BERITA

Pelaku Media Minta Pengesahan RUU Rahasia Negara Ditunda

Dibaca 2 Menit

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara (RUU RN) oleh Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah memasuki tahap di Panitia Kerja. Pada akhir September 2009, sebelum masa tugas DPR RI periode 2004-2009 usai, RUU tersebut akan disahkan menjadi Undang-Undang. Apabila isi RUU RN tidak mengalami perubahan maka akan mematikan proses demokratisasi yang tengah berlangsung.

Darmanto, Lukas S. Ispandriarno, dan Octo Lampito
Demikian kesimpulan diskusi yang diselenggarakan oleh Masyarakat Peduli Media (MPM) bekerjasama dengan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Atmajaya Yogyakarta (UAJY) dan Combine Resource Institution (CRI) (6/8/2009) di Gedung III.3.6 Pascasarjana UAJY Babarsari, Yogyakarta. Kegiatan ini diikuti oleh 60 orang dari kalangan akademisi, pelaku media, lembaga swadaya masyarakat, dan aktivis pemberdayaan masyarakat. Narasumber diskusi adalah Pemimpin Redaksi SKH Kedaulatan Rakyat Octo Lampito, sekaligus Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) DI. Yogyakarta dan peneliti MPM Darmanto, serta moderator Lukas S. Ispandriarno dari UAJY.

Narasumber sepakat RUU RN melanggar Undang-Undang Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU No.39 tentang Hak Asazi Manusia, UU No.40/1999 tentang Pers, dan UU No.32/2002 tentang Penyiaran. RUU RN ini juga bertentangan dengan semangat konsitusional pasal 28F UUD Tahun 1945 yang menjamin hak berkomunikasi setiap warga negara. Pemberlakukan UU RN sudah tentu akan menjadi titik balik era keterbukaan informasi menuju totaliterianisme.

Peserta Diskusi Rancangan Undang-undang Rahasia Negara

Penerapan UU Rahasia Negara merupakan gerbang kematian media massa Indonesia karena substansinya cenderung mengkriminalisasikan pers. Parameter kerahasiaan dalam UU tersebut tidak jelas sehingga akan menimbulkan multi tafsir dan penyalahgunaan kekuasaan mengingat kewenangan untuk menentukan sesuatu masuk kategori rahasia negara atau bukan ada di tangan presiden dan dapat didelegasikan kepada pimpinan yang ada di bawahnya.

Diskusi itu menyepakati enam poin penting, yaitu pertama secara filosofis RUU Rahasia Negara tidak memiliki landasan yang kuat dan mengandung contradicio in termimis antara konsideran dengan batang tubuh sehingga menimbulkan kerancuan. Kedua, secara sosiologis, tidak ada permasalahan mendesak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dapat menjadi pembenar lahirnya RUU Rahasia Negara. Bahkan sebaliknya proses transisi demokratisi yang tengah berlangsung membutuhkan dukungan perundangan yang menjamin hak berkomunikasi setiap warga negara. Oleh sebab itu pelaksanaan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik tidak boleh terganggu dengan hadirnya UU Rahasia Negara.

Ketiga, berdasarkan pasal-pasal yang tercantum di dalamnya, RUU ini tidak hanya mengatur ranah Rahasia Negara yang terkait dengan permasalahan pertahanan dan keamanan, tetapi juga ranah politik dan birokrasi sehingga lebih tepat dikatakan sebagai RUU Penyelenggaraan Negara. Dengan demikian, jika RUU ini disahkan menjadi Undang-undang pasti akan menimbulkan banyak masalah dan menghambat upaya pemberantasan korupsi di kalangan birokrasi. Keempat, disahkannya RUU Rahasia Negara menjadi Undang-undang akan menyebabkan terjadinya kriminalisasi pers yang pada akhirnya mematikan fungsi kontrol.

Kelima, ketentuan Pidana dalam RUU Rahasia Negara bersifat diskriminatif karena hanya menghukum pihak yang memeroleh dan menyebarkan rahasia Negara, sedangkan pihak yang membocorkan sama sekali tidak tersentuh. Padahal pembocoran rahasia Negara hanya mungkin terjadi jika ada pihak yang membocorkan. Keenam, sehubungan dengan pokok-pokok pikiran tersebut maka Forum Diskusi mendesak DPR RI agar menunda pengesahan RUU Rahasia Negara menjadi Undang-undang sampai dengan adanya perubahan yang signifikan sehingga isi RUU tersebut sesuai dengan semangat demokrasi dan tidak menegasikan hak berkomunikasi warga negara seperti dijamin oleh pasal 28F UUD 1945, serta Undang-undang turunannya, yaitu UU No.39/1999 tentang HAM, UU No.40/1999 tentang Pers, dan UU No.14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Budhi, Yossy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *