Uncategorized

Perempuan Pegiat Media Komunitas Berbagi Pengalaman

Dibaca 1 Menit

Combine Resource Institution mengadakan acara Temu Perempuan Pegiat Media Komunitas, pada 11 – 13 April 2014 di Desa Wisata Candirejo, Magelang, Jawa Tengah. Acara ini diadakan guna mendorong para pegiat media komunitas mengangkat lebih banyak isu perempuan di medianya masing-masing.

Acara tersebut diikuti 19 peserta, semuanya perempuan, yang berasal dari sepuluh provinsi di seluruh Indonesia. Jenis media yang mereka kelola bermacam-macam. Ada yang menggunakan media radio, cetak, televisi, media sosial, film dokumenter, juga seni untuk mengangkat beragam isu di komunitasnya masing-masing.

Direktur Combine Ranggoaini Jahja menuturkan, sampai saat ini isu perempuan masih belum mendapat tempat yang layak di media. Selain itu, media juga cenderung bias dalam memberitakan kasus-kasus yang melibatkan perempuan. “Melalui acara ini Combine berharap para peserta bisa saling berbagi inspirasi untuk mengangkat berbagai persoalan perempuan di media komunitasnya masing-masing,” katanya.

Fokus utama acara ini adalah membedah berbagai kebijakan yang tidak adil gender, serta upaya mengadvokasi kebijakan yang adil gender lewat media komunitas. Hal itu dilakukan lewat serangkaian diskusi dan sesi-sesi berbagi pengalaman antarpeserta. Selain itu, peserta juga diajak berlatih menulis dengan menggunakan perspektif perempuan serta melihat kembali strategi penggunaan media sosial untuk mengangkat isu-isu komunitas.

Sesi diskusi membedah kebijakan dipantik oleh Deshinta Dwi Asriani, Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada. Dalam diskusi tersebut, Deshinta mengajak peserta menganalisis kebijakan-kebijakan di bidang kesehatan reproduksi yang bertendensi mengatur tubuh perempuan. Sedangkan diskusi media dan perempuan diisi oleh Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, Dewi Candraningrum. Adapun sesi berbagi pengalaman diisi oleh para peserta dengan mempresentasikan apa yang telah dilakukan di komunitasnya selama ini.

Dian Septi Trisnani dari radio komunitas Marsinah FM Jakarta, misalnya, selama ini aktif menyuarakan hak-hak buruh perempuan melalui radio komunitas. Sedangkan Feronika Huby dari Tiki Papuan Women Voices mengangkat hak-hak perempuan Papua yang terabaikan melalui film dokumenter. Selain memanfaatkan media seperti radio, film, cetak maupun media sosial, ada juga yang menggunakan jalur seni. Shernylia Maladevi dari Bantaeng Sulawesi Selatan misalnya mengangkat tradisi peberian mahar perkawinan yang mahal bagi perempuan di daerahnya lewat monolog. Sedangkang Nurhayati Kahar dari Sumatera Barat kerap mengangkat isu-isu perempuan di daerahnya lewat teater dan lawak tradisional. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *