BERITA

Dari Kongres JRKI di Lembang, Jawa Barat

Dibaca 4 Menit

Setumpuk soal menyembul setelah 4 tahun menunggu. Kemandirian dan ketercerabutan cita-cita radio komunitas masih jadi perkara.

Radio komunitas yang menyebar di seantero Indonesia telah banyak. Perkembangannya lama-lama justru makin melimpah. Tapi tidak sedikit pula yang perlahan gulung tikar.

Apa sebab? Banyak faktor jika kita harus merinci satu-persatu danmendedahnya secara dalam. Yang paling banyak, dan terus nyaring dikeluhkan oleh pegiat radio komunitas adalah perihal cekaknya dana. Apakah itu dana operasional, atau keperluan insidental. Lantas, bagaimana kiranya radio komunitas mampu terus bersiar? Kalau menyiarkan iklan saja tidak boleh? Padahal, dalam dunia siaran (radio,televisi, surat kabar, dll). Salah satu pemasukan buat media tersebut terus bernafas tentu saja dari iklan. Ketentuan radio komunitas “tidak boleh beriklan” memang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Penyiaran No 32 2002. Pada pasal 23 itu, jelas menerakan jika radio komunitas tidak beriklan komersial. Persoalannya adalah, sampai mana batas komersial itu?
Sejauh bahasa Indonesia mengartikan kata “komersial”, baru sebatas pada perihal perdagangan, yang mengacu pada titik keuntungan. Paulus Widiyanto, ketua Pansus UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 lalu, sempat menegaskan pada “Kongres Nasional II JRKI di Bandung Juni” lalu, bahwa radio komunitas, boleh beriklan tidak hanya pada tataran iklan layanan masyarakat (ILM). Ia bisa saja menyampaikan pesan dari produk merek tertentu, tanpa harus berniat memberikan keuntungan finansial, atau mengajak pendengar memakai produk yang diiklankannya. Artinya, radio komunitas beriklan menyampaikan informasi saja. Tataran iklan komersial seperti inilah yang sedang diperjuangkan dalam revisi UU Penyiaran sekarang.

Lalu bagaimana melakukan iklan komersial tanpa komersil? Radio Wonocolo AM, sebuah radio komunitas pertanian di Surabaya, yang sudah ada sejak 1960-an, sudah mencobanya. Pada awal tahun ini, pupuk Petrokimia dilanda pemalsuan di pasaran. Untuk menanggulangi kerugian perusahaan, dan tentu juga kerugian petani yang jadi korban pupuk palsu, Petrokimia menggandeng Wonocolo AM, agar menyiarkan pada komunitasnya jika: telah terjadi pemalsuan pupuk di pasaran. Dengan siaran tersebut, petani dapat berhati-hati membeli pupuk Petrokimia di pasar. Jangan sampai dapat aspal (asli tapi palsu). Dan atas bantuan tersebut, Radio Wonocolo diganjar beberapa rupiah.

Tetapi perkara radio komunitas yang mandiri tidak cukup tuntas dalam perihal dana. Masih banyak radio komunitas yang belum sadar akan awal keberadaannya. Bukankah radio komunitas itu berdiri untuk melayani kepentingan komunitas? Ayo kita tanya sekarang, sudah berapa radio komunitas yang telah menjalankan khitah tersebut? Jangan-jangan, radio komunitas masih mencontek konsep radio swasta yang didominasi atas cita-cita menghibur masyarakat. Kita tentu sadar, kalau kepentingan komunitas tidak melulu pada taraf hiburan. Komunitas butuh sesuatu yang lebih greng.

Apa itu? Satu yang paling penting ialah memberi informasi yang menyadarkan komunitas akan hak dan kewajibannya. Bowo Usodo, Ketua Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) periode 2004-2007 sadar. Selama kepemimpinannya, ia masih belum cukup berhasil membawa semangat bahwa, “Radio komunitas itu adalah alat perubahan sosial”. Radio komunitas memang sengaja diharikan untuk melayani masyarakatnya. Jadi, kebutuhan masyarakatlah yang jadi panutan siaran.

Khitah radio komunitas untuk mengubah masyarakatnya memang menjadi beban yang tidak enteng. Tetapi, tidak ada tuntutan bahwa perubahan sosial itu selalu yang besar dan berat sampai merombak sistem sosial yang telah mapan. Sikap yang telah berubah, dari keadaan yang keliru, misalnya, memandang dan menghormati semua kelamin punya kesempatan sosial yang sama adalah contoh perubahan sosial yang sederhana.

Oleh karena itu, panitia Ad hoc merasa perlu memasukkan agenda untuk berkampanye isu kesetaraan jender dalam radio komunitas. Saat lokakarya “Menegaskan Posisi dan Peran Perempuan dalam Memperkuat Kemandirian Radio Komunitas di Indonesia”, di kongres, Selasa (7/6) sore, Bianca MiglIoretto, dibantu oleh seorang penerjamah, menguraikan persoalan ketimpangan jender (kelamin sosial) yang mendera para pegiat radio komunitas.  Mulai dari tata letak studio yang tidak memungkinkan para perempuan mengoperasikannya sendiri, sehingga butuh pertolongan lelaki, sampai masih beberapa siaran tentan perempuan, tapi disampaikan oleh lelaki. Sehingga, analisis sosialnya kurang tajam.

Tapi, Bianca, yang mewakili WIN-AMARC, sebuah Jaringan Perempuan Internasional dari Asosiasi Radio Komunitas se-Dunia, menegaskan kalau, “Jender tidak selalu berkaitan dengan perempuan. Ia adalah kelamin sosial. Perempuan, laki-laik, lesbi, gay, dan gejala kejiwaan yang lain, yang dibentuk oleh interaksi sosial.” Jadi, keliru jika persoalan kesetaraan jender selalu ditimpakan penuh pada perempuan saja.

Di sela-sela pelaksanaan kongres yang penuh beragam pelatihan dan lokakarya tersebut, panitia pelaksana juga menyuguhkan beberapa sajian seni, sebagai pengusir bosan peserta. Diantaranya adalah seni khas Sunda. Malam itu, Selasa (7/6), serombongan seniman cianjuran, jauh-jauh datang dari Desa Mandalamekar, Cinunjang, Tasikmalaya, ke kongres, untuk menghibur peserta dari pelosok negeri. Sekilas mengamati dan mendengar alunan musiknya, tampak seni cianjuran tidak beda dengan seni-seni sunda lain, yang dibumbui kecapi dan seruling. Yang menjadi pembeda cita rasa cianjuran dengan seni musik sunda lain adalah, “Reureus-nya. Kalau dalam dangdut, cengkok namanya,” jelas Ambu Pohaci, komandan di panggung.

Ibu pensiunan guru yang sudah beranjak ke usia 60 tahun itu, masih segar membawakan beberapa lagu cianjuran. Ia dan rekan-rekan, tidak merasa canggung tampil di hadapan peserta, yang, mungkin sebelumya tidak pernah mengerti seni cianjuran. “Kami tiap malam minggu tampil di Ruyuk FM, Mandalamekar, ” terangnya lagi. Sehingga, ketika diminta oleh panitia kongres, beberapa bulan sebelum pelaksanaan, untuk menampilkan kesenian khas daerah masing-masing, mereka segera mengiyakannya.

Segera setelah semua agenda seminar, dan lokakarya, beserta pelatihan tuntas pada hari ke-3 kongres, Rabu (8/6), peserta memasuki agenda penting lain. Pada siangnya, kongres memulai rangkaian sidang. Mulai dari sidang perkara anggaran dasar/anggaran rumah tangga sampai tata cara pemilihan ketua JRKI. Peserta begitu antusias melaui proses tersebut. Terbukti, pada hari ke-2 sidang, Kamis (9/6), mereka memilih untuk melanjutkan acara dan menunda waktu istirahat.

Pada tengah malam itu, Kamis (9/6), sampailah mereka pada acara yang dinanti. Yaitu pemilihan ketua JRKI yang baru. Yang akan mengampu JRKI sampai tiga tahun kedepan. Mulanya ada empat calon yang diajukan oleh peserta. Tapi, secara bulat, semua peserta beramai-ramai memilih Sinam M Sutarno, pegiat radio komunitas Merapi Merbabu Community (MMC) sebagai ketua mereka.

“Semuanya relatif berjalan secara alamiah. Saya pun tidak melakukan penggalangan massa,” kata Sinam, pada esok harinya. Ia mengaku, seminggu sebelum kongres, baru ia mantap mencalonkan diri. Itu pun karena didorong oleh teman-teman pegiat radio komunitas yang lain. Tapi, ia mengakui lagi, walaupun JRKI akhirnya berhasil melaksanakan kongresnya, setumpuk soal tidak begitu saja usai. Selain perkara kemandirian radio komunitas, pengurus baru dituntut awas terhadap revisi UU Penyiaran No 32 2002 yang sedang berlangsung kini. “Memang tidak ada arah yang jelas bagaimana RUU Penyiaran ini mau diperlakukan oleh DPR. Jangan sampai perubahan ini akan merugikan radio komunitas dan bagaimana revisi ini mampu memperkuat radio komunitas,” tutup Sinam.  (Khairul Anam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *