BERITA

Tajuk Suara Komunitas September : Subsidi untuk Siapa?

Dibaca 2 Menit

Tarik ulur kenaikan bahan bakar minyak (BBM) terjadi setiap tahun. Bahkan dalam satu tahun, tarik ulur antara pemerintah dengan masyarakat bisa terjadi dua hingga tiga kali. Bersamaan dengan itu, ekses-ekses dari tarik menarik bermunculan: antrean panjang di SPBU, demonstrasi di berbagai kota, kenaikkan harga bahan pokok, dan seterusnya. Begitu pun yang terjadi belum lama ini.

Agustus lalu, Pemerintah mewacanakan pembatasan BBM bersubsidi karena khawatir kuota yang sudah disediakan akan jebol pada akhir tahun nanti. Mendengar kabar ini, masyarakat sontak berduyun-duyun berburu BBM. Antrean luar biasa panjang pun terjadi di banyak SPBU, khususnya di Pulau Jawa yang populasi kendaraannya sangat besar. Tidak seperti menjelang kenaikkan BBM yang biasanya terjadi sehari sebelum hari-H, antrean kali ini terjadi hingga berhari-hari. Pasalnya, pemerintah tidak pernah benar-benar jelas bagaimana mekanisme pembatasan dilakukan. Sebagai informasi, pemerintah menjatah 46 juta kiloliter (setara Rp 246,49 triliun) untuk tahun 2014. Sementara, menurut catatan Pertamina, hingga Mei 2014, jumlah konsumsi BBM bersubsidi sudah mencapai 18,98 juta kiloliter, atau 41,26% dari total kuota.

Akibat krisis bahan bakar berkepanjangan, sebagian masyarakat pun mulai bergeser opini. Dari yang semula menolak, menjadi memaklumi kenaikkan BBM. Masyarakat dihadapkan pada pilihan : mahal atau langka. Itulah yang membuat masyarakat, bahkan hingga level bawah memilih opsi mahal. Berbeda ketika yang dihadapi misalnya, subsidi BBM atau subsidi kesehatan. Maka hampir setiap masyarakat di akar rumput memilih subsidi BBM, karena tidak pernah yakin subsidi kesehatan akan benar-benar direalisasikan.

Pertimbangan kenaikkan BBM selalu dilandasi dua atau lebih faktor, yakni: defisit anggaran, subsidi salah sasaran, dan seterusnya.

Pertanyaannya kemudian adalah, jika subsidi salah sasaran, mengapa tidak membuat regulasi yang ketat soal pemakai BBM bersubsidi? Jika defisit anggaran negara dipermasalahkan, mengapa tidak membuat aturan yang memaksa orang-orang kaya untuk membayar pajak lebih besar? Meskipun sebenarnya hal terakhir sudah ‘terbantahkan’ oleh pemerintah sendiri. Menteri Keuangan, Chatib Basri mengatakan bahwa walau anggaran surplus (tidak tekor), harga BBM tetap harus naik (Tempo, 7 September 2014). Artinya, persoalan kenaikkan BBM bukan sekadar perkara naik turunnya harga minyak dunia, melainkan kemauan politik pemerintah untuk menciptakan tata kelola energi yang berkeadilan.

Pertanyaan lainnya, mengapa pemerintah tidak membatasi penjualan kendaraan bermotor pribadi, yang nyata-nyata menjadi penyedot terbesar BBM subsidi? Berdasarkan data Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia, populasi kendaraan di Indonesia pada 2013 mencapai 104,211 juta unit, naik 11 persen dari tahun 2012 yang hanya 94,299 juta unit. Dan, mengacu pada KataData Research, 53 persen mobil pribadi adalah pengguna BBM bersubsidi. Terbesar setelah motor (40%), transportasi publik (4%), dan angkutan barang (3%). Setiap kali ada rencana kenaikkan BBM, saat itulah muncul kerancuan-kerancuan nalar kenaikkan BBM.

Media dan isu BBM

Media massa, khususnya media arus utama, sebagian besar mendukung pencabutan subsidi BBM. Tidak heran jika mereka lebih condong mendukung kenaikkan harga BBM, karena media arus utama merupakan representasi dari kelas tertentu, yakni kelas menengah-atas.

Selama ini, pemberitaan mengenai BBM di media massa cenderung mengangkat kasus-kasus yang terjadi di perkotaan. Jika pun ada yang mengangkat kasus di pedesaan atau pinggiran kota, porsinya tidak besar. Atau hanya sekadar meliput ‘dampak rencana kenaikkan BBM di masyarakat’, tanpa analisa ‘mengapa kenaikan BBM begitu besar efeknya bagi nelayan’, misalnya.

Dominasi media arus utama ini seharusnya bisa diimbangi oleh media komunitas sebagai representasi dari kelas lainnya yang berseberangan. Kelas yang selalu menjadi korban dari kebijakan pemerintah dan kelas berkuasa, yakni kelas bawah.

Dalam isu BBM, suara masyarakat akar rumput kerap kali dinomorduakan, meski mereka adalah korban utama dari kebijakan yang sangat urban-sentris tersebut. Kemiskinan perspektif akar rumput membuat masyarakat marjinal semakin termarjinalkan. Maka dari itu, media komunitas seharusnya mulai menciptakan arus besar wacana kelas akar rumput agar tidak menjadi ‘bulan-bulanan’ kebijakan segelintir penguasa, yang tentu saja disokong media korporat.

*Tulisan ini diambil dari http://suarakomunitas.net/baca/80509/subsidi-untuk-siapa%253F/

** Sumber foto : http://www.tribunnews.com/images/regional/view/1295111/sepeda-motor-antre-bbm-jenis-pertamax#.VA1Pr1HJVok

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *