Pada 14-18 Maret 2015 lalu berlangsung Konferensi Dunia yang Ketiga Tentang Pengurangan Risiko Bencana. Perhelatan ini digelar oleh PBB dan diadakan di Sendai, Jepang. Hasilnya adalah dokumen Kerangka Kerja untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030. Dokumen ini akan diturunkan oleh negara-negara yang menyepakatinya menjadi beragam kebijakan yang terkait, termasuk Indonesia.
Salah satu yang menarik dari dokumen ini adalah di bagian Peran Para Pemangku Kebijakan. Secara singkat disebutkan mulai dari negara, yang bertanggung jawab secara umum mendukung upaya pengurangan risiko bencana dan merealisasikannya dalam kebijakan dan regulasi di berbagai level. Elemen kedua adalah masyarakat sipil yang berpartisipasi dalam kolaborasi, dukungan pengetahuan, sinergi hingga ke pelibatan dan pemberdayaan komunitas di sekitarnya. Elemen terakhir adalah media yang “bertugas” meningkatkan kesadaran dan pemahaman warga serta mendiseminasi informasi kebencanaan secara akurat dan mudah dipahami.
Radio darurat, dalam pemahaman bukan sebagai alat melainkan siaran radio saat situasi darurat bencana, adalah bagian dari elemen media. Sama seperti media komunitas lain, juga media arus utama. Dia bahkan tidak hanya menjadi garda terdepan dalam menjalankan peran informasi yang akurat dan cepat, tapi juga memiliki peran dalam pemulihan situasi psikologis maupun sosial. Dalam tulisan-tulisan di edisi ini, peran strategis tersebut bisa jelas terlihat.
Saat ini belum ada regulasi yang mengatur radio darurat. Yang ada baru tentang radio komunitas, itu pun masih penuh pembatasan yang merugikan komunitas masyarakat. Di saat yang sama, tahun ini revisi UU Penyiaran masuk dalam program legislasi nasional atau daftar undang-undang yang akan dibahas oleh DPR. Memang belum masuk prioritas, tapi setidaknya ada harapan pengaturan tentang radio darurat bisa diakomodir.
Melihat luasnya cakupan definisi bencana seperti tertuang dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, serta status Indonesia sebagai negara rawan bencana, tentu pengaturan pengelolaan informasi kebencanaan melalui media yang paling realistis di masyarakat saat situasi darurat sangat mendesak. Realistis di sini bisa diartikan mudah diakses, familiar dan infrastrukturnya sederhana.
Media memang memiliki peluang memainkan peran penting dalam situasi bencana. Dalam konteks bencana sosial misalnya, saat masyarakat di sekitar hotel mengalami bencana kekeringan seperti dalam resensi film Belakang Hotel, maka film tersebut juga terbukti menjadi alat yang ampuh meluaskan kesadaran tentang bahayanya pembangunan yang tidak menghitung keberlanjutan lingkungan.