BERITA

Jurnalisme Warga Saat Erupsi Merapi 2010

Dibaca 2 Menit
BERITA

Jurnalisme Warga Saat Erupsi Merapi 2010

Dibaca 2 Menit

Saat Gunung Merapi erupsi dan meletus pada 2010 lalu, seliweran informasi yang dihadirkan pewarta arus utama banyak yang tidak akurat. Tidak sedikit pula yang membuat berita secara berlebihan. Salah satu yang paling mengganggu warga Yogyakarta adalah pemberitaan tentang peluncuran awan panas yang bisa mencapai 60 km dari puncak Gunung Merapi. Hasilnya adalah kepanikan yang diakibatkan dari perilaku tidak sehat tersebut.Untuk menanggulangi “tsunami informasi” itu, Jalin Merapi yang sudah lama memasok informasi dari seputaran Gunung Merapi kepada warga sekitar, membuka kesempatan kepada para calon relawan untuk mengimbangi informasi yang sering tidak benar dan cenderung berlebihan. Jalin Merapi, yang merupakan komunitas dari banyak orang berusaha untuk memberikan informasi yang terjadi di lapangan seakurat mungkin. Mereka juga menyuarakan apa adanya sesuai yang terjadi di lapangan yang sering tidak masuk radarnya media arus utama. Tapi para relawan dituntut untuk bisa terus memperbaharui informasi yang mereka dapat dengan hanya 140 karakter kata saja lewat Twitter atau sms handphone. Bukan teks dan narasi panjang yang biasa dihadirkan oleh media arus utama.

Jalin Merapi juga bekerjasama dengan para pelaku radio komunitas dan relawan-relawan yang tidak tergabung dengan Jalin Merapi untuk terus memperbaharui pengamatannya tentang Merapi dan segera mengabarkan ke admin Jalin Merapi. Hal tersebut disampaikan oleh Budhi Hermanto selaku koordinator Jalin Merapi dalam seminar nasional bertajuk “Refleksi Jurnalisme Warga dalam Bencana Merapi 2010: Sinergi Media, Kampus, dan Relawan” di Ruang Hanoman, Jogja Expo Center (JEC), Rabu, (28/9) pagi. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI) bekerjasama dengan Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia dan Kementerian Komunikasi dan Informatika tersebut untuk menyongsong peringatan satu tahun Bencana Merapi 2010.

Selain diskusi, seminar nasional tersebut sekaligus juga sebagai ajang peluncuran buku berjudul Jurnalisme Warga, Radio Publik dan Pemberitaan Bencana. Buku yang terbit atas kerja sama Radio Republik Indonesia (RRI) dengan Jalin Merapi dan Program Studi Ilmu Komunikasi UII itu mengemas kisah-kisah para relawan dalam membantu penanggulangan bencana alam Merapi 2010.

Hadir pula dalam seminar nasional adalah Rosarita Niken Widiastuti, direktur utama LPP RRI yang menjabarkan tentang lembaga yang ia pimpin sedang mendlekarasikan diri sebagai radio tanggap bencana. Niken mengatakan, untuk mewujudkan niat tersebut, paling lama 10 menit setelah terjadi bencana alam, harus sudah ada pelaporan yang berhasil diliput oleh RII untuk disebarkan kepada publik. Dan dalam waktu 1×24 jam, tim RRI diharap sudah berada di lokasi bencana. RRI juga sudah membuat pedoman penyiaran bencana.

Niken mengaku, RRI sebenarnya sudah jauh hari menjadi radio tanggap bencana. Fase tersebut dimulai saat terjadi tsunami di Aceh pada 2004 lalu. Saat itu RRI membuat studi mini di sana. Pada gempa di Padang, dan gempa di Yogyakarta 2006, RRI juga sudah menerapkan studio mini guna menyiarkan seputar perkembangan bencana alam tersebut. Dan untuk menajamkan berita yang disiarkan agar akurat dan tidak menimbulkan ambigu pada para pendengar, RRI sudah banyak bekerjsama dengan beberapa lembaga terkait, seperti Jaringan Radio Komunitas (JRK) yang berada di beberapa wilayah, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Pada bagian terakhir semina nasional ini, Edy Suandi Hamid, selaku rektor Universitas Islam Indonesia, memaparkan bagaimana kerjasama antara lembaga pendidikan dengan lembaga-lembaga terkait dalam penanggulangan bencana alam. Pada bencana alam Merapi 2010 misalnya, Edy mengatakan bahwa UII lah yang, “Bergerak paling awal di antara perguruan tinggi di Yogyakarta.” Ia sadar melakukan hal itu karena UUI dianggap sebagai beranda luarnya Merapi. Saat terjadi letusan Merapi 2010, semua tempat UII dipergunakan untuk menampung pengungsi. Beberapa tenaga yang dimiliki UII juga diterjunkan untuk meringankan beban korban bencana alam seperti tenaga-tenaga dari Fakultas Kedokteran dan lain-lain. Edy menegaskan, kerjasama antara perguruan tinggi dengan lembaga-lembaga lain sangat diperlukan karena biasanya perguruan tinggi banyak punya tenaga ahli yang begitu bermanfaat bila dipergunakan untuk meringankan korban bencana.

Khairul Anam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *