BERITA

Workshop Pengembangan Modul “Pengarusutamaan Jender pada Radio Komunitas”

Dibaca 7 Menit

Pada tanggal 4-5 Mei 2011, Workshop Pengembangan Modul “Pengarusutaamaan Jender pada Radio Komunitas” diselenggarakan di sebuah ruang rapat di Hotel Brongto, Jogjakarta. Workshop ini dihadiri oleh Radio Komunitas Balai Budaya Minomartani, Wijaya FM, Radekka FM, Sadewa FM, ANJANI (Pusat Studi Media, Perempuan, dan Seni), Mitra Wacana, dan JRKI.

Workshop ini diawali dengan pemaparan  hasil penelitian COMBINE Resource Institution bertajuk “Keterlibatan dan Manfaat Radio Komunitas pada Kelompok Perempuan” yang dipresentasikan oleh Ade Tanesia. Beberapa kesimpulan yang perlu dicermati dari penelitian ini adalah:

1. Proporsi perempuan dalam kepengurusan radio komunitas memang belum berimbang, prosentasenya masih jauh lebih kecil daripada pria.
2. Komposisi 31% perempuan yang terlibat di radio belum merepresentasi keterlibatan mereka di manajemen radio atau dalam posisi pengambil keputusan. Hal tersebut pula yang dapat dikaitkan dengan minimnya konten yang bermuatan isu  perempuan di radio komunitas. Padahal, dalam survey pendengar yang dilakukan oleh penelitian ini di NTB dan Cilacap, harapan besar akan informasi yang dapat disediakan oleh radio komunitas jelas terungkap.
3. Keterlibatan dalam pengelolaan radio komunitas memang memberikan wawasan dan menambah keterampilan baru, namun belum lebih dari itu. Tema perempuan yang diangkat oleh radio belum sampai pada membangun kesadaran kritis atas hak atau memberi informasi yang bersifat solutif bagi permasalahan sehari-hari.
4. Berdasarkan hasil penelitian maka media yang paling banyak diakses oleh wilayah Lombok adalah radio di peringkat pertama, baru kemudian televisi di peringkat kedua. Berbeda dengan wilayah Cilacap, dimana televisi menjadi media peringkat pertama yang paling banyak diakses oleh perempuan, baru setelah itu radio. Perbedaan ini menarik karena terkait pula oleh kondisi geografis dikedua wilayah ini. Dua desa yang menjadi lokasi radio komunitas Primadona FM dan Forest FM merupakan daerah terpencil. Berbeda dengan dua desa di Cilacap yang akses dengan kota cukup dekat. Untuk penggunaan teknologi komunikasi, maka telepon genggam menduduki peringat pertama di kedua wilayah ini. Hal ini disebabkan penetrasi teknologi seluler sangat cepat menjangkau pelosok desa di Indonesia dan penggunaannya semakin terjangkau secara ekonomis. Telepon genggam telah mengalahkan teknologi sebelumnya seperti pos, telepon rumah. Di daerah Majenang, Cilacap, yang karakternya adalah kota,  ada kecenderungan baru yaitu mulai munculnya penggunaan internet.
5. Pengetahuan pendengar mengenai keberadaan radio komunitas diperoleh karena studionya dapat terjangkau dan ada pula yang menemukan melalui gelombang radio. Sangat menarik terkait gelombang radio, ternyata penentuan saluran radio bisa sepenuhnya diputuskan oleh perempuan. Hal ini disebabkan radio dapat didengar melalui telepon genggam. Berbeda dengan penentuan saluran televisi, maka perempuan harus bernegosiasi dengan anggota keluarga lainnya seperti suami dan anak.

Berdasarkan temuan penelitian ini maka disusun beberapa rekomendasi untuk radio komunitas dalam hal pengarusutamaan jender pada organisasinya, yaitu:
1. Radio komunitas perlu membangun kebijakan yang memberikan peluang besar bagi perempuan untuk terlibat. Kebijakan tersebut mencakup: fasilitas yang memudahkan perempuan untuk datang ke studio, membangun kerjasama dengan kelompok perempuan di desa untuk mengoptimalkan radio sebagai saluran informasi, dll.
2. Radio komunitas perlu membangun sebuah format program yang unik untuk menjamin terjadinya keterlibatan perempuan seperti program talkshow relay di acara arisan atau PKK; program dengan format “radio diary” yaitu bagaimana perempuan dapat mengisahkan pengalaman hidupnya; dan lain-lain.
3. Dibutuhkan suatu kesadaran pada radio komunitas, bahwa dengan berbagai hambatan sosial dan kultural yang terjadi pada perempuan di komunitasnya, maka radio perlu bekerja lebih keras untuk melibatkan perempuan, artinya pihak radio perlu aktif mendatangi “ruang-ruang” sosial perempuan, mengatur jam siaran sesuai dengan waktu luang perempuan untuk mendengarkan radio. Sehingga dibutuhkan pemetaan siklus kehidupan perempuan dalam satu hari sehingga kita memahami waktu yang paling tepat bagi perempuan untuk memperoleh informasi dan terlibat dalam radio.
4. Perlunya membangun jejaring dengan berbagai lembaga untuk pengayaan konten yang mampu memberdayakan potensi perempuan di desanya. Untuk itu radio komunitas perlu memetakan potensi dan isu yang terkait perempuan di komunitasnya.

Menanggapi hasil penelitian ini maka Devi dari ANJANI menambahkan bahwa pentingnya rekomendasi dalam hal peningkatan kapasitas di bidang pengoperasian teknologi radio. Hal ini diperkuat oleh pengalaman dari Radio Radekka FM bahwa seringkali perempuan yang hendak bersiaran harus menunggu laki-laki untuk mengoperasikan radionya. Faridah dari Jaringan Radio Komunitas mengungkapkan bahwa bicara soal jender maka pertama, keadilan terhadap laki-laki dan perempuan mesti dijamin bahwa ada kebijakan yang sama untuk keduanya. Dalam konteks JRKI, sekarang sedang mengumpulkan basis data sehingga bisa mengetahui kondisi umum dari setiap radio komunitas di berbagai daerah.

Kemudian setelah presentasi dan diskusi mengenai hasil penelitian selesai, maka dilanjutkan dengan gambaran mengenai “Pemaparan Jender pada Komunitas” yang dipresentasikan oleh Devi dari ANJANI.  Devi secara khusus mengambil contoh kasus mengenai budaya konsumsi untuk memaparkan persoalan jender para komunitas. Konsumsi merupakan bagian paling dekat pada perempuan, karena tiada hari tanpa belanja bagi perempuan.  Dalam dunia yg masih didominasi budaya patriaki belanja seolah olah bagian dari peran kaum perempuan dalam keluarga, perempuan seringkali menjadi penentu atas apa saja yang akan dikonsumsi keluarganya, sebagai penentu, kaum perempuan membutuhkan perangkat untuk menjadi cukup bijaksana dalam memilih. Terbukti banyak iklan yang menargetkan perempuan sebagai target terbesar untuk mendongkrak penjualan produknya.

Berbicara mengenai konstruksi identitas perempuan dalam masyarakat konsumsi maka ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan, yaitu bagaimana representasi perempuan dalam iklan. Lalu apa pentingnya? Apakah wajah iklan sama dengan wajah komunitas?Jika ya, seperti apa sebenarnya wajah iklan tersebut? Devi lalu mengambil contoh satu iklan yaitu iklan Merit, pil pelangsing tubuh, produksi Sari Sehat. Secara implisit atau bahkan eksplisit, iklan merit hendak mengatakan bahwa tubuh perempuan yang dianggap ideal dalam iklan, sama dengan anggapan masyarakat. Apa yg disuarakan dalam iklan seolah sama dengan suara masyarakat. Jadi, kalau ingin wajah kita sesuai dengan wajah komunitas dimana kita berada, percayalah pada wajah yg ditawarkan dalam iklan. Kalau tidak mau, siap-siaplah menjadi bahan tertawaan laki-laki maupun perempuan.

Lebih lanjut Devi mempertanyakan dinamika konsumsi dalam gelombang emansipasi. Ada sebuah iklan yang sudah merepresentasikan perempuan bekerja di ruang publik. Sebagai contoh adalah Iklan Sunsilk. Digambarkan seorang presenter sedang bersiap-siap dengan rambut yang kusut untuk diambil gambarnya oleh kameraman. Di satu sisi iklan ini telah menampilkan dinamika perempuan yang bekerja di bidang broadcasting, tetapi pemegang  keputusan dan teknologi tetap pria. Hal ini memperlihatkan bahwa posisi perempuan masih tersubordinasi.

Feminisme, secara umum berangkat dari kesadaran bahwa gender adalah konstruksi sosial dan dalam konstruksi tersebut seringkali terjadi ketidakdilan yang mengakibatkan timpangnya relasi gender.  Mengikuti pembagian gelombang/feminisme menurut Kristeva. Gelombang pertama thn 1800-1930-an menuntut hak perempuan sejajar,  Kedua, 1968, perempuan bergerak untuk mendapatkan hak-hak sama dalam berbagai bidang kehidupan tidak saja di bidang politik. Mereka menuntut dihentikannya diskriminasi terhadap perempuan baik di rumah maupun di tempat kerja. 1990-an, berpandangan bahwa identitas dan kategori yang ajeg itu problematis. Mereka meyakini bahwa identitas itu cair, Lebih jauh mereka membongkar sekaligus mempertanyakan kategori maskulin dan feminin.

Kembali pada iklan, bagaimana ragam representasi citra perempuan. Menuju pada konteks kekinian, masih banyak kita jumpai iklan yang belum menggambarkan perubahan pandangan  tentang  gender seperti hanya pandangan kaum feminism, baik yg menyebut diri feminis liberal.
Hingga saat ini, iklan di berbagai media cetak maupun elektronik masih tertuju pada pekerjaan rumah.ternyata ruang privat dan ruang publik di konstruksikan di media iklan.  Ada memang iklan yang menggambarkan sosok perempuan mandiri, tapi dalam penggambarannya tetap menghadirkan sosok pria yang berkuasa. Hal yang perlu dilakukan dalam menghadapi budaya konsumsi adalah sikap tawar menawar dan punya kuasa untuk menentukan pilihan berdasarkan nilai guna, bukan nilai tanda yang ada di dalamnya.

Menurut Ranggoaini Jahja, paparan Devi sangat menarik untuk mengamati konteks bagaimana bias jender terkonstruksi di masyarakat. Wacana jender umumnya masih sangat elit, perlu ada intervensi masalah bias jender ini pada radio komunitas. Sementara Ade Tanesia menanggapi bahwa presentasi Devi sangat kuat relasinya dengan hasil penelitian mengenai radio komunitas. Bahwa jika tadi ada kesimpulan bahwa isu perempuan yang diangkat masih sekitar wilayah domestik, maka hal ini terrepresentasi melalui iklan yang masih meletakkan wanita di wilayah domestik. Juga jika di radio komunitas ada keengganan perempuan terjun dalam wilayah teknologi karena dianggap bukan wilayahnya, iklan pun menyuburkan cara pandang tersebut seperti yang tegambar dalam iklan Sunsilk.

Setelah memaparkan kondisi jender pada komunitas, Devi dari ANJANI memaparkan metode penyadaran jender pada  komunitas yang harus berdasarkan prinsip kontekstual. Pertama untuk memetakan isu jender, maka kita perlu mengetahui siapa komunitasnya. Apakah pedagang, petani, buruh, dan lain-lain.   Setiap komunitas mengandaikan metode yang sesuai dengan karakteristik komunitas tersebut. Kemudian yang penting pula adalah menggali unit analisis keluarga. Pertanyaannya adalah siapa yang dianggap paling lemah dalam keluarga. Lalu bagaimana sikap anggota keluarga lain terhadap anggota keluarga yang dianggap paling lemah?Mengapa mereka bersikap seperti itu? Jadi dalam benak tidak ada sama sekali niatan untuk melakukan itu tapi dengan kasian. Hal-hal semacam ini perlu untuk dicermati. Kemudian kita beralih pada pertanyaan pendukung yaitu:
a. Apa saja peran masing-masing orang dalam keluarga dan bagaimana mereka memahami serta melakukan pembagian peran tersebut?
b. Bagaimana proses pengambilan keputusan dilakukan?
c. Situasi apa saja yang membuat salah satu/sejumlah anggota keluarga mengalami ketidakadilan? Mengapa?

Setelah keluarga maka kita beranjak ke Komunitas. Adapun pertanyaan utamanya adalah:
a. Siapa yang dianggap lemah atau minoritas dalam komunitas? Warga miskin, single parent, janda, cacat, sakit-sakitan, dianggap tidak waras?
b. Siapa saja yang merumuskan kebijakan tersebut dan bagaimana prosesnya?
Siapa yang mengambil keputusan?
c. Bagaimana proses pengambilan keputusan tersebut dilakukan?
Situasi apa saja yang menimbulkan keresahan/ketidakpuasan/membuatanggota komunitas mengalami ketidak adilan? Mengapa?

Setelah memberikan pemaparan metode pemetaan bias jender pada komunitas maka dilanjutkan dengan berbagi pengalaman pengelola radio komunitas.  Dyah dari Radekka FM, mengungkapkan bahwa sejak tahun 2009 di radio Radekka FM memang ada program radio perempuan setelah ada kegiatan dari gerakan perempuan Gunung Kidul. Kemudian Radekka mempertemukan beragam pemangku kepentingan masyarakat seperti kebijakan dari dinas tertentu terhadap perempuan bisa didengarkan lewat Radekka FM. Namun menurut Dyah, program ini belum sampai pada tahap penyadaran. Program masih mengalir sesuai kegiatan di lapangan, belum dikemas sebuah program khusus untuk perempuan. Sebenarnya di Radekka FM ada program Curhat (Curahan Hati), misalnya mengenai soal pacaran. Tetapi jarang yang mau langsung bercerita, berbeda dengan Radioland yang ada di pasar. Ibu-ibu penjual saling bercengkerama, dan lebih ekspresif.. Terkait kapasitas dalam hal pengoperasionan teknologi radio, perempuan di Radekka FM masih sangat tergantung pada laki-laki. “Kita masih sulit mengatur waktu, dan juga masih menuhnggu laki-laki kalau mau siaran,” ungkap Dyah. Mengenai perihal jender, Dyah menjelaskan bahwa masih sulit untuk mengangkat persoalan besar mengingat para suaminya cenderung melarang isteri untuk mendengarkan atau mengikuti anjuran kesetaraan jender. “Awas, ojo melu-melu, nek mung garai wani karo bojone,” ancam beberapa suami di sana. Di radio Komunitas Balai Budaya Minomartani, dominasi pria dalam pengambilan keputusan juga masih kuat.

Pengalaman dari beberapa radio komunitas ini sangat penting untuk kemudian menjadi bahan analisis bagi Mitra Wacana untuk melihat apakah terjadi ketidak adilan jender di dalam organisasi radio komunitas. MItra Wacana menawarkan sebuah tools Pengarusutamaan Gender (PUG).

Workshop ini berhasil membangun sebuah kerangka modul pengarusutamaan jender pada radio komunitas, yang kelak akan dilengkapi oleh masing-masing organisasi yang terlibat dalam workshop ini. (ade tanesia)

Peserta Workshop:  Devi Ardhiani, Ade Tanesia P, Arif Sugeng Widodo, Enik Muslahah, E. Berlian S, Yossy Suparyo, ST. Infirohah Al-Faridah, Dyah Nurhikmah, Unay Djuwangsih, Katrin Bandel, dan Ranggoaini Jahja.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *