OPINI

Tren Fundraising LSM di Yogyakarta: dari Bisnis Kedai Kopi hingga Penginapan

Dibaca 4 Menit

Kerja di LSM? Terus sumber pendanaannya gimana? Gajinya dari mana?” tidak jarang saya dapatkan pertanyaan semacam itu dari lawan bicara ketika mengatakan bahwa saya bekerja di sebuah LSM alias Lembaga Swadaya Masyarakat.

Kalau sedang ingin serius, saya bisa-bisa saja menjelaskan kepada mereka tentang bagaimana sistem penggalangan dana (fundraising) LSM. Saya bakal bercerita tentang relasi antara LSM dan lembaga donor atau pemberi dana hibah-yang kebanyakan dari luar negeri. Bisa juga saya ceritakan tentang LSM yang berkolaborasi dengan pemerintah, sehingga pendanaan program pemberdayaan pun ditanggung bersama. Tidak ketinggalan, akan saya jelaskan pula mengenai beberapa unit usaha yang jalankan oleh LSM, yang keuntungannya akan dipakai untuk membiayai operasional hingga program. Sebaliknya, kalau saya sedang tidak ingin berpanjang-panjang, saya jawab saja dengan kalimat yang pendek nan sederhana, “dananya dari luar negeri.”

Berangkat dari pengalaman ditanya itulah, saya kemudian tertarik untuk membahas tentang bagaimana tren fundraising berbasis kemandirian yang marak dijalankan oleh LSM di masa kini. Berdasarkan riset berjudul Jaringan LSM dan Masa Depan Keberlanjutan LSM di Indonesia (2020), disebutkan bahwa ketahanan LSM di Indonesia cenderung bergantung pada donor, yang kebanyakan berasal dari luar negeri. Penelitian lain berjudul Globalisasi dan Akuntabilitas Lembaga Swadaya Masyarakat (2021) mengungkapkan bahwa LSM kerap mengalami permasalahan finansial akibat donor menghentikan aliran dananya. Hal ini menunjukkan bahwa perwajahan LSM kita adalah lembaga nonprofit yang belum sepenuhnya mandiri, karena masih menumpukan harapan kepada pihak donor.

Meski demikian, bukan berarti tidak ada sama sekali upaya kemandirian yang diupayakan oleh masing-masing LSM di Indonesia. Combine Resource Institution (CRI) misalnya, LSM tempat saya bekerja ini, telah memulai skema kemandirian untuk menopang operasional dan pendanaan program-program pemberdayaan masyarakat melalui unit usaha. Terhitung sejak 2018, CRI telah menjalankan bisnis penginapan sebagai salah satu unit usaha milik lembaga.

Saya temukan beberapa lembaga lain yang juga telah memiliki kesadaran bahwa LSM tidak bisa lagi terus-menerus mengandalkan dana hibah dari para donor, namun juga harus “belajar” menjalankan skema kemandirian. Sepanjang September – Oktober 2022 kemarin, saya mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke beberapa LSM lain di Yogyakarta yang juga tengah mengembangkan unit bisnis demi ketahanan masing-masing. Saya bertandang ke kantor Yayasan SATUNAMA, Yayasan Kampung Halaman, dan Yayasan LKiS.

Dua dari LSM yang saya kunjungi, yaitu Kampung Halaman dan LKiS memilih membuka kedai kopi sebagai usaha menjalankan strategi pendanaan mandiri. Naik daunnya tempat ngopi di Yogyakarta rupanya memberikan ilham bagi teman-teman di dua lembaga tersebut. Rachma Safitri, Direktur Eksekutif Kampung Halaman bercerita bahwa di samping sebagai bisnis menjanjikan, kedai kopi adalah pilihan usaha yang selaras dengan program-program pemberdayaan anak muda dan remaja yang mereka rancang.

“Kami ingin menyediakan ruang aman bagi remaja dan anak muda. Menurut kami, kafe bisa menjadi bagian dari ruang aman yang kami maksud ini,” kata Rachma Safitri.

Sementara Kampung Halaman memilih menyusun strategi usaha yang bersesuaian dengan program-program lembaga, lain cerita dengan LKiS. Pemilihan bisnis kedai kopi di LKiS justru tidak disangkutpautkan dengan kerja-kerja lembaga. Ali Rohman, staf program yang juga menjadi perancang unit usaha kedai kopi di LKiS menyampaikan bahwa ide bisnis tersebut muncul ketika dia melihat para mahasiswa yang banyak berkeliaran di sekitar kantornya.

“Bikin kedai karena pasarnya mahasiswa UIN Jogja,” katanya dengan sumringah.

LSM terakhir yang saya kunjungi adalah Yayasan SATUNAMA. Sama seperti CRI, yayasan yang didirikan pada tahun 1998 tersebut juga tengah menjalankan bisnis penginapan sebagai unit usaha. Fakta bahwa Yayasan SATUNAMA menjalankan bisnis penginapan memperkuat asumsi bahwa Yogyakarta dan bisnis penginapan memiliki hubungan timbal balik. Dengan demikian, tren bisnis penginapan layak dijadikan alternatif unit usaha di kalangan LSM di Yogyakarta.

Di samping kedai kopi dan penginapan yang kerap dijadikan opsi fundraising berbasis kemandirian oleh LSM di Yogyakarta, tampaknya ada satu lagi pilihan lain yang juga berpotensi untuk dijalankan, yaitu penggalangan dana melalui jasa penyedia layanan pelatihan. Sebagaimana rahasia umum bahwa kebanyakan LSM memiliki staf-staf yang punya kapasitas sebagai fasilitator pelatihan. Dengan demikian, maka pilihan untuk menggalang dana dengan jalan ini pun dianggap menjanjikan. Terbukti, Yayasan SATUNAMA dan Kampung Halaman telah menempuh usaha tersebut.

Yayasan SATUNAMA bahkan memiliki unit khusus untuk menjalankan bisnis pelatihan (training center). Materi pelatihan yang mereka berikan sangat beragam, disesuaikan dengan kapasitas lembaga. Para fasilitator pelatihan tentu saja para staf program yang dijadwalkan untuk mengisi kelas di sela-sela kesibukan menjalankan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Skema tersebut dijalankan dengan bertumpu pada kesadaran bahu-membahu antarpegiat. Laurentia Widianti, narahubung layanan pelatihan dan konsultasi Yayasan SATUNAMA menyampaikan bahwa kolaborasi antara tim fundraising dan tim program adalah nilai mutlak dalam hal ini. Sebagai penanggung jawab unit pelatihan, dia harus memastikan bahwa setiap bulan Yayasan SATUNAMA menjalankan minimal satu kali kelas yang diampu oleh tim program.

“Saya tahu tim program LSM itu sangat sibuk kerja lapangan, sering keluar kantor. Oleh karena itu, saya harus sering-sering mengajak mereka ngobrol, supaya jadwalnya tidak bentrok,” terangnya. Menurut perempuan yang akrab dipanggil Wiwid itu, komunikasi dan koordinasi antara dirinya dan tim program akan sangat menentukan pencapaian target pelatihan.

Di Kampung Halaman, tema-tema pelatihan disesuaikan dengan apa yang sedang hits di kalangan para remaja dan anak muda. Terkadang mereka mendatangkan fasilitator eksternal, disamping memaksimalkan peran para staf sebagai pengisi pelatihan. Rachma Safitri menjelaskan bahwa dia dan timnya bahkan sampai melakukan sesi pemetaan skill atau keahlian “terselubung” para staf yang selama ini masih belum diketahui satu sama lain.

“Jadi kami mulai memetakan, staf ini punya keahlian apa yang kira-kira bisa ditularkan, dan dijadikan materi dalam pelatihan,” jelasnya.

Berbagai upaya fundraising dengan skema kemandirian ini memang kesannya sangat memberatkan para pegiat LSM. Berat memang bagi para pekerja sosial yang telah terbiasa menerima dana hibah namun kemudian dipaksa untuk mencari uang sendiri. Semakin berat lagi, karena skema ini mengharuskan para pegiat LSM melihat dan berpikir dari dua sudut pandang. Di satu sisi, LSM harus merancang program-program pemberdayaan, keberlanjutan, atau keadilan sosial bagi masyarakat. Di sisi lain, mereka juga harus mulai memikirkan soal bagaimana cara menghasilkan uang yang akan dipakai untuk menjalankan program-program sosial yang telah dirancang itu.

Kesulitan itu diakui oleh Merry T. Prestiningsih, Manajer Unit Pengembangan Bisnis CRI. Dia beranggapan bahwa kebanyakan para pegiat LSM tidak punya sense of business, sehingga sulit sekali jika harus dipaksa mencari uang dengan pola pikir yang komersial. Namun kesulitan itu harus mulai ditepis, demi ketahanan, perkembangan, dan keberlanjutan lembaga. Masing-masing pegiat LSM yang telah saya temui itu sepakat bahwa mereka tidak bisa terus-menerus bergantung pada dana hibah. Skema kemandirian tetap harus mulai coba dijalankan, meski sesulit apa pun jalannya atau sekecil apa pun progresnya.

Merry tidak memungkiri bahwa keinginan LSM mandiri 100 persen atau bisa hidup tanpa dana hibah sama sekali itu masih terlalu jauh. Pendanaan dari donor masih sangat diperlukan meski inisiatif kemandirian sudah dijalankan.

“Donor tetap kita perlukan, tapi persentasenya yang mulai harus kita kurangi pelan-pelan. Jadi, antara dana hibah dan uang hasil kemandirian imbang,” jelas Merry.

Keberadaan dan keberlanjutan LSM amat bermanfaat bagi kepentingan banyak pihak. LSM dapat menjadi penghubung antara pemerintah dengan masyarakat, sehingga punya peran penting dalam proses pembangunan maupun perwujudan demokrasi. Jadi, ayo kita dukung selalu niat keberlanjutan LSM melalui skema kemandirian.


Daftar Pustaka

Lassa & Li. 2020. Jaringan LSM dan Masa Depan LSM di Indonesia. Cardno. Laporan penelitian (pdf) https://www.ksi-indonesia.org/assets/uploads/original/2020/02/ksi-1580491935.pdf


Gambar oleh macrovector on Freepik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *