BERITA

Hak Kekayaan Intelektual Jamin Perlindungan SID Berdaya

Dibaca 3 Menit

Pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan wujud dari perlindungan suatu lembaga terhadap kekayaan intelektualnya. Aspek perlindungan melalui HKI berlaku baik bagi pengembang, pemegang hak cipta, maupun pengguna suatu aset intelektual.

Budhi Agus Riswandi, Direktur Pusat HKI Universitas Islam Indonesia menjelaskan, selama ini HKI memang lebih populer di dunia bisnis dan menjadi salah satu acuan untuk mempermudah komersialisasi. Meski demikan, tidak semua produk diciptakan untuk dikomersialiasikan. Aset-aset intelektual yang dapat diakses secara bebas dan tanpa biaya pun juga memerlukan HKI. “Jadi, dalam konteks ini, fungsi produk tersebut adalah utilisasi, bukan komersialisasi,” jelas Budhi dalam workshop bertajuk “Inovasi dan Pengelolaan Kekayaan Intelektual Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Sistem Informasi Desa (SID) Berdaya” yang diselenggarakan Combine Resource Institution (CRI) pada Rabu (16/05) di UC UGM.
 
Selain itu, HKI dalam aset intelektual nonkomersil juga dapat menjadi alat untuk membangun reputasi. Reputasi yang dimaksud adalah adanya aspek-aspek penting yang menambah nilai dan kepercayaan pada suatu produk tertentu. Aspek-aspek tersebut meliputi legalitas dan tata kelola yang baik. “Jadi, selain melindungi kekayaan intelektual para penemu atau inovator, HKI juga memberikan nilai tambah pada suatu produk,” tambahnya.

Budhi menjelaskan bahwa aspek legalitas sebuah produk penting diupayakan untuk mengetahui sejauh mana produk tersebut layak digunakan. Legal atau tidaknya suatu produk dapat dilihat dari   adanya HKI pada produk tersebut. Selain itu, adanya HKI juga membuktikan bahwa produk tersebut telah memiliki tata kelola yang baik.

Salah satu aset intelektual yang bukan berupa produk komersil adalah sistem informasi desa (SID) yang dikembangkan oleh CRI. Sebagai salah satu bentuk perwujudan pengelolaan kekayaan intelektual dalam bidang TIK, CRI telah mengkaji SID dari berbagai aspek hukum, salah satunya pengelolaan hak kekayaan intelektual.

Elanto Wijoyono, Manajer Pengelolaan Sumber Daya Komunitas CRI mengatakan, ide tentang SID sudah tercetus sejak 2008. “Meski begitu, implementasi produk nyata baru ada di tahun 2009,” paparnya. SID yang dikembangkan oleh CRI pertama kali diluncurkan di Klaten, Jawa Tengah dan Bantul, DI Yogyakarta.

Pada 2018, satu dekade setelah ide SID direalisasikan, CRI meninjau kembali dan mengevaluasi lisensi SID yang telah diberlakukan. Selama ini, SID menggunakan lisensi GNU General Public License version 3 (https://www.gnu.org/licenses/gpl.html). Lisensi ini cukup komprehensif dan fleksibel, tetapi memiliki celah berupa penggunaan aplikasi SID yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip SID yang telah dirumuskan oleh CRI. Oleh karena itu, CRI memutuskan untuk merumuskan lisensi khusus yang kini telah tercatat hak cipta dan mereknya di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, sebagai SID Berdaya. Prinsip utama SID Berdaya masih sama, yaitu menjadi perangkat lunak berbasis open source yang bebas digunakan oleh siapa saja dan tanpa biaya. Hal ini memang menjadi salah satu prinsip CRI agar warga dapat menjangkau dan ikut berkolaborasi dalam pengembangan SID lebih lanjut.

Bagi CRI, terdaftarnya kekayaan intelektual SID Berdaya secara legal menjadi momentum untuk meningkatkan mutu ciptaan, layanan serta jaminan perlindungan atas penggunaan ciptaan tersebut. Sejumlah skema layanan akan berubah sebagai konsekuensi dari urusan legal tersebut. Meski demikian, potensi kerja sama untuk pengembangan dan pemanfaatan SID bersama para pihak tetap terbuka.

Keberadaan HKI juga menjadi salah satu indikator pertanggungjawaban nyata pengembang bahwa SID Berdaya merupakan produk layak guna yang terjamin dari aspek legalitas dan tata kelolanya. Elanto menjelaskan bahwa setiap keputusan dalam menjalankan SID mulai dari pemutakhiran, pengelolaan hingga analisis data di dalamnya merupakan tindakan hukum. Dalam proses itu, keamanan data warga yang ada di dalamnya harus terjamin. Oleh karena itu, pengelolaan SID harus memiliki landasan hukum agar dapat dipertanggungjawabkan.

Pada beberapa kasus, pemanfaatan SID yang tidak memuat aspek legalitas dan tata kelola yang baik menimbulkan beberapa persoalan. Di antaranya berupa kebocoran data akibat ketidaktahuan perangkat desa mengenai privasi data. Jika tidak memiliki landasan hukum yang jelas, pelanggaran serupa dapat terjadi. Oleh karena itu, SID Berdaya dengan HKI yang dimilikinya berupaya untuk memastikan bahwa praktik penerapan SID berada pada landasan hukum yang tepat.

Imung Yuniardi, Direktur CRI, menjelaskan bahwa pada prinsipnya HKI pada SID Berdaya mengacu pada upaya perlindungan. Perlindungan tersebut tidak hanya berlaku bagi CRI selaku pengembang, tetapi juga bagi pengguna dan terutama warga yang datanya berada di dalam SID. Selain itu, HKI juga menjamin keberlanjutan pengembangan SID Berdaya agar menjadi lebih baik lagi guna memenuhi kebutuhan warga.

Related posts
ARTIKELBERITA

Intensif Pelajari Teknis, 129 Desa di Kabupaten Buleleng Siap Manfaatkan SID Berdaya

Perjalanan penerapan Sistem Informasi Desa (SID) Berdaya di Kabupaten Buleleng telah melalui tahapan pelatihan teknis. Sebanyak 129 desa yang tersebar dari berbagai…
ARTIKELBERITA

18 Desa Percontohan, Simpul Belajar SID Berdaya di Buleleng Bali

Proses pembelajaran awal 18 desa percontohan tengah sampai pada tahap evaluasi. Masing-masing perwakilan desa saling berbagi saran dan peran guna tindak lanjut…
ARTIKELBERITA

Inisiasi Kerja Sama, Combine dan Penggerak Masyarakat Buleleng Bangun Tata Kelola Data

Combine menginisiasi pelatihan Data Center bagi pengelola SID Berdaya, sekaligus mengajak Pemkab Buleleng untuk berkolaborasi dan merumuskan perjanjian bersama. Ikhtiar Combine Resource…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *