BERITA

BOKOMI: Tim Siaga Bencana Berbasis Komunitas ala Jepang

Dibaca 4 Menit

Rabu, 7 Desember 2011, COMBINE diundang dalam Simposium Internasional Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Komunitas di LPP Garden. Simposium ini diselenggarakan oleh UGM bersama Plus Art, sebuah organisasi dari Jepang, dan JICA Hyogo. Adapun tujuan dari simposium ini untuk mempresentasikan sebuah cara pendidikan kebencanaan yang telah dikembangkan Kota Kobe, Jepang. Hadir sebagai pembicara Nagata Hirokazu, dari Plus Art NPO yang mempresentasikan Pendidikan Kebencanaan untuk anak-anak dan komunitas dengan kasus Iza!Kaeru Caravan/IKC Japan). Kemudian Kuniaki Takenaka dari Kobe City Fire Bureau yang presentasi konsep BOKOMI di Kobe, dan Ikaputra, Universitas Gajah Mada yang mempresentasikan adaptasi Iza!Kaeru Caravan di Jogjakarta dengan nama “Inisiatif Kanca Cilik/IKC Indonesia). Konsep Iza Kaeru Caravan ini memang telah diterapkan di sekitar 83 sekolah di Jogjakarta, dan sekarang sudah meluas ke daerah lain seperti Klaten dan Jember. Sementara konsep BOKOMI untuk kesiapsiagaan terhadap bencana kebakaran yang berbasis komunitas telah diterapkan di Kampung Badran, Jogjakarta. Perbandingan antara penerapan di Jepang dan Indonesia sangat menarik untuk dipelajari.

Apakah BOKOMI?
BOKOMI (Boshai Community) merupakan kelompok-kelompok masyarakat tanggap bencana yang dibina oleh Biro Pemadam Kebakaran Kota Kobe sejak gempa skala 7,3 Skala Ritcher (Great Hanshin-Awaji Earthquake) melanda kota tersebut pada tahun 1995. Kuniaki Takenaka menjelaskan bahwa yang meninggal saat itu sebanyak 6,434 orang, dan yang mengalami luka-luka sebanyak 43,792 orang, dan 249,180 bangunan hancur. Begitu banyaknya korban tewas disebabkan oleh reruntuhan rumah dan kebakaran. Ada sekitar 7,386 bangunan yang terbakar. Dalam menghadapi kebakaran yang begitu dahsyat akibat gempa ini, pemadam kebakaran kota hanya mampu menyelamarkan 1,7% penduduk, sementara 98,3% ditolong oleh keluarga, tetangga, dan anggota komunitas lainnya.

Kuniaki Takenaka, dari Kobe City Fire Bureau

Berdasarkan pengalaman ini maka Kota Kobe menyadari bahwa penanganan bencana harus melibatkan masyarakat. Oleh karena itu ada prinsip dasar yang dikembangkan di Jepang dalam penanganan bencana, yaitu: a) Penguatan warga dan komunitas untuk bisa melakukan pertolongan pertama di saat bencana b) Penguatan petugas yang menangani bencana. Hal inilah yang mendasari keberadaan BOKOMI. Kota Kobe mendukung implementasi BOKOMI ini dalam bentuk subsidi pendanaan aktivitas yang termasuk di dalamnya untuk pelatihan, peralatan, pertemuan, dan lain-lain. Untuk setiap kecamatan diberikan 140,000 yen, dan ada pula kegiatan yang bisa dilakukan lewat jalur proposal dengan dana lebih dari 200,000 yen per kecamatan. Hingga sekarang Kota Kobe berhasil kembangkan 191 Bokomi. Adapun hambatan yang terjadi dalam penerapan BOKOMI di Jepang antara lain: a) Kebanyakan partisipan kaum lansia b) masih kurangnya kesadaran warga terhadap aktivitas ini c) Kurangnya orang yang mau memimpin kegiatan ini di komunitas. Untuk menangani masalah ini, akhirnya BOKOMI mulai melibatkan anak-anak sekolah yang diharapkan akan menular ke keluarga dan komunitas. Sehingga mulai dibuat buku panduan BOKOMI untuk sekolah yang disebar ke berbagai wilayah di Jepang.

Iza!Kaeru Caravan
Pengembangan program ini dilakukan saat peringatan 10 tahun Gempa Bumi Hanshin-Awaji di Kota Kobe. Awalnya Plus Art membuat survey pada 167 korban gempa untuk mengetahui pelbagai pengalaman mereka, misalnya saat menolong orang yang tertimpa reruntuhan, bagaimana masyarakat menggunakan bahan alami untuk mengangkut korban. Hasil survey ini menjadi landasan pengembangan program. Akhirnya Iza Kaeru Caravan menemukan formatnya, yaitu bagaimana pendidikan kebencanaan ditawarkan dengan cara yang menyenangkan serta melibatkan anak, orang tua dan keluarga lainnya. Intinya adalah membuat metode simulasi yang menyenangkan bagi anak-anak. Salah satu permainannya adalah anak-anak diminta membawa mainain bekas dari rumah yang nantinya akan ditukar di Bank Kaeko (Bank mainan) dan dihargai dalam bentuk poin. Bagi mereka yang berani latihan pemadam api juga memperoleh poin. Setelah mengumpulkan poin, anak bisa membeli barang yang dilelang.

Permainan lainnya antara lain Blanket Stretcher Time Trial atau bagaimana mengangkut korban dengan selimut, Face Off! Bucket Relay yaitu saling oper ember berisi air untuk memadamkan api, dan masih banyak permainan lainnya. Anak juga diajari memasak di dapur umum, membuat piring, mangkuk sendiri dari barang bekas karena di masa darurat akibat bencana sulit memperoleh wadah yang masih utuh. Ada pula materi tentang metode menahan barang-barang agar tidak mudah jatuh saat gempa. Konsep Iza!Kaeru Caravan ini telah diterapkan di pelbagai kota di Jepang, dan juga di luar negeri seperti Indonesia, Guatemala, Mongolia, dan tahun 2012 rencananya di Bhutan. Untuk menarik anak-anak maka maskot dari program ini adalah Katak, yang akan menjadi tokoh di dalam setiap permainan.

Inisiatif Kanca Cilik: Adaptasi di Indonesia
Dalam presentasinya, Ika Putera dari Arsitek UGM memaparkan bahwa Jogjakarta memiliki budaya kebersamaan yang sangat membantu pemulihan pascabencana gempa bumi pada tahun 2006. Tetapi yang menjadi persoalan adalah memori masyarakat terhadap bencana pun mudah pupus. Sekarang pembangunan rumah di daerah rawan gempa tidak lagi mengikuti kaidah bangunan tahan gempa yang sudah disosialisasikan beragam lembaga. Ketika Pak Ika Putera bertemu dengan Nagata, maka ide untuk melakukan Iza!Kaeru Caravan di Jogjakarta menjadi sangat relevan.

Dr. Ika Putera, Perintis Inisiatif Kanca Cilik (IKC Indonesia)

Universitas Gajah Mada lalu bekerjasama dengan Yayasan Griya Mandiri (YGM) dan NPO Plus Art untuk memulai program ini. Kegiatannya diawali dengan  survey mengenai cara mengatasi bencana pada korban gempa bumi Jogjakarta. Hasilnya memang sangat berbeda, misalnya jika di Jepang mengangkut korban dengan selimut, maka di Bantul justru menggunakan sarung dan bambu. Setelah survey, maka dikembangkan alat pembelajaran yang dilakukan bersama guru-guru. Dalam pengembangan metode inilah unsur lokal banyak diterapkan, Dalam prakteknya, guru menjadi pengawal bagi program Iza! Kaeru Caravan yang didalam versi Indonesianya digunakan nama “Inisiatif Kanca Cilik.” Memang untuk konteks Indonesia, diambil tokoh kancil yang cukup dikenal dalam dongeng anak-anak. Awalnya IKC Indonesia diterapkan di 30 sekolah, dan sekarang telah berkembang di 80 sekolah dan menjadi program Dinas Pendidikan. Kemudian juga telah dibentuk forum IKC dimana guru menjadi ujung tombaknya. Setelah mengembangkan IKC, maka Universitas Gajah Mada juga mengembangkan BOKOMI untuk penanggulangan bencana kebakaran di Kampung Badran. UGM mengembangkan alat pemadam kebakaran yang mobile dengan desain yang menarik dan biaya lebih murah. Sementara warga kampung Badran bersama-sama belajar penanganan kebakaran.

Pemerintah Indonesia dalam menangani bencana sebenarnya telah mengembangkan kampung siaga bencana. Rekompak dari Kementrian PU juga membentuk OPRB yaitu Organisasi Pengurangan Resiko Bencana berbasis komunitas. Hal ini sangat bagus, tetapi mungkin bisa belajar dari Jepang soal metode permainan dalam simulasi bencana di sekolah dan komunitas. *** (Ade Tanesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *