ULASAN

Mencari Berita di Kala Gempa

Dibaca 5 Menit

Fikrillah M. Sanusi, jurnalis warga dan pegiat media komunitas Speaker Kampung, Lombok Timur sedang meliput situasi pascagempa pada Sabtu, 04 Agustus 2018 (sumber: laman Facebook Speaker Kampung)

Rentetan gempa bumi yang merundung Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Agustus 2018, membuat saya banyak belajar. Salah satunya adalah betapa pentingnya informasi dalam situasi darurat.

Gempa bumi telah memorakporandakan rumah dan pemukiman, menghancurkan fasilitas pemerintah, dan rumah ibadah di Lombok. Puluhan ribu warga terpaksa tidur di tenda pengungsian dengan peralatan seadanya.

Tidak sedikit dari mereka meregang nyawa karena tertindih tembok bangunan. Bencana tak pandang bulu, korban berjatuhan mulai dari balita, anak-anak, dewasa hingga orang-orang lanjut usia. Begitulah kondisi pascagempa bermagnitudo 6,4, 29 Juli 2018, dan magnitudo 7,5 Agustus 2018.

Gempa pertama terjadi pada Minggu pagi, 29 Juli 2018, sekira pukul 06.25 WITA. Gempa bermagnitudo 6,4 berpusat tidak jauh dari tempat saya tinggal di Kecamatan Sambelia, Lombok Timur.

Pagi itu, saya dan keluarga tengah asyik duduk memandangi air sungai yang mengalir deras di saluran utama dam Sambelia.

Di ranting pepohonan burung berkicau riang menari. Namun, suasana itu tiba-tiba berubah. Kami dikejutkan dengan suara dentuman dan guncangan yang sangat besar. Spontan orang-orang berteriak, sebagian lainnya melafalkan takbir. Waktu itu saya tidak berpikir macam-macam. Setelah getaran reda saya santai saja. Tetapi sekitar 20 menit kemudian, istri saya memberi tahu bahwa ambulans puskesmas lewat membawa satu korban luka akibat gempa di Desa Sugian. Dari situ, saya langsung terjun ke Puskesmas,

Sebagai jurnalis warga, hati kecil saya terpanggil untuk mencari informasi keadaan terkini. Bermodalkan ponsel pintar yang sudah usang, saya berangkat menuju Puskesmas Sambelia dengan menggunakan sepeda motor. Di sana saya mencari tahu informasi tentang korban.

Kemudian saya langsung berkomunikasi dengan teman-teman media komunitas Speaker Kampung. Hajad Guna Roasmadi, akrab dipanggil Eros, menelepon saya dan bertanya tentang kondisi terkini di Kecamatan Sambelia. Karena saya kesulitan menulis, saya hanya melaporkan apa yang saya lihat untuk ditulis oleh Eros. Laporan itu kemudian diunggah ke fanspage Facebook Speaker Kampung, kemudian di website speakerkampung.net.

Di Puskesmas, saya mendapat informasi bahwa ada  satu warga dari Desa Sugian yang tewas akibat tertindih tembok saat sedang menonton televisi di rumahnya. Korban perempuan yang diperkirakan berumur 60 tahun itu meninggal sesaat setelah diperiksa tim medis.

Dari situ, saya melanjutkan perjalanan menuju beberapa titik seperti mulai dari Desa Sugian, Dara Kunci, Belanting, Obel-Obel dan terakhir Desa Madayin. Sepanjang perjalanan, saya menyaksikan pemandangan yang memilukan. Sebagian besar bangunan hampir rata dengan tanah.

Semua warga tak terkecuali keluar meninggalkan rumahnya mencari tempat aman. Sebagian besar dari mereka berjajar di pinggir jalan. Warga yang memiliki kendaraan membawa keluarganya menuju tanah lapang. Saya melihat ada banyak balita dan anak-anak menangis di pelukan orangtuanya. Mereka tampak pasrah atas musibah yang menimpa.

Meski dalam situasi panik, warga tetap saling menyemangati.

Satuan kepolisian dari Sekolah Polisi Negara (SPN) Belanting, Kecamatan Sambelia, bergerak cepat mendirikan tenda pengungsian pada tiga titik pengungsian yakni, di Desa Belanting, lapangan umum Desa Madayin dan posko induk SDN 01 Desa Obel-Obel. Sebagian warga juga mendirikan tenda mandiri.

Beberapa jam kemudian Badan Penanggulan Bencana Daerah (BPBD) Lombok Timur, disusul tim Taruna Siaga bencana (Tagana) di bawah koordinasi Dinas Sosial Kabupaten Lombok Timur, mengerahkan sekitar 50 orang anggotanya untuk mendirikan tenda di beberapa titik terdampak di Kecamatan Sambelia dan Sembalun.

Di posko pengungsian Desa Madayin saya memukan anak-anak, kira-kira usia sekolah dasar, patah kaki kanannya. Ada juga yang kepalanya bocor akibat tertimpa asbes rumah. Mereka mendapat pertolongan pertama dari tim medis Puskesmas, dibantu tim dokter dari SPN Belanting.

Di Puskesmas Belanting, ratusan korban menerima perawatan dari tim medis. Penanganan kesehatan tampak cukup berat karena hanya ada puluhan tenaga medis untuk melayani ratusan pasien. Belum lagi alat medis yang terbatas, sehingga pasien yang mengalami luka berat seperti patah tulang, langsung dirujuk ke RSUD Dr. Soedjono, Selong untuk menerima perawatan yang lebih intensif.

Sehari pascagempa, saya mencoba berkomunikasi dengan teman-teman di tempat saya bekerja. Saya mengajak mereka untuk menggalang bantuan bagi warga korban gempa. Alhamdulillah, mereka mengiyakan, sehingga pada hari kedua pascagempa, 31 Juli, kami melakukan asesmen ke lapangan untuk memeriksa kebutuhan warga.

Tiga hari kemudian kami menyalurkan logistik di tujuh titik yang terdampak cukup parah, yakni, Desa Dadap, Sugian, Sambelia, Dara Kunci, Belanting, Obel-Obel dan Madayin, semuanya di Kecamatan Sambelia. Beras, mie instan, air mineral, tandon air, tikar, kasur, bantal, selimut, genset untuk penerangan di posko pengungsian dan juga masjid, terpal, al-Qur'an, sarung, mukena, karpet, sabun cuci, pasta gigi, obat-obatan dan lain-lain, kami serahkan di titik-titik tersebut.

Selain Lombok Timur, Kabupaten Lombok Utara (KLU) juga merupakan daerah yang terdampak sangat parah. Tak ada satu pun dari lima kecamatan di Lombok Utara yang luput dari gempa yang terjadi pada 5 Agustus, seminggu setelah gempa yang berpusat di Sambelia.

Senasib dengan warga di Lombok Timur, ratusan jiwa meninggal dunia dan puluhan ribu orang di KLU kehilangan tempat tinggal sehingga warga terpaksa tinggal di tenda-tenda pengungsian seadanya.

Tiga hari pascagempa 7 magnitudo, tepatnya 8 Agustus, saya bersama sebuah lembaga nirlaba di Lombok Timur bergerak ke KLU untuk mendistribusikan sembako langsung ke para penyintas di beberapa titik. Kala itu, banyak warga yang belum tersentuh bantuan pemerintah. Bantuan baru datang dari lembaga non-pemerintah, komunitas, kelompok maupun perorangan saja.

Desa Genggelang, Kecamatan Gangga, KLU, merupakan desa yang kerusakannya terbilang parah. Saat saya tiba di sana, desa itu belum mendapat bantuan. Pada 10 Agustus, saya mengajak pemuda Dusun Dasan Tinggi, Desa Sambelia, Lombok Timur, untuk menyalurkan bantuan ke sana. Bantuan dikumpulkan oleh warga Dasan Tinggi dan sebagian dari donatur asal Qatar.

Pada 19 Agustus, lagi-lagi gempa skala dengan magnitudo 5,4 dan 6,5, sekira pukul dua belas siang. Di hari yang sama, sekira pukul 23.00 WITA gempa berkekuatan 7 magnitudo kembali mengguncang Lombok Timur.

Malam kejadian itu, warga yang bermukim di wilayah pesisir pantai ramai-ramai berlarian mencari dataran tinggi. Tujuan mereka kantor Kecamatan Sambelia. Warga terdorong informasi akan ancaman tsunami. Tidak berselang lama status ancaman tsunami dicabut.

Meskipun demikian, warga yang sudah telanjur meninggalkan rumahnya enggan untuk kembali. Mereka memilih tetap bertahan dan menginap di kantor kecamatan dan beberapa lokasi lapang lainnya.

Keesokan harinya, saya dan rekan-rekan media komunitas Speaker Kampung turun ke lapangan, melihat kerusakan rumah warga sambil memperbarui informasi terkini dari berbagai sumber.

Selama situasi tanggap darurat, media komunitas Speaker Kampung meliput-laporkan empat kecamatan, di antaranya, Kecamatan Sambelia, Pringgabaya, Suela dan Wanasaba. Berita-berita dari Speaker Kampung bisa dikatakan perintis informasi mengenai kondisi pascagempa di empat kecamatan tersebut, baru menyusul setelah itu media-media lain.

Pengalaman saya meliput bukan tanpa kesulitan. Selain karena saya sendiri adalah korban dalam peristiwa alam ini, saya sering menemui hambatan saat mencari berita. Pernah di perjalanan saya kehabisan bensin, lapar dan haus karena tidak ada warung makan yang buka atau kehabisan uang. Namun, di saat-saat seperti itu, ada saja orang yang datang membantu. Ada yang memberikan bensinnya cuma-cuma.

Yang sangat menjengkelkan adalah saat sedang melakukan liputan, android usang yang saya pakai untuk mengambil gambar kehabisan baterai. Ada power bank namun tidak bertahan lama. Akhirnya dengan mengabaikan sedikit rasa malu, dan tanpa menghilangkan rasa segan, saya meminjam ponsel orang lain untuk memotret. Pikir saya, momen itu penting untuk saya kisahkan nanti.

Lelah dan lapar saat meliput tak bisa dielakkan. Namun lagi-lagi, Allah maha pemurah, dalam situasi kelaparan, ada orang yang tidak saya kenal mau memberi saya makan tanpa meminta pamrih apapun. Di lain kesempatan, seorang perempuan yang tidak saya kenal memberi dua nasi bungkus saat saya sedang kelaparan di tengah liputan.

“Cukup sudah satu bungkus saja, dek. Kalau dua bungkus nanti gak habis saya makan,” kata saya padanya. Perempuan itu tahu saya sendiri.

Setelah menghabiskan makan, saya melanjutkan mencari berita hingga sore dan baru malam sampai rumah.[]

Related posts
BERITA

Merumuskan Strategi Organisasi untuk Merespons Perubahan Sosial

Combine Resource Institution (CRI) kembali melakukan penyusunan perencanaan strategis (renstra) periode 2022-2025. Renstra ini bakal jadi pijakan untuk program-program kerja organisasi selama…
BERITA

Penerima Anugerah AJW 2022: Bersama Bersuara tentang Hak Digital

Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 2022 telah menemukan pemenangnya. Selain memberi penghargaan bagi para jurnalis warga, AJW tahun ini konsisten mengapresiasi kerja-kerja media…
LAPORAN TAHUNAN

Laporan Tahunan 2021

[ID] Sejumlah momentum penting bagi Combine Resource Institution (CRI) terjadi di 2021. Ketika tingkat pandemi Covid-19 masih cukup kritis, kami berjuang agar…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *