BERITA

Bikin Video Kampung, Tegaskan Dulu Tujuannya

Dibaca 2 Menit

Sebelum masuk pada tahap produksi video atau film, paling penting adalah menegaskan dahulu tujuan dari pembuatan video atau film tersebut. Karena nantinya, video yang telah dibuat bukan untuk ditonton sendiri di kamar mandi. Setiap pembuat video pasti mengharapkan garapannya ditonton oleh orang. Syukur-syukur mendapat tanggapan. Tentang alur cerita itu satu soal, cara menceritakannya dalam video itu soal lain lagi.

Pengalaman pembuatan video tersebut didapat Tomy W. Taslim, dosen film komunitas di Insititut Kesenian Jakarta (IKJ) ketika ia pulang ke kampung halamannya di Yogyakarta pada 2006 lalu. Ia disambut gempa dahsyat segera setibanya ia di terminal bus. Beberapa hari kemudian, santer beredar video-video di saluran televisi nasional yang mengilustrasikan banyak warga Yogyakarta terutama Bantul duduk di pinggir jalan sambil membawa kotak sumbangan. Digambarkan jika akibat gempa yang merenggut ribuan nyawa itu, sangat melantakkan perekonomian warga. Sampai-sampai warga Bantul terutama, rela meminta-minta dipinggir jalan.

“Padahal tidak semuanya begitu. Seolah-olah warga Yogyakarta berubah menjadi pengemis semua. Itu hanya sebagian kecil sekali,” kata Tomy yang menjadi narasumber workshop “Video Kampung” di Festival Jawa Kidul, Mandalamekar, Jatiwaras, Tasikmalaya, Minggu (3/6) siang.

Merasa tidak tahan dengan video-video gempa bumi Yogyakarta 2006 yang disebarkan oleh televisi tersebut, akhirnya Tomy dan teman-temannya bersepakat untuk membuat video “tandingan” bertajuk “Jogja Bangkit”.

“Akan kita bicarakan ke dunia. Bantul itu tidak ngemis,” kata Tomy. “Ini,” jelas Tomy tentang video garapannya, “untuk melawan media mainstream.”

Selain Tomy, hadir pula Ketua Cinema Lover Community sekaligus Direktur Festival Film Purbalingga Bowo Leksono sebagai narasumber dalam workshop “Video Kampung”.

Kepada puluhan perserta workshop yang kebanyakan masih awam terhadap produksi video, Bowo memberi semangat untuk segera memulai langkah membuat video.

“Sejelek apapun dokumentasinya, pasti akan dibutuhkan. Satu-dua tahun ini mungkin tidak dibutuhkan. Tapi 20 tahun lagi pasti akan dibutuhkan,” kata Bowo.

Dalam sesi tanya jawab workshop, ada seorang peserta yang melontarkan pertanyaan menarik. Ia sebenarnya dari dulu sudah ingin sekali mengadvokasi warga lewat video. Tapi karena punya kendala dalam tataran keahlian, gagasan tersebut masih sekadar niat.

“Bagaimana kita mengemas video yang bisa mengadvokasi warga?” tanya peserta tersebut kepada Bowo.

Tidak berbeda jauh dengan pembuatan video-video jenis lain, kata Bowo. Menurut Bowo, langkah pertama yang harus ditempuh adalah, dengan menghadirkan narasumber-narasumber yang bisa menjawab persoalan advokasi tersebut. Narasumber-narasumber tersebut bisa sebagai ahli hukum, pegiat sosial, atau warga setempat yang hendak diadvokasi. Lebih penting lagi, kata Bowo, kalau kasus yang akan diadvokasi sudah pernah diangkat, pembuat video wajib memunculkan kembali data-data yang paling baru.

Bowo kemudian memutarkan contoh video kampung garapan pemuda desa berjudul “Profil Desa Palumbungan Wetan” di Kecamatan Bobotsari, Purbalingga, Jawa Tengah. Yang membuat video tersebut, kata Bowo lagi, dari gagas ide sampai editing-nya, murni bikinan pemuda setempat.

“Produksinya itu nol rupiah. Ini bukti kalau membuat video itu gampang dan murah. Tidak seperti anggapan banyak orang,” kata Bowo. (KA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *