BERITA

Merintis Kajian Media Komunitas di Indonesia

Dibaca 2 Menit

YOGYAKARTA–“Sulit sekali mendapat literatur tentang media-media komunitas di Indonesia. Padahal, literatur tentang media komunitas di negara-negara lain sudah sangat banyak,” kata Idha Saraswati dari CRI, (13/2).

Langkanya literatur tentang media komunitas di Indonesia tersebut menjadi pendorong Idha untuk menggarap buku tentang studi kasus lima media komunitas dari beberapa daerah di Indonesia. Selain Idha, ada tiga penulis lain dalam penggarapan buku yang diluncurkan pada tahun 2016 itu. Ketiganya yakni Ferdhi Fachruddin Putra (CRI), Ranggabumi Nuswantoro dan Mario Antonius Birowo (Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta). Pada Senin, (13/2), keempatnya hadir dalam diskusi buku bertajuk “Pergulatan Media Komunitas di Tengah Arus Media Baru” di Gedung Thomas Aquinas, UAJY.

Idha menuturkan, selama ini literatur tentang media komunitas di Indonesia relatif sulit ditemukan. Kajian-kajian terkait media komunitas di Indonesia pun masih sangat jarang. Padahal, peran media komunitas dalam menciptakan demokrasi di tingkat lokal sangat signifikan. “Ini termasuk riset yang sangat awal yang bercerita tentang media komunitas,” jelasnya. Lebih lanjut, literatur yang membicarakan media komunitas dalam konteks media baru pun belum banyak.

Ada lima media komunitas yang menjadi subjek kajian dalam penelitian ini. Kelimanya yakni Rakom Bestfm (Cirebon-Jabar), Rakom Wijaya FM (Sleman-DIY), Rakom Suandri (Padang Pariaman-Sumbar), Rakom Primadona FM (Lombok Utara-NTB), dan Buletin Speaker Kampung (Lombok Timur-NTB). Berbekal studi kasus terhadap lima media komunitas tersebut, penelitian ini berupaya mengungkap pengaruh lahirnya media baru terhadap perkembangan media komunitas. “Kita ingin mengetahui bagaimana pengaruhnya dan bagaimana mereka menyesuaikan diri terhadap kehadiran media baru,” jelas Idha.

Dampak kehadiran media baru membuat ruang-ruang bagi media komunitas semakin terbuka. Proses yang dialami oleh media komunitas dalam beradaptasi dengan media baru juga sangat jauh berbeda dengan media arus utama. Pasalnya, media komunitas tidak dijalankan dengan logika industri, melainkan dikelola secara mandiri oleh para pegiatnya. Hal tersebut membuat media komunitas berproses dengan banyak keterbatasan. “Selain itu, regulasi yang tak ramah pada media komunitas juga menjadi hambatan,” lanjut Idha.

Peran Media Komunitas

Sementara itu, Ranggabumi Nuswantoro mengungkapkan bagaimana media komunitas menjadi solusi bagi kondisi media yang terpusat baik secara isu maupun kepemilikan. Konten-konten yang berkaitan dengan keseharian masyarakat di daerahnya masing-masing pun lebih sering terabaikan. Kondisi ini membuat hadirnya media komunitas menjadi menjadi sangat penting. Dosen Ilmu Komunikasi UAJY ini mencontohkan peranan Speaker Kampoeng. Media komunitas di Lombok Timur, NTB, ini sangat aktif menyiarkan informasi terkait desa mereka. Ketika terjadi bencana banjir, misalnya, media ini yang pertama kali menyebarkan informasi ke seluruh warga hingga menyita perhatian publik dan pemerintah. Berawal dari pengunggahan foto dan keterangan di laman Facebook, media ini kemudian memperlebar aktivitasnya dengan mengembangkan website, radio, bahkan televisi komunitas.

Lebih lanjut Ranggabumi mengungkapkan bahwa kajian seputar media komunitas sangat penting untuk menarasikan proses demokrasi di tataran lokal. Pasalnya, selama ini kajian yang muncul terkait proses demokrasi kerap menyisihkan narasi di tataran lokal. “Selama ini studi-studi mengenai demokrasi banyak dilakukan di kota atau menyajikan narasi-narasi besar yang diangkat media arus utama,” paparnya.

Adaptasi terhadap Media Baru

Sementara itu, Ferdhi Fachrudin lebih menyoroti kemampuan adaptasi media komunitas terhadap media baru. Menurutnya, media komunitas bahkan menjadi entitas yang lebih hidup dan dinamis dibandingkan dengan media arusutama. Sebabnya, media komunitas sangat dekat dengan komunitasnya. Radio komunitas Bestfm di Cirebon, misalnya. Media komunitas yang berangkat dari basis komunitas pesantren ini gencar mengkampanyekan toleransi dan keberagaman. Lewat siaran mereka, media komunitas yang dikelola kaum santri ini gencar melawan isu Islam radikal di kampung mereka.

Di tengah berbagai keterbatasan, para pegiat media komunitas sangat gigih melayani komunitasnya. Berbekal kreativitas, berbagai halangan pun pada akhirnya dapat dihadapi. “Satu hal yang cukup penting adalah kemampuan adaptasi media komunitas terhadap media baru.” Hal tersebut, lanjut Ferdhi, pada akhirnya menjadi kekuatan tersendiri dari media komunitas. “Media komunitas pun akhirnya menjadi entitas yang bahkan lebih hidup daripada media komersil,” pungkasnya. (IHA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *