MAJALAH KOMBINASI

Edisi 66 : Dua Sisi Pariwisata Berbasis Komunitas

Dibaca 1 Menit
MAJALAH KOMBINASI

Edisi 66 : Dua Sisi Pariwisata Berbasis Komunitas

Dibaca 1 Menit

Beberapa bulan lalu, seorang warga Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat menulis status di media sosial. Dalam status itu, ia meratapi nasib sebagian besar warga Lombok yang menjadi penonton di tengah hiruk pikuk perkembangan pariwisata di pulau yang memiliki banyak pantai indah itu.

Status itu dibagikan banyak orang, khususnya sesama warga Lombok. Di seberang barat Pulau Lombok, setidaknya selama tiga tahun terakhir, ribuan warga dan pemimpin adat menyerukan “Bali Tolak Reklamasi!”. Seruan ini muncul sebagai respons mereka terhadap rencana reklamasi di Teluk Benoa oleh investor untuk membikin pulau baru sebagai lokasi wahana wisata hiburan. Reklamasi itu ditolak karena dianggap merupakan rencana ambisius yang akan merusak lingkungan sehingga pada akhirnya malah merugikan banyak orang.

Lalu bergeser lagi ke arah barat, di Daerah Istimewa Yogyakarta, ribuan warga juga berseru-seru : Jogja Ora Didol! Jogja tidak dijual! Alasannya serupa. Warga gerah melihat kian maraknya pembangunan hotel dan mall di kota pelajar.

Itu adalah tiga fenomena yang kini muncul terkait pariwisata dan dampaknya bagi warga. Tentu saja, warga di ketiga wilayah tersebut tidak sedang menolak pengembangan pariwisata ataupun kehadiran wisatawan. Akan tetapi, mereka mempersoalkan konsep pariwisata yang sedang dikembangkan.

Kini, ketika setiap desa memiliki otonomi untuk merencanakan pembangunan, khususnya di bidang pariwisata, tiga cerita di atas bisa menjadi bahan pelajaran penting. Di sektor pariwisata, banyak desa yang tengah berlomba-lomba membuka diri bagi wisatawan. Segenap potensi dikembangkan lalu dipromosikan. Kehadiran wisatawan bagaimanapun dipandang akan membawa dampak ekonomi yang signifikan.

Pertanyaannya kemudian, untuk siapa pengembangan pariwisata itu dilakukan? Kesejahteraan warga tentu menjadi tujuan utama. Beragam inovasi bisa diterapkan demi mendapat manfaat yang sebesar-besarnya bagi warga, sembari tidak melupakan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Pada titik itulah, wisata berbasis komunitas dipandang menjadi jawaban. Ini adalah konsep pengembangan pariwisata yang berangkat dari bawah. Warga menjadi aktor utama pengembangan wisata di desanya. Melalui forum-forum warga, arah pengembangan wisata disepakati bersama. Sejumlah desa sudah mempraktikkannya, dan hasilnya kini mulai bisa dirasakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *