MAJALAH KOMBINASI

Edisi 62 : Berdaya dengan Pengelolaan Informasi

Dibaca 1 Menit

Bahasan tentang desa yang berdikari, swakelola, mandiri atau apapunnamanya sudah sangat sering kita dengar. Itu ada di beragam artikel, jurnal, seminar, diskusi, simposium, lokakarya, program, proyek dan sebagainya selama bertahun-tahun. Namun merealisasikannya bukanlah hal mudah.

Nyatanya hingga kini topik itu masih sering dibahas dan di sisi lain ribuan desa masih dikategorikan belum mandiri. Desa, termasuk dusun, adalah komunitas dengan kesamaan geografis administratif. Masing-masing memiliki karakter unik juga potensi. Memang dalam Undang-Undang Desa, pengakuan terhadap hak asal-usul desa menjadi semangat yang melandasi penghargaan terhadap inisiatif dan keunikan karakter desa. Namun ini baru sekedar barisan teks yang masih rawan dipelesetkan menjadi keseragaman lagi, bila yang ditimbang adalah percepatan penyerapan anggaran misalnya.

Bicara tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) misalnya, akan seperti bicara tentang makhluk planet asing bila dilakukan di depan komunitas ibu-ibu penenun di Desa Kandahu Tana, Kecamatan Kodi Utara, Sumba Barat Daya. Apalagi bila mencoba menerangkan tentang promosi digital melalui laman desa atau media sosial. Namun sebaliknya, mereka yang sekedar mendorong penggunaan media digital untuk mendorong tingkat penjualan atau penghasilan, akan kehilangan kekayaan pengetahuan lintasjaman akan motif dalam tenunan para ibu tersebut.

Butuh proses, keseriusan, dan pendampingan oleh pemerintah maupun pihak yang peduli tanpa dibatasi jam kerja. Sekali konsep yang termuat dalam regulasi dipaksakan pada masyarakat desa, maka habislah kisah tentang kebijaksanaan lokal (local wisdom) yang selama ini justru dibanggakan sebagai kekayaan Indonesia.

Desa Dlingo di Bantul dan Dusun Barepan di Borobudur sudah membuktikan, warga memiliki daya lentur dan kemampuan adaptasi tinggi. Mereka berhasil merintis pencapaian menuju kata “berdaya”, dengan bersandar pada inisiatif dan kapasitas warga. Mereka mulai mengelola informasi dengan caranya masing-masing, namun tetap dengan tujuan membuka mata dunia luar pada keberadaan desa/dusunnya.

Prinsip transparansi dan partisipasi terhadap proses pembangunan desa yang diidamkan semua pihak pun, sedikit demi sedikit dapat mulai didorong melalui rintisan pengelolaan informasi tersebut. Sekali lagi, tidak bisa instan apalagi dengan menafikan kapasitas, karakter, keunikan dan kultur masing-masing desa. Tidak bisa juga bila sekedar dibahas dalam rapat-rapat, diputuskan di atas meja dan digaungkan di mimbar-mimbar politik tanpa kepekaan, pemahaman dan empati yang tulus.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *