID Berdaya, sekaligus mengajak Pemkab Buleleng untuk berkolaborasi dan merumuskan perjanjian bersama. Ikhtiar Combine Resource…
OPINI

Merebut Makna Demokrasi: Merespons Situasi Politik Elektoral 2024

Menghitung jam menuju momen monumental 14 Februari, kita fasih menelan pertanyaan; “Pesta Demokrasi” ini milik siapa? Sebab frasa tersebut tak pernah dirasakan warga. Pemilu adalah proses panjang yang tak hanya berlangsung sehari, begitu pula dengan rekayasa politik yang mengekori. Menilik ke belakang, praktik kecurangan demokrasi telah berjalan secara sistematis. Intervensi dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *