Combine Resource Institution bersama Pujiono Centre dan didukung oleh Internet Society Foundation telah menyusun modul Menjadi Guru Sekolah Dasar di Era Digital. Modul tersebut menjadi pelengkap dari inisiatif program SCILLS (Strengthening Communities, Improving Lives and Livelihoods), program peningkatan ekosistem literasi digital di sekolah yang melibatkan guru, orang tua, dan murid yang diimplementasikan di 8 kabupaten wilayah rawan bencana sepanjang pesisir selatan pulau Jawa (Tasikmalaya, Pangandaran, Cilacap, Kebumen Kulon Progo, Gunung Kidul, Pacitan, dan Trenggalek).
Modul Menjadi Guru Sekolah Dasar di Era Digital dapat menjadi panduan, bukan hanya bagi guru namun juga orang tua, untuk memiliki wawasan pentingnya literasi digital dan perlindungan anak. Melalui pendekatan yang kontekstual dan ramah pengguna, modul ini mendorong guru dan orang tua untuk lebih percaya diri dalam menggunakan teknologi. Sehingga dapat membentuk generasi pembelajar yang cerdas, kritis, dan terlindungi di ruang digital.
Ini sebagai respon strategis dan konkrit atas situasi dimana tingkat penetrasi internet ke dalam keseharian anak Indonesia sangat tinggi. Ada beberapa indikator yang mencerminkan hal ini. Pertama, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2023 menunjukkan bahwa anak berusia 7-17 tahun yang mengakses internet sebesar 74.85% di seluruh Indonesia dan yang menggunakan internet untuk pembelajaran jarak jauh pada masa pandemi sebesar 34,78%. Kedua, tingginya tren kejahatan-kejahatan digital yang mengintai anak. Pada tahun 2024, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan terdapat 41 kasus anak yang menjadi korban pornografi dan cyber crime. Angka tersebut mencakup 2% dari total pengaduan dalam klaster Perlindungan Khusus Anak dan menempati peringkat ketiga dalam jumlah pengaduan, dengan kasus yang paling sering dilaporkan adalah anak korban kejahatan seksual dan cyberbullying.
Anak, sebagai subjek yang rentan, tidak bisa dilepaskan tanpa konteks lingkungan terdekatnya yakni lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Orang tua, sebagai pengampu anak di lingkungan keluarga, berperan sangat penting dalam membentuk kebiasaan sehat anak dalam menggunakan teknologi. Orang tua tidak harus menjadi ahli digital, tetapi cukup hadir dan terlibat secara aktif.
Sementara peran guru sebagai pihak yang paling sering berinteraksi dengan anak di sekolah, kini menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak lagi menjadi satu-satunya sumber pengetahuan di kelas. Peran guru telah bergeser: dari penyampai informasi menjadi fasilitator pembelajaran, sekaligus pendamping bagi anak dalam berpikir kritis dan berperilaku bijak di ruang digital.
Pada titik inilah peran kedua pihak tersebut perlu didukung dan dikuatkan.


