MAJALAH KOMBINASI

Edisi 54 : Mendidik Pemilih yang Cerdas

Dibaca 1 Menit

Memasuki masa hiruk pi­kuk menjelang pemilu di negeri ini, setidaknya ada dua fenomena terkait me­dia—dalam arti luas—yang ramai di­ perbincangkan. Pertama adalah peng­gunaan media arus utama untuk ke­pen­tingan politik para pemilik mo­dal dan kedua gelontoran alat peraga ba­ik caleg maupun capres yang mem­banjiri ruang publik hing­ga kerap di­sebut sampah visual. Ma­sa­lah­nya ada­lah kedua fenomena ter­se­but dinilai gagal menghadirkan kecerdas­an dan kesegaran bagi pe­mi­lih, dan mem­per­tebal apa­tis­me ter­ha­­dap pemilu.

Konsep media sebagai public sphere seperti diuraikan Habermas, yaitu se­bagai ruang di mana pub­lik melaku­kan diskusi sampai peng­awasan ter­ha­dap pemerintah menjadi sulit pada era kekuatan modal memiliki pe­nga­ruh kuat dalam membentuk ka­rak­ter media (Dahlgren, 2009).

Publik pun mulai skeptis terha­dap media arus utama dan enggan berpe­gang lagi pada so­dor­an informasi ten­tang pemilu yang di­sa­ji­kan. Pada sa­at inilah se­be­nar­nya kehadiran me­dia komunitas men­ja­di penting. Media ko­munitas men­ja­di peluang ba­gi publik untuk me­nyu­a­ra­kan as­pi­ra­si­nya se­ca­ra utuh. Se­ba­lik­nya, karak­ter­nya yang dekat dengan au­di­ens mem­bu­at me­dia komunitas da­pat memberi­kan pe­mahaman tentang pe­milu de­ngan ke­masan sesuai kon­di­si komu­nitasnya.Dia menjadi ge­rak­­an penyadar­an yangberbasis pa­da realita ke­hi­dup­an se­hari-hari.

Edisi kali ini bertutur tentang pe­ran media komunitas dalam Pemilu. Media komunitas merupakan perwu­judan hak informasi warga yang ten­tu mestinya tidak dimaknai sebatas pasif tapi juga aktif. Di Indonesia hak tersebut dengan jelas dijamin dalam UUD 1945 pasal 28F. Sekadar “me­nam­bang” suara warga tanpa se­ca­ra tu­lus dan jujur menyuarakan ke­pen­ting­an­nya, apalagi dengan memang­kas hak informasinya, adalah peng­khi­a­nat­an terhadap undang-undang dan man­dat warga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *