Memasuki masa hiruk pikuk menjelang pemilu di negeri ini, setidaknya ada dua fenomena terkait media—dalam arti luas—yang ramai di perbincangkan. Pertama adalah penggunaan media arus utama untuk kepentingan politik para pemilik modal dan kedua gelontoran alat peraga baik caleg maupun capres yang membanjiri ruang publik hingga kerap disebut sampah visual. Masalahnya adalah kedua fenomena tersebut dinilai gagal menghadirkan kecerdasan dan kesegaran bagi pemilih, dan mempertebal apatisme terhadap pemilu.
Konsep media sebagai public sphere seperti diuraikan Habermas, yaitu sebagai ruang di mana publik melakukan diskusi sampai pengawasan terhadap pemerintah menjadi sulit pada era kekuatan modal memiliki pengaruh kuat dalam membentuk karakter media (Dahlgren, 2009).
Publik pun mulai skeptis terhadap media arus utama dan enggan berpegang lagi pada sodoran informasi tentang pemilu yang disajikan. Pada saat inilah sebenarnya kehadiran media komunitas menjadi penting. Media komunitas menjadi peluang bagi publik untuk menyuarakan aspirasinya secara utuh. Sebaliknya, karakternya yang dekat dengan audiens membuat media komunitas dapat memberikan pemahaman tentang pemilu dengan kemasan sesuai kondisi komunitasnya.Dia menjadi gerakan penyadaran yangberbasis pada realita kehidupan sehari-hari.
Edisi kali ini bertutur tentang peran media komunitas dalam Pemilu. Media komunitas merupakan perwujudan hak informasi warga yang tentu mestinya tidak dimaknai sebatas pasif tapi juga aktif. Di Indonesia hak tersebut dengan jelas dijamin dalam UUD 1945 pasal 28F. Sekadar “menambang” suara warga tanpa secara tulus dan jujur menyuarakan kepentingannya, apalagi dengan memangkas hak informasinya, adalah pengkhianatan terhadap undang-undang dan mandat warga.