Mengenalkan sesuatu yang baru, meyakinkan manfaatnya hingga mendorong penggunaannya secara berlanjut bukanlah pekerjaan sekali jadi. Bahkan mie instan pun tidak bisa langsung di makan, butuh proses tertentu. Inilah yang menjadi tantangan enam desa yang mengawali pengembangan Sistem Informasi Desa (SID) bersama CRI.
Butuh motivasi dan komitmen luar biasa menjaga asa mengerjakannya, seiring dengan banyaknya waktu yang harus dihabiskan untuk diskusi demi diskusi, uji coba demi uji coba, pelatihan demi pelatihan. Tak perlu menjelaskan soal minimnya dukungan dari level pemerintahan yang lebih tinggi, sebab bussiness as usual masih menjadi dogma mereka. Maka bayangan waktu yang seakan menjadi sangat lambat pengembangan SID pun mulai muncul.
Selama sebuah sistem informasi sudah dipasang di komputer desa, data sudah dimasukkan sesuai petunjuk, laman desa sudah daring (online) maka desa itu dianggap sah disebut sebagai penerap sistem. Padahal proses seperti yang dijalani Desa Dlingo, Balerante, dan Nglegi seperti termuat dalam buku ini yang sebenarnya benar dan utuh, setidaknya dari kacamata SID yang dikembangkan CRI.
Empat desa yang dikisahkan dalam buku ini berbeda dari segi kerangka waktu proses penerapan SID. Dua desa termasuk perintis sedangkan satu desa termasuk yang paling akhir. Praktik baik yang mereka bagikan sesungguhnya adalah oasis, tempat bertemunya cita-cita, teori, semangat yang semuanya dibungkus niat baik, yaitu demi kemandirian dan kedaulatan desa. Inilah yang akan dicapai ketika pemahaman tentang SID adalah sebuah proses utuh dan saling terkait, bukan sekedar alat atau teknologi. Baik pemerintah maupun warga desa memiliki ruang dan tanggung jawab masing masing di pengelolaan data dan informasi. Manfaatnya pun dikejar dan dirasakan dengan penuh kesadaran oleh kedua belah pihak dalam visi yang sama.