SIARAN PERS

Satu Data Kemiskinan: Bagaimana dan untuk Siapa?

Dibaca 2 Menit

Persoalan pengentasan kemiskinan di negara ini seakan tidak kunjung usai. Padahal anggaran yang dialokasikan selalu meningkat. Sebagai contoh, anggaran bantuan sosial yang dikelola Kementerian Sosial terus naik, mulai dari sekitar Rp 17 triliun pada 2017, Rp 42 triliun pada 2018 dan sekitar Rp 58 triliun tahun ini. Namun saat bicara tentang jumlah warga miskin yang terentaskan, semua pemangku kepentingan memiliki jawaban berbeda baik di pemerintahan tingkat desa hingga pusat.

Persoalan data kemudian selalu disebut sebagai sumber masalah utama. Mulai dari akurasi, keterpaduan maupun kepemilikannya. Dalam tempo kurang lebih dua tahun terakhir, berdasarkan catatan yang kami buat, pemerintah mengeluarkan tiga regulasi yang diyakini pemerintah akan mampu mengatasi persoalan data. Pertama adalah PP No. 17/2017 Tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran. Kedua adalah Perpres No. 95/2018 Tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Dan terakhir yang sebenarnya cukup mendasar adalah Perpres No. 39/2019 Tentang Satu Data Indonesia.

Saat ini hampir seluruh kementerian/lembaga memiliki sistem dan aplikasi pendataan sendiri yang bersifat sektoral. Padahal sejak 2016 Presiden Joko Widodo menegaskan agar seluruh kementerian tidak lagi berorientasi pada proyek pencarian data.

Bisa jadi tumpang tindih pendataan itulah yang akan diselesaikan melalui Perpres Satu Data. Namun hingga konsep di dalam regulasi itu terwujud dan berjalan secara final, kebutuhan data untuk pelaksanaan pembangunan tidak berhenti. Pada saat inilah sebenarnya beberapa daerah telah mampu mengisi kekosongan dan ketidakpastian dalam soal data, melalui model yang mereka kembangkan sendiri. Salah satunya Kabupaten Gunungkidul.

Model yang dikembangkan di Kabupaten Gunungkidul secara syarat dan teknis data, tidaklah bertentangan dengan semua prinsip yang dimuat dalam ketiga regulasi tadi, termasuk regulasi teknis lain mengenai pendataan. Bahkan lebih dari itu, model satu data yang dikembangkan sekaligus memenuhi prinsip dalam UU Desa sebab yang dianut adalah integrasi data dari desa.

Desa yang selama ini hanya “bertugas” mengisi beragam permintaan pendataan dari pemerintahan di atasnya, melalui sistem informasi desa dan kabupaten di Gunungkidul mampu menggapai kedaulatan atas datanya sendiri. Ini penting sebab dengan terbukanya kesempatan desa untuk memiliki, menguji sekaligus mengolah data maka kualitas data menjadi lebih baik dan perencanaan pembangunan mereka pada akhirnya juga membaik. Misalnya pemerintah desa dan kabupaten mampu memastikan akurasi bantuan sosial yang bersumber dari APBD dan APBDes sejak 2017, ketika proses satu data ini mulai berjalan.
Selain pemanfaatan data untuk perencanaan yang lebih baik, dengan model ini desa juga mampu bersikap kritis dan tidak sekedar pasif. Beberapa desa di Kecamatan Patuk, Gunungkidul misalnya menolak Bantuan Pangan Non Tunai pada Semester I/2018 karena data penerima yang mereka terima tidak sesuai dengan data riil yang mereka miliki.

Ada juga desa di Kecamatan Ngawen yang sempat menolak pemutakhiran data BDT sebelum ada jaminan bahwa pemerintah pusat juga menggunakan data yang sama dengan desa saat menentukan penerima bantuan sosial berbasis APBN. Desa dan kabupaten pada akhirnya memiliki kesadaran dan kesepakatan bahwa pengentasan kemiskinan dan pembangunan yang lebih baik tidak akan tercapai tanpa keterbukaan data kemiskinan. Keterbukaan artinya desa dan kabupaten menentukan bersama seluruh indikator, cara penilaian berikut penerapan elemen kultur sosial pada data. Sesuatu yang secara nasional belum ada sebab penentuan peringkat kemiskinan maupun penerima bantuan sosial hingga kini hanya diketahui institusi pengelolanya.

Jadi pertanyaannya, apakah pada periode pemerintahan mendatang istilah satu data akan ditangani dengan serius dan tulus untuk kepentingan warga, atau berhenti pada regulasi yang menyenangkan hati dan memudahkan kerja pusat semata.

Narahubung:

Wahyu Ardy Nugroho, Kabid Perencanaan BAPPEDA Kab Gunungkidul:
[email protected]
[email protected]

Imung Yuniardi (Direktur Combine Resource Institution):
[email protected]

Related posts
ARTIKELBERITA

18 Desa Percontohan, Simpul Belajar SID Berdaya di Provinsi Bali

Proses pembelajaran awal 18 desa percontohan tengah sampai pada tahap evaluasi. Masing-masing perwakilan desa saling berbagi saran dan peran guna tindak lanjut…
ARTIKELBERITA

Inisiasi Kerja Sama, Combine dan Penggerak Masyarakat Buleleng Bangun Tata Kelola Data

Combine menginisiasi pelatihan Data Center bagi pengelola SID Berdaya, sekaligus mengajak Pemkab Buleleng untuk berkolaborasi dan merumuskan perjanjian bersama. Ikhtiar Combine Resource…
ARTIKELBERITA

Asa Warga Desa Wujudkan Satu Data di Buleleng Bali

Penguatan satu data daerah di Kabupaten Buleleng Bali telah sampai pada tahap identifikasi kebutuhan, finalisasi peta jalan, serta sosialisasi fitur SID. Para…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *