MAJALAH KOMBINASI

Edisi 55 : Perempuan Berdaya dengan Bermedia

Dibaca 2 Menit

Anda tahu Siti Roehana? Ba­gaimana dengan Soerastri? Kalau belum tahu, barang­ka­li lebih familiar dengan na­ma Roehana Koeddoes atau Soeras­tri Karma? Bila Anda masih ju­ga me­ngerutkan kening, bisa dibayang­kan ba­gaimana dengan anak-anak usia SD dan SMP bila ditanya hal serupa.

Roehana Koeddoes, atau kerap di­tulis Rohana Kudus, adalah perempu­an yang merintis surat kabar per­ta­ma yang dipimpin dan isinya ditulis oleh perempuan, yaitu Soenting Me­la­joe pada sekitar 1912. Setahun sebelum­nya, bertepatan saat Abendanon me­ner­bit­kan kumpulan surat-surat Kar­ti­ni yang kelak diterjemahkan seba­gai Habis Gelap Terbitlah Terang, pe­rem­pu­an asal Minang ini sudah men­di­ri­kan Sekolah Kerajinan Amai Se­tia. Sekolah ini khusus untuk pe­rem­pu­an yang mengajarkan ke­te­ram­pil­an, baca tulis, dan Ba­ha­sa Belanda.

Anda mungkin akan mengenali bi­la Soerastri dituliskan dengan na­ma S.K. Trimurti. Karma Trimurti yang mengikuti nama Soerastri sesung­guh­nya adalah nama samaran yang ke­rap digunakannya saat menulis. Na­mun banyak juga yang lebih me­nge­nal­nya semata sebagai sosok is­tri Sa­yuti Melik, pengetik naskah prokla­ma­si yang selalu disebut di bu­ku se­jarah. Padahal selain jurnalis andal dan militan di jamannya, sampai per­nah terpaksa melahirkan di pen­jara, Soerastri adalah Menteri Perburuhan pertama. Dialah yang merintis mun­cul­nya aturan ketenagakerjaan yang berpihak pada perempuan, se­per­ti cu­ti haid dan persamaan upah.

Kedua tokoh perempuan itu se­ke­dar contoh banyaknya tokoh pe­rem­puan yang berperan besar bagi bang­sa ini namun jarang tercatat utuh da­lam buku-buku sejarah. Sebagian pe­rempuan itu, termasuk Roehana dan Soerastri, sudah sejak dulu meyakini pentingnya media bagi kemajuan pe­rempuan dan bangsa.

Mereka melihat kesetaraan perem­puan dan laki-laki dalam kerangka ak­ses atas pengetahuan dan kemudian membaginya. Keterlibatan perempu­an tak dimaknai secara sim­bolis ang­ka dalam bentuk per­sen­ta­se keter­wa­kilan, namun lebih riil da­lam bentuk gerakan, perlawanan serta perjuang­an, antara lain melalui tu­lis­an di me­dia. Lewat sudut pan­dang inilah, pen­tingnya media ba­gi perempuan me­ne­mukan kon­teks­nya. Bukan sekadar banyaknya pe­rem­puan yang men­ja­di jurnalis atau pe­gi­at media, ta­pi isu yang mereka per­ju­ang­kan dan ingin diamini oleh pem­baca-pen­de­ngar-pe­mirsalah yang penting.

Temu Perempuan Pegiat Media Ko­munitas yang digelar di Desa Can­di­rejo, Borobudur Ap­ril 2014 menjadi salah satu rintisan. Sebuah awal upa­ya saling ber­bagi dan harapannya bi­sa berujung pa­da sa­ling du­kung isu yang diper­ju­ang­kan setiap komunitas di tengah dua do­mi­na­si, media arus utama dan bu­da­ya patriarki. Jangan sekali-se­ka­li me­lu­pa­kan sejarah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *