Anda tahu Siti Roehana? Bagaimana dengan Soerastri? Kalau belum tahu, barangkali lebih familiar dengan nama Roehana Koeddoes atau Soerastri Karma? Bila Anda masih juga mengerutkan kening, bisa dibayangkan bagaimana dengan anak-anak usia SD dan SMP bila ditanya hal serupa.
Roehana Koeddoes, atau kerap ditulis Rohana Kudus, adalah perempuan yang merintis surat kabar pertama yang dipimpin dan isinya ditulis oleh perempuan, yaitu Soenting Melajoe pada sekitar 1912. Setahun sebelumnya, bertepatan saat Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini yang kelak diterjemahkan sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang, perempuan asal Minang ini sudah mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia. Sekolah ini khusus untuk perempuan yang mengajarkan keterampilan, baca tulis, dan Bahasa Belanda.
Anda mungkin akan mengenali bila Soerastri dituliskan dengan nama S.K. Trimurti. Karma Trimurti yang mengikuti nama Soerastri sesungguhnya adalah nama samaran yang kerap digunakannya saat menulis. Namun banyak juga yang lebih mengenalnya semata sebagai sosok istri Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi yang selalu disebut di buku sejarah. Padahal selain jurnalis andal dan militan di jamannya, sampai pernah terpaksa melahirkan di penjara, Soerastri adalah Menteri Perburuhan pertama. Dialah yang merintis munculnya aturan ketenagakerjaan yang berpihak pada perempuan, seperti cuti haid dan persamaan upah.
Kedua tokoh perempuan itu sekedar contoh banyaknya tokoh perempuan yang berperan besar bagi bangsa ini namun jarang tercatat utuh dalam buku-buku sejarah. Sebagian perempuan itu, termasuk Roehana dan Soerastri, sudah sejak dulu meyakini pentingnya media bagi kemajuan perempuan dan bangsa.
Mereka melihat kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam kerangka akses atas pengetahuan dan kemudian membaginya. Keterlibatan perempuan tak dimaknai secara simbolis angka dalam bentuk persentase keterwakilan, namun lebih riil dalam bentuk gerakan, perlawanan serta perjuangan, antara lain melalui tulisan di media. Lewat sudut pandang inilah, pentingnya media bagi perempuan menemukan konteksnya. Bukan sekadar banyaknya perempuan yang menjadi jurnalis atau pegiat media, tapi isu yang mereka perjuangkan dan ingin diamini oleh pembaca-pendengar-pemirsalah yang penting.
Temu Perempuan Pegiat Media Komunitas yang digelar di Desa Candirejo, Borobudur April 2014 menjadi salah satu rintisan. Sebuah awal upaya saling berbagi dan harapannya bisa berujung pada saling dukung isu yang diperjuangkan setiap komunitas di tengah dua dominasi, media arus utama dan budaya patriarki. Jangan sekali-sekali melupakan sejarah.