BERITA

Jagongan Melek Digital 2021: Perempuan Bercerita, Berbagi, Berdaya

Dibaca 5 Menit

Tahun 2021 menjadi tahun perdana gelaran Jagongan Melek Digital (JMD) yang kami gagas. Berharap dapat membantu menyebarluaskan gagasan tentang pentingnya keamanan digital.

Kita semua tahu, pandemi mengubah cara orang berkomunikasi, dan hampir semua bergantung pada perangkat digital. Meningkatnya aktivitas di dunia digital selama masa pandemi kian membuat ancaman di dunia maya juga makin besar. Perempuan menjadi salah satu yang paling rentan mengalami kejahatan siber. Mulai dari KBGO, pinjaman online, hingga hoaks. Berangkat dari situ kami terdorong untuk mengadakan kegiatan yang (semoga) dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya keamanan digital, terutama bagi kaum perempuan dalam situasi pandemi melalui. JMD adalah salurannya.

Kegiatan ini tersusun atas dua acara inti, yaitu kompetisi video kreatif dan rangkaian diskusi publik daring. Tahun ini, JMD mengusung tema “Perempuan Bercerita, Berbagi, Berdaya”. Perempuan menjadi jantung dari tema gelaran ini, di mana mereka diberikan ruang untuk membagi pengalaman dan memberdayakan diri di jagad keamanan digital. Para perempuan yang pernah mendapatkan ancaman dalam dunia digital seperti terjerat kasus pinjol, pelecehan berbasis gender, hingga menjadi korban hoaks diajak untuk berbagi pengalamannya dan menjadi insipirasi bagi perempuan-perempuan lainnya agar lebih memahami tentang pentingnya menjaga keamanan dalam dunia daring.

Pinjol dan persoalan keamanan data pribadi

JMD 2021 menyajikan rangkaian diskusi publik yang digelar empat kali beruntun selama September hingga Oktober 2021. Diskusi pertama berjudul “Perempuan, Pinjol, dan Keamanan Data Pribadi”, yang berlangsung pada 10 September 2021. Mengundang para perempuan yang pernah menjadi korban pinjaman online (pinjol), para peserta diskusi diajak untuk mengetahui lebih jauh tentang bagaimana dampak ekonomi maupun psikis yang harus ditanggung oleh korban yang terjerat. Para korban pinjol mengalami berbagai intimidasi, pelecehan, pencemaran nama baik, pelanggaran data pribadi, hingga kerugian materi.

“Di sini, data-data pribadi saya disalahgunakan, nama baik saya dicemarkan, dan saya mengalami kerugian materi,” jelas Deliana, salah satu narasumber yang pernah menjadi korban pinjol.

Diskusi juga dihadiri oleh Citra Referandum, pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang telah banyak memberi pendampingan hukum kepada korban pinjol, serta Teguh Aprianto  dari Ethical Hacker Indonesia yang kerap berbagi informasi tentang keamanan digital kepada khalayak. Baik Citra maupun Teguh banyak memberikan gambaran tentang bagaimana langkah preventif maupun solusi bagi mereka yang terjerat pinjol. Langkah preventif yang ditawarkan adalah dengan mengupayakan pencegahan mandiri kebocoran data dan privasi di dunia daring.

“Setiap kita menyerahkan foto KTP atau selfie, dikasih saja watermark. Jadi ketika terjadi kebocoran data, kita tahu, sumber bocornya ini dari mana,” kata Teguh, menjelaskan salah satu langkah pencegahan mandiri untuk mengamankan data pribadi.

Sementara untuk solusi bagi mereka yang sudah telanjur terjerat pinjol, tidak perlu takut untuk menyuarakan atau melaporkan berbagai pelanggaran hak data pribadi kepada lembaga bantuan hukum seperti LBH. Citra menegaskan bahwa LBH Jakarta akan senantiasa terbuka bagi para korban di seluruh Indonesia.

“Teman-teman bisa cek di (website) YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) yang terdekat dengan domisilii teman-teman, dan mengadu secara gratis,” jelasnya.

Melek digital, lawan KBGO

Diskusi sesi kedua digelar pada 17 September 2021 dengan mengangkat tema “KBGO Meningkat Selama Pandemi: Bagaimana Mengatasinya?” Sama halnya pada sesi pertama, diskusi yang kedua ini juga menghandirkan para perempuan yang pernah mengalami kekerasan berbasis gender online atau KBGO. Lewat diskusi ini publik diajak mempelajari berbagai bentuk ancaman yang sekaligus hambatan dalam mendapatkan perlindungan yang dialami oleh para penyintas KBGO. Dalam kasus KBGO, korban kerap mendapatkan penghakiman atau victim blaming saat berusaha mencari bantuan hukum di kantor polisi.

Sesi diskusi kedua ini didukung dengan hadirnya para penanggap yang telah berpengalaman dalam memberikan pendampingan kepada penyintas KBGO. Mereka adalah Linda Tagie dari Komunitas Lowewini Kupang, NTT, dan Uli Pangaribuan dari LBH APIK Jakarta. Uli menjelaskan bahwa menyimpan bukti KBGO itu penting agar memudahkan korban dalam memperoleh bantuan hukum. Adapun Linda berpesan bahwa penting bagi para perempuan untuk tidak sembarangan menyebarkan data pribadinya seperti foto wajah, nama lengkap, alamat rumah, hingga nomor telepon demi membentengi diri dari potensi KBGO. Sebab, data pribadi yang tersebar ini dapat memicu terjadinya KBGO dan trauma.

“Sebisa mungkin jangan pernah bagikan data pribadi, apalagi foto dan video teman-teman kepada orang-orang yang meminta, sekali pun itu adalah orang terdekat yang mungkin dia adalah pacar atau bahkan suami,” jelasnya.

Mengapa orang mudah termakan hoaks?

Berlanjut pada sesi diskusi ketiga berjudul “Hoaks dan Keamanan Dunia Maya” yang diselenggarakan pada 24 September 2021. Pada sesi ini, Winda Azri, pegiat media komunitas Speaker Kampung (Lombok Timur, NTB) berbagi cerita tentang hoaks yang beredar di lingkungannya, termasuk tentang COVID-19. Diskusi juga dihadiri oleh dr. Gina Anindyajati, psikiater dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta yang menjelaskan tentang motif di balik penyebaran hoaks dari sudut pandang psikologis. Gina menjelaskan bahwa motif penyebaran hoaks adalah kombinasi atas faktor alamiah manusia yang cenderung malas berpikir dan kurangnya pemahaman literasi digital.

“Makanya kita perlu melatih diri kita untuk sedikit saja rajin berpikir. Tanya sendiri pada diri sendiri apakah kita perlu menyebarkan berita itu untuk orang lain atau tidak,” katanya.

Selain Gina, ada pula Heru Tjatur, pakar teknologi informasi dan komunikasi dari ICT Watch. Tjatur menegaskan bahwa penyebaran hoaks yang masif tidak bisa dilepaskan dari fakta pandemi yang mengharuskan banyak orang untuk semakin dekat dengan gadget. Para pemegang gadget dengan wawasan digital yang minim sangat berpotensi sebagai penyebar hoaks. Oleh sebab itu, perlu diberikan literasi digital bagi para pengguna gadget agar mereka lebih bijak dalam bertindak di dunia daring.

“Sebenarnya ada tools untuk melakukan recheck informasi. Tapi kita tidak terbiasa melakukan itu, sehingga dalam beberapa kegiatan literasi digital, kita mendorong orang untuk paling tidak mempunyai basic pemahaman tentang bagaimana menggunakan gadget yang ada di tangan mereka,” imbuh Tjatur.

Galakkan literasi digital melalui video kreatif

Sesi keempat dan terakhir diskusi berlangsung pada 7 Oktober 2021 dengan topik bahasan “Video sebagai Medium Literasi Kemanan Digital”. Diskusi ini menjadi ajang pertemuan dan pertukaran gagasan bagi para peserta kompetisi dan juri. Selama sebulan penuh masa pendaftaran kompetisi, tercatat sebanyak 25 partisipan, baik individu maupun kelompok telah mengumpulkan karya.

Dalam perlombaan ini, CRI menggandeng Pitra Hutomo dari Task Force KBGO, Rachma Safitri dari Yayasan Kampung Halaman, serta Iin Valentine dari media warga BaleBengong (Bali) sebagai juri. Proses penjurian yang ketat menghasilkan keputusan tiga pemenang. Juara pertama diraih oleh Halusinema.id dengan video kreatif mereka yang berjudul “Wiweka”. Karya mereka mengangkat tema tentang pentingnya menjaga keamanan data pribadi yang disampaikan dengan smooth dan dibumbui unsur jenaka, video ini berhasil mencuri hati para juri.

“Kalian menggunakan pengalaman-pengalaman dekat yang kadang diabaikan. Itu bagus banget. Kami juga mengapesi pilihan komedi yang kalian sebut. Pendekatan komedi memang cocok untuk menyampaikan hal-hal yang sebenarnya rumit dan penting,” jelas Rachma Safitri mewakili para juri saat menjelaskan mengapa video karya Halusinema.id layak menjadi juara.

Juara kedua diraih oleh SMI Official melalui karya mereka yang berjudul “Story of Melisa”. Video ini mengajak agar kita mendukung dan bersimpati kepada korban KBGO. Sementara juara ketiga berhasil diraih oleh peserta individu Isnawati Kurniastuti lewat karya animasinya yang berjudul “KBGO?”. Video tersebut menjelaskan dengan rinci perihal apa itu KBGO hingga bagaimana mitigasinya.

Selain itu, kontes ini juga memberikan kesempatan bagi publik untuk menentukan karya favorit mereka. Dari puluhan video yang masuk, juri memilih enam terbaik yang menjadi nominasi. Keenam karya tersebut adalah tiga karya yang menjadi juara menurut keputusan juri, ditambah tiga karya lainnya, yaitu: “Salaq Selahkarya Speaker Kampung; “Bijak Gunakan KTP” karya NAFLA; dan Relationsick karya RVP. Dari 1802 pemilih, karya NAFLA memperoleh 30,3 persen atau 546 pemilih dan berhasil menjadi juara favorit.

JMD adalah upaya untuk memperluas keterlibatan masyarakat dalam memahami isu literasi digital. Dengan gelaran ini, diharapkan agar semakin banyak pihak yang terjamah oleh wawasan literasi keamanan digital, terutama para perempuan akar rumput sebagai pihak yang rentan mengalami kekerasan di dunia maya. Sampai jumpa di gelaran JMD berikutnya![]

Related posts
ULASAN

Catatan Perjalanan APrIGF 2023 dan Langkah Panjang Menuju Keadilan Data

Pada gelaran Asia Pacific Regional Internet Governance Forum (APrIGF) 2023 di Brisane, Australia, Combine fokus menyuarakan isu atas hak privasi, kebebasan sipil,…
ARTIKELBERITA

Lokakarya Keamanan Website Guna Memitigasi Serangan Digital terhadap Organisasi Masyarakat Sipil

Literasi keamanan digital kian dibutuhkan di tengah pelbagai represi virtual yang mengadang. Combine Resource Institution (CRI) kemudian menyelenggarakan lokakarya keamanan website bagi…
BERITA

Pemenuhan Hak-hak Digital di Indonesia Masih Buruk

Sejumlah lembaga masyarakat sipil menilai bahwa hak-hak digital di Indonesia, khususnya di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah, belum menjadi isu penting bagi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *