BERITA

Jaringan Radio Komunitas Indonesia: Membangun Kesadaran Keadilan Jender pada Radio Komunitas

Dibaca 4 Menit

Untuk kedua kalinya, Jaringan Radio Komunitas Indonesia menggelar konferensi nasional yang dihadiri delegasi dari 17 Jaringan Radio Komunitas Wilayah diantaranya dari Aceh, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara,  Bali, Lampung, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Papua, Jakarta, Banten, Nusa Tenggara Barat, dan DI Yogyakarta.  

Salah satu hal yang menarik dari kongres kali ini adalah kentalnya isu partisipasi perempuan dalam radio komunitas. Adalah Siti Infirohah Al Faridah, salah satu steering commitee persiapan kongres yang memperjuangkan diagendakannya isu perempuan dalam kongres ini. Dalam hal komposisi peserta kongres, ia berhasil memberikan prasyarat bahwa dari 3 delegasi yang mewakili JRK Wilayah, maka harus ada perempuan. “Jika tidak diberikan prasyarat seperti itu maka bisa jadi yang ikut hanya laki-laki semua,” ungkapnya. Di samping itu Ida, demikian nama panggilannya, berhasil memasukkan isu perempuan dalam format lokakarya nasional. Artinya setiap JRK wilayah, baik laki-laki maupun perempuan, harus menghadiri lokakarya tersebut. Sebelumnya agenda mengenai isu perempuan dalam radio komunitas dimasukkan dalam workshop paralel yang lebih kecil. Namun Ida menegaskan bahwa jika isu perempuan hanya menjadi workshop kecil maka yang hadir hanya perempuan saja. Padahal seharusnya pengarusutamaan jender perlu dipahami oleh pengelola pria maupun perempuan. Akhirnya lokakarya ini digelar pada tanggal 7 Juni 2011 bertajuk “Menegaskan Posisi dan Peran Perempuan dalam Memperkuat Kemandirian Radio Komunitas Indonesia.”

Mengapa Radio Komunitas perlu Mengangkat Isu Perempuan
Dalam lokakarya ini hadir pembicara dari Koalisi Perempuan Indonesia yaitu Dian Kartikasari, SH, Gini  Gusnayanti, pengelola Radio Komunitas Citra Melati di Jawa Barat, Wakil dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Bianca dari WIN AMARC. Di samping itu ada pula pembahas yang dihadiri oleh Ade Tanesia dari COMBINE Resource Institution, Prof. Dr. Ati Rachmiati dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat (KPID-JABAR), dan Dr. Eni dari Universitas Padjajaran.

Diah Kartika Sari, mengungkapkan kondisi perempuan di Indonesia secara makro. Ia mengawalinya dari masalah kemiskinan yang masih menghantui negara ini. Menurutnya, Meski di atas kertas, laporan negara selalu menunjukkan penurunan angka kemiskinan. Kenyataan menunjukkan bahwa daya jangkau masyarakat terhadap kebutuhan hidup dan pangan pokok semakin rendah. Akibatnya, beban perempuan, yang secara tradisional bertugas sebagai penyedia pangan keluarga dan pengatur keuangan rumah tangga semakin, berat. Perempuan harus bekerja lebih keras, misalnya dalam pengolahan pangan dan penyediaan air bersih dan melakukan berbagai pekerjaan tambahan, sebagai upaya penghematan. Dampak langsung dari kemiskinan adalah rendah pendidikan pada perempuan. Sebagai contoh, dalam situasi miskin, orang tua lebih memilih menyekolahkan anak laki-laki ketimbang anak perempuan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa rata-rata lama anak perempuan Indonesia bersekolah adalah 6,5 tahun. Artinya setelah itu banyak anak perempuan yang menjalani pernikahan dalam usia muda.  Profil Kesehatan tahun 2009 yang diterbitkan Kementerian Kesehatan RI 2010, menunjukkan jumlah anak perempuan yang kawin diusia 10 -15 tahun masih mencapai 13,4% dari jumlah anak di usia tersebut. Sedangkan perkawinan  anak perempuan di usia 16-18 tahun mencapai 33,40%. Praktek budaya di berbagai masyarakat juga seringkali menempatkan perempuan dalam posisi yang rentan kekerasan. Struktur  kekuasaan yang didominasi oleh laki-laki kerap menghasilkan keputusan yang merugikan perempuan. Dalam paparannya Diah Kartika ingin menyadarkan peserta lokakarya bahwa di berbagai dimensi kehidupan, perempuan seringkali mengalami praktek ketidakadilan yang dilanggengkan oleh budaya. Ia juga mengemukakan betapa media berperan penting dalam membangun kesadaran, membentuk opini publik dalam masyarakat mengenai cara pandang dan praktik keadilan jender. Media komunitas, seperti radio komunitas, juga memiliki peran penting dan bisa sangat intens untuk mengubah pola pikir masyarakat.

Pentingnya peran media komunitas dipertegaskan lagi oleh presentasi Gini Gusnayanti dari Radio Komunitas Citra Melati. Isu perempuan seperti kampanye mengenai HIV/AIDS diangkat dalam program siaran. Di samping itu ada pula program off air seperti koperasi komunitas perempuan. Kehadiran Kementrian Pemberdayaan Perempuan sangat penting untuk menjadi mitra radio komunitas. Di dalam kementrian ini ada bidang Komunikasi, Informasi, dan Edukasi. Dalam konteks ini radio komunitas bisa bekerjasama dengan kementrian. Memang dalam bahasan Ade Tanesia berdasarkan hasil penelitian mengenai keterlibatan perempuan dalam radio komunitas, dibutuhkan pengembangan kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan. Radio komunitas seringkali membutuhkan dukungan konten dari berbagai pihak seperti pemerintah, LSM perempuan. Dr. Eni dalam pembahasannya menekankan bahwa keberadaan perempuan dalam radio komunitas tidak berarti akan terjadi pengarusutamaan jender. Artinya pemahaman mengenai keadilan jender memang perlu dilakukan kepada pria maupun perempuan. Tidak mudah untuk mengarusutamakan keadilan jender pada perempuan di radio komunitas. Dalam hasil penelitian COMBINE Resource Institution, perempuan mempunyai begitu banyak hambatan untuk aktif di ranah publik. Adapun yang terbesar adalah tiadanya waktu karena tanggung jawabnya di ranah domestik. Pada kasus Radio Darsa FM di Aceh misalnya, dengan penerapan syariat Islam di daerah tersebut, maka ruang gerak perempuan semakin terbatas. Mereka tidak bisa keluar rumah di malam hari, padahal waktu yang paling efektif untuk radio komunitas bersiaran adalah malam hari. Kemudian perempuan juga tidak bisa berduaan dengan lawan jenis di sebuah ruangan.Hal ini menyulitkan perempuan karena mereka tidak bisa bersiaran bersama pria di studio yang rata-rata berukuran kecil. Akhirnya harus mencari teman perempuan, tapi tingkat ketergantungan secara teknis pengoperasian radio pun sangat besar terhadap laki-laki.  Kondisi ini sangat sesuai dengan yang dikatakan oleh Diah Kartika Sari, bahwa budaya, agama, bisa sangat menghambat ruang gerak perempuan dalam pembangunan masyarakat.

Kebijakan Keadilan Jender pada Jaringan Radio Komunitas Indonesia
Melalui lokakarya dan workshop paralel mengenai keadilan jender ini maka JRKI sebenarnya ingin mengidentifikasi seberapa jauh keterlibatan perempuan dalam radio komunitas. Selain itu juga ingin memetakan hambatan yang dirasakan perempuan. Hasil identifikasi kemudian didiskusikan menjadi sebuah  rekomendasi untuk dimasukkan dalam kebijakan organisasi Jaringan Radio Komunitas Indonesia.

Menurut Siti Infirohah Al Faridah, JRKI telah berhasil memasukkan keadilan jender dalam statutanya. Kemudian dalam mekanise kerja organisasi kini ada Bidang Pengarusutamaan Jender. Kelak Jaringan Radio Komunitas Indonesia perlu merancang program yang mengarah pada penyadaran keadilan jender di seluruh anggotanya di Indonesia. Bahkan dalam klausul pemberhentian pengurus, kini ada pernyataan bahwa pengurus yang melakukan kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan, dapat diberhentikan. Ada sebuah diskusi untuk membentuk semacam WIN dalam tubuh JRKI. Tetapi akhirnya para peserta kongres sepakat bahwa organisasi khusus belum perlu dibentuk. Hal ini dikhawatirkan akan terjadi pengkotak-kotakkan bahwa isu perempuan hanya milik perempuan. Padahal langkah pertama yang perlu dilakukan adalah membangun kesadaran bersama di pengelola pria maupun perempuan. Menurut Ida, kebijakan ini memang harus diperinci lebih detil lagi. Pekerjaan selanjutnya, dan yang paling sulit adalah implementasi kebijakan ini ke tataran Jaringan Radio Komunitas Wilayah (JRK Wilayah) dan sampai ke radio komunitas. Perjalanan memang masih panjang, tetapi sebuah langkah awal yang baik. *** (Ade Tanesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *