MAJALAH KOMBINASI

Edisi 58 : Jagongan Media Rakyat

Dibaca 1 Menit

Akhirnya perhelatan Jagongan Media Rakyat (JMR) 2014 terlewati su­dah. Selama empat hari pada 23-26 Oktober 2014, beragam ak­tivitas di Jogja National Museum sebagai lokasi kegiatan nyaris ti­dak pernah berhenti. Prinsip bertemu, saling berbagi informasi pe­ngetahuan dan kemudian berkomitmen melakukan sesuatu bersama-sama menjadi warna di seluruh kegiatan. Di balik kerumitan teknis khas kegi­at­an berskala besar, inilah roh sesungguhnya dalam setiap JMR.

Meski isu yang diperbincangkan dalam JMR 2014 begitu beragam, ma­yoritas memiliki benang penjalin yang mirip yaitu pemanfaatan teknologi informasi. Perkembangan teknologi informasi kerap diidentikkan sebagai penanda kemajuan peradaban. Proses produksi, distribusi dan konsumsi informasi tak lagi bisa dibatasi pelaku, ruang dan waktunya. Lalu, seakan secara tiba-tiba membawa perubahan drastis pada kebiasaan, tatanan, dan cara berpikir manusia. Konsep global village yang klasik dari Marshal Mc Luhan itu benar-benar menemukan konteksnya di era ini.

Arus informasi yang demikian luas pada akhirnya memang ditujukan untuk peningkatan kualitas hidup, dari soal kesejahteraan, pengetahuan hingga kesehatan. Para pelaku bisnis misalnya, berlomba menangguk un­tung berlipat dengan memperluas pasar secara daring (online). Begitu ju­ga dengan pelajar dan pengajar, bisa mendapat rujukan pengetahuan dari sumber-sumber yang dulu tanpa internet hampir mustahil dijangkau.

Tapi tunggu, dahsyatnya badai informasi terbukti juga menyisakan per­tanyaan tentang tata kelola informasi. Sebab meski sudah banyak regulasi, ternyata masih sulit menghadirkan informasi benar, transparan, partisipa­tif. Hubungan personal, penularan informasi bahkan pengambilan keputusan ternyata tak jarang didasarkan pada informasi sumir yang karena ke­kuatan media sosial lantas bisa berubah menjadi “kebenaran”.

Bagi gerakan masyarakat sipil, internet (baca: media sosial) mestinya dapat menjadi senjata ampuh mengonsolidasikan dukungan dan memper­luas kampanye isu. Kemajuan teknologi informasi di satu sisi memberi ba­nyak ruang inovasi. Namun pekerjaan rumah menjaga idealisme pengelo­laan suara rakyat tidak pernah berakhir. Itulah titik penting setelah hajat JMR usai. Saatnya bagi semua pihak yang telah memertemukan pengalam­an kolektifnya dan meramu beragam gagasan untuk kembali menapak “ja­lan pedang” pendampingan dan advokasi yang selama ini ditempuh.

Keberhasilan JMR 2014 tak hanya diukur saat penyelenggaraan, tapi ju­ga saat ruang kolaborasi antarkomunitas dan pegiat terjadi usai perhelat­an. Aktivitas yang jadi menu hajatan JMR sangat menyehatkan bagi yang percaya bahwa negara lebih butuh masyarakat yang kritis daripada yang mengangguk-angguk laksana boneka kucing lambang peruntungan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *