Site icon Combine Resource Institution

Mencari Solusi Alternatif Perlindungan Media Warga

Media warga memberi kontribusi dalam situasi pandemi. Namun, minimnya pengakuan, apresiasi dan ketiadaan perlindungan membuat posisi media warga lebih rentan.

Media yang dikelola secara mandiri oleh warga–tanpa dukungan negara maupun korporasi–bukan hal baru. Media jenis ini merupakan upaya individu atau sekelompok individu untuk terlibat dalam layanan penyediaan informasi dengan memanfaatkan sumber daya komunikasi yang dimiliki oleh warga (Van Cuilenburg, 1999 dalam Fuller, 2007). Dalam banyak kesempatan, media berbasis-komunitas dimaknai secara sederhana sebagai sarana komunikasi (media) dari, oleh, dan untuk warga (Tabing, 2000). Media berbasis-komunitas secara istilah sangat beragam. Ada yang menyebutnya sebagai media komunitas (community media), media warga (citizens’ media), media alternatif (alternative media), media partisipatoris (participatory media), media akar rumput (grassroot media), dan sebagainya (Howley, 2010). Dengan beragam penyebutan, konteks pengelolaannya pun menjadi beragam.

Di Indonesia, kejayaan media komunitas boleh dikatakan berlangsung pada dekade awal pasca-Reformasi, seiring dengan ditetapkannya UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran, di mana media komunitas mendapat pijakan hukumnya. Media komunitas seperti radio komunitas dan televisi komunitas tumbuh dengan subur.

Sayangnya, ketika membicarakan media komunitas, kebanyakan orang masih mengasosiasikannya dengan praktik media komersial yang dikenal khalayak. Hal itu dikarenakan masih minimnya rekognisi terhadap media komunitas di berbagai ranah. Pettit dkk. (2009) menyebut bahwa media komunikasi berbasis-warga memang kurang diperhitungkan dalam proses pengambilan kebijakan dan pembangunan. Media berbasis-komunitas kerap disederhanakan, bahkan seringkali hanya diidentifikasi semata lewat teknologi yang mereka gunakan–misalnya, radio komunitas dan televisi komunitas dipandang secara instrumental, tanpa pemahaman yang koheren mengenai proses sosial, budaya, dan politik yang membuat mereka transformatif dan berkelanjutan.

Menghadapi Wabah

Ketika wabah COVID-19 di Indonesia meluas, Eros dan kawan-kawannya di media komunitas Speaker Kampung berinisiatif melakukan penyemprotan disinfektan secara mandiri di sejumlah desa di beberapa kecamatan di Kabupaten Lombok Timur, NTB. Penyemprotan dilakukan di ruang-ruang publik, termasuk kantor-kantor desa. Alasannya sederhana, selain demi mencegah penyebaran virus, mereka juga berharap apa yang mereka lakukan menjadi pemantik bagi pemerintah desa supaya segera bergerak melakukan langkah penanganan. Saat itu belum ada desa yang mengalokasikan dana untuk penanganan COVID-19.

Selain penyemprotan dan membagikan masker kepada warga, media komunitas yang berdiri sejak 2015 itu juga mengampanyekan dua upaya gerakan lain, yakni menanam tanaman pangan di rumah dan belajar dari rumah bagi pelajar. Keduanya dilakukan sebagai upaya menghadapi pandemi.

Usaha serupa dilakukan oleh Radio Komunitas Marsinah FM yang bermarkas di Jakarta Utara. Media komunitas yang fokus pada persoalan-persoalan buruh–terutama buruh perempuan–tersebut juga bergerak ketika wabah mulai terjadi. Dengan merangkul buruh-buruh yang di-PHK dengan alasan wabah, Marsinah FM memproduksi masker dan hand sanitizer secara mandiri. Belakangan mereka menggalang sembako untuk dibagikan kepada buruh/warga yang membutuhkan.

Kedua contoh di atas membuktikan bahwa media warga tidak hanya berfungsi sebagai wadah informasi, tetapi juga dapat menjadi penggerak perubahan. 

Media warga memiliki catatan panjang dalam sejarah. Kontribusinya tak sebatas ketika terjadi wabah atau bencana, tetapi juga menjadi sarana edukasi dan, yang tak kalah penting, menjadi ruang demokratis bagi warga di akar rumput. Sayangnya, meski praktik media komunitas sudah ada di Indonesia sejak puluhan tahun yang lalu, mereka masih menghadapi tantangan yang cukup pelik. Ferdhi F. Putra, Manajer Unit Pengelolaan Informasi Komunitas CRI mengatakan bahwa media warga di Indonesia menghadapi tiga tantangan, “Yakni, regulasi, rekognisi dan apresiasi.”  Hal itu disampaikan dalam diskusi virtual bertajuk “Media Tak Mati karena Pandemi: Apa yang Media Warga Lakukan di Tengah Wabah”, pada 20 Juni 2020.

Ketiga hal itulah yang membuat kiprah media warga jarang terdengar. Ferdhi menjelaskan bahwa ketiadaan payung hukum, minimnya rekognisi dan apresiasi dari para pihak membuat media warga selalu terpinggirkan dalam diskursus media di Indonesia. “Media komunitas jarang diapresiasi padahal kontribusi mereka terhadap warga cukup besar,” jelas Ferdhi.

Minimnya apresiasi terhadap media inilah yang membuat Anton Muhajir, Luh De Suriyani dan kawan-kawannya di BaleBengong, sebuah media jurnalisme warga yang berbasis di Denpasar, Bali, menyelenggarakan Anugerah Jurnalisme Warga (AJW). BaleBengong telah menggelar AJW sejak 2016. Pada gelaran keempat tahun ini, mereka mengangkat tema “Urun Daya Warga Menghadapi Corona”, yakni tentang bagaimana warga berurundaya menghadapi pandemi. Menurut Luh De, terdapat lebih 90 karya yang telah dikirimkan baik berupa artikel, video, maupun ilustrasi. Tingginya partisipasi mengindikasikan keberadaan media warga dan pewarta warga kian signifikan di tengah dominasi media arus utama.

Luh De memiliki kegelisahan yang sama dengan Ferdhi. Menurutnya, meski masuk dalam indikator indeks kebebasan pers yang disurvei setiap tahun, secara legal dan politis media warga atau media alternatif belum mendapatkan pengakuan. “Tidak adanya pengakuan legal bisa memicu ancaman kriminalisasi bagi pegiat media warga terutama melalui Undang-Undang UU ITE. Melihat hal ini, kami memerlukan mekanisme perlindungan bagi media warga yang jelas seperti apa,” katanya.

Ancaman kriminalisasi terhadap jurnalis warga juga ditegaskan oleh Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto. Menurutnya, terdapat berbagai jenis serangan siber: disinformasi, doxxing, akun peniru, malware, hacking (peretasan), ddos attack (serangan terhadap server), cyber amok (amukan siber) dan spam calls (telepon spam). Serangan ini kerap menimpa sejumlah kelompok berisiko. “Jurnalis, aktivis, dan orang-orang yang bergerak di bidang akademis menjadi tiga kelompok paling rentan,” kata Damar. Karena aktivitasnya di ranah maya, tidak sedikit yang kemudian dipidanakan dengan tuduhan pencemaran nama baik atau ujaran kebencian.

Padahal menurutnya, setiap warga negara memiliki hak digital; bagian dari hak asasi manusia yang menjamin setiap warga negara untuk mengakses, menggunakan, membuat, dan menyebarluaskan konten melalui media digital. “Jadi sebagai warga negara, kita memiliki hak untuk mengakses, hak untuk berekspresi, hak untuk merasa aman,” lanjut Damar.

Jurnalisme sebagai Hak Warga

Perlindungan bagi media warga semakin urgen karena wargalah yang sebenarnya berkontribusi aktif dalam mendorong isu-isu lokal. Peneliti Remotivi, Roy Thaniago, melihat bahwa unsur-unsur lokalitas dari suatu informasi tidak dapat diakomodasi oleh media arus utama yang terpusat di kota besar seperti Jakarta.

Media arus utama yang terpusat di kota-kota besar memang memiliki kontributor daerah. Namun, seringnya kontributor daerah lebih dimanfaatkan untuk memenuhi hasrat informasi orang-orang di Jakarta ketimbang kebutuhan informasi warga di daerahnya. “Berita yang dicari adalah apa yang menarik tentang daerah di luar Jakarta. Misalnya saja berita tentang ibu yang membesarkan buaya seperti anak di Kalimantan dan berita-berita ‘aneh’ lainnya,” katanya. Para kontributor daerah kerap tak punya pilihan sebab mereka hanya mendapatkan upah dari berita yang ditayangkan, sehingga mau tak mau mereka mengikuti selera Jakarta.

Sementara itu, keberadaan media lokal juga tidak cukup mengakomodasi kebutuhan informasi warga. Secara ekonomi, media lokal tidak lebih sehat daripada media arus utama di Jakarta. Banyak pengiklan lebih memilih memasang iklan di media arus utama Jakarta karena jaringannya lebih luas dan efektif. “Untuk menyiasati minimnya iklan, media lokal mendapatkan dana dari pemerintah. Hal ini tentu akan memengaruhi independensi sebuah media,” katanya.

Selain itu, tidak sedikit media lokal yang sebenarnya menjadi bagian dari jaringan media besar di Jakarta. Roy mencontohkan jaringan Tribun yang ada di berbagai daerah di Indonesia. “Media-media ini hidup dalam jaringan media besar di Jakarta dan bisa dibilang tidak sepenuhnya melayani publiknya yang lokal,” kata Roy.

Keberadaan media-media lokal tersebut juga menyebabkan tumbuhnya penyeragaman konten. “Alih alih melayani audiensnya yang lokal, mereka mencoba melayani audiens dengan jangkauan yang lebih luas untuk mendapatkan adsense yang lebih banyak,” katanya.

Ia juga menambahkan bahwa kegagalan media arus utama dalam mengakomodasi isu-isu lokal juga dikarenakan oleh fokusnya yang terlalu berorientasi pada persoalan urban dan [praktiknya] yang propasar. Media arus utama lebih banyak membahas isu-isu pusat baik secara sosial, ekonomi maupun politik.

Menurut Roy, kecenderungan media arus utama yang demikian dipengaruhi oleh paradigma jurnalisme sebagai profesi yang hanya bisa dilakukan oleh warga-warga terdidik (profesional). Dari situ jurnalisme menjadi privilese. “Jurnalisme malah terkesan eksklusif. Jurnalisme dilihat sebagai privilese–sesuatu yang hanya boleh dilakukan oleh beberapa orang tertentu [entah melalui pendidikan formal maupun kursus]. Akhirnya, jurnalisme justru gagal jadi alat pembebasan karena hanya menjadi properti kekuasaan,” kata Roy.

Oleh karena itu, media warga dapat menjadi antitesis dari praktik jurnalistik yang dilakukan oleh media arus utama. Praktik-praktik jurnalisme warga telah jamak dilakukan dan terbukti memiliki dampak positif dalam mengarusutamakan isu-isu lokal. Roy mencontohkan dua isu penting yang menjadi perbincangan publik berkat media nonarus utama, yakni tentang kekerasan seksual yang terjadi di kampus dan diskriminasi terhadap mahasiswa Papua. Keduanya direkam oleh pers mahasiswa. “Tanpa adanya pers mahasiswa, cerita-cerita tersebut tidak akan terangkat,” katanya.

Roy mengatakan bahwa jurnalisme sesungguhnya merupakan praktik kewargaaan itu sendiri. Kegiatan jurnalistik yang dilakukan warga telah memperlihatkan agensi individu dalam komitmennya dalam kehidupan publik. Jurnalistik semestinya tidak hanya dilakukan oleh segelintir orang tetapi lahan keilmuan bagi semua pihak. “Maka, jurnalisme seharusnya dikembalikan sebagai hak warga,” kata Roy. Dengan demikian mengubah paradigma dari journalism for citizenship menjadi journalism as citizenship.

Zaman bergerak, teknologi berkembang dan kehidupan sosial masyarakat berubah. Sejak dekade terakhir, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi begitu masif–bahkan tak jarang menjadi penentu perubahan itu sendiri. Teknologi komunikasi yang semakin terjangkau kemudian melahirkan praktik jurnalisme warga. Namun, pergeseran tersebut tak dibarengi dengan penyesuaian regulasi. Walhasil, ia menjadi problem laten sebagaimana dibahas di atas.

Langkah revisi UU Pers menjadi penting agar dapat mengakomodasi keberadaan media warga. Hal ini disampaikan oleh anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo. Ia menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kelembagaan pers alternatif baik media komunitas maupun pers mahasiswa tidak terakomodasi dalam UU Pers 40/1999. “Saya tidak tahu persis kenapa dalam Undang-Undang Pers yang disahkan tahun ‘99 tidak mengakomodasi pers alternatif [pers mahasiswa, pers warga]… padahal di undang-undang sebelumnya yang otoriter justru ada, pers dan pers komunitas itu diakomodasi. Nah, di Undang-Undang Pers tahun ‘99 justru terlewatkan,” kata Agus.

Agus menambahkan bahwa sejak 2010, Dewan Pers dan konstituen pers nasional–AJI, IJTI, PWI–sudah menyadari bahwa UU Pers Tahun 1999 mesti diamandemen yang salah satu tujuannya adalah mengakomodasi pers alternatif seperti pers kampus dan pers warga. “Solusinya adalah dengan melakukan amandemen UU Pers. Tetapi situasi politik legislasi di Indonesia tidak terlalu memungkinkan untuk melakukannya sekarang,” katanya.

Agus melihat bahwa proses amandemen bisa saja dilakukan tetapi ia berharap bahwa hasilnya lebih baik dari UU Pers sebelumnya. Ia khawatir jika amandemen dilakukan oleh DPR saat ini, justru UU Pers akan semakin tidak demokratis. “Yang kami takutkan adalah UU Pers justru semakin turun level,” katanya.

Selain itu, menurut Agus, pada 2013 Dewan Pers pernah merencanakan untuk menyusun kode etik jurnalistik yang diperuntukan bagi para blogger. Namun ia mengatakan bahwa saat itu komunitas blogger menolak rencana tersebut karena khawatir akan mengekang kebebasan berpendapat.

Mencari Alternatif 

Melihat berbagai problem yang dihadapi media warga, amandemen UU Pers menjadi sesuatu yang memang perlu dilakukan. Kita juga boleh jadi bersepakat bahwa merevisi UU Pers sekarang dapat menjadi aksi kontraproduktif mengingat proses legislasi kita kerap bermasalah. Hal ini justru akan berseberangan dengan tujuan mendeliberasi media dan pers. Pertanyaannya kemudian, di tengah kebuntuan tersebut, apa yang perlu media warga lakukan? Apa yang bisa Dewan Pers lakukan?

Menyusun mekanisme atau model perlindungan hukum sesuai dengan karakter media warga menjadi prioritas. Media warga dan media komersial memiliki perbedaan signifikan secara bentuk organisasi, sehingga aturan badan hukum perusahaan sebagaimana diatur dalam UU Pers perlu diubah agar dapat mengakomodasi media nonperusahaan.

Memang Dewan Pers telah mengeluarkan Surat Edaran Dewan Pers No. 01/SE-DP/I/2014 tentang Pelaksanaan UU Pers dan Standar Perusahaan Pers, yang membolehkan perusahaan pers berbadan hukum selain perseroan terbatas, seperti yayasan dan koperasi. Namun surat edaran tersebut masih berbicara dalam konteks perusahaan dan bukan dalam rangka mengakomodasi kebutuhan media warga. Maka, jika amandemen UU Pers adalah hal yang mustahil dilakukan, Dewan Pers bisa saja menerbitkan surat keputusan atau surat sejenis yang memiliki pijakan hukum sebagai langkah untuk melindungi media warga.

Mengenai kode etik, kita bisa bersepakat bahwa ia bersifat universal, sehingga tak ada persoalan besar jika media warga mengikuti aturan kode etik yang sudah ada. Riset CRI pada 2019 juga menunjukkan bahwa media warga (studi kasus BaleBengong, Denpasar, dan Warta Dewa, Pekalongan) sudah menerapkan kode etik dengan cukup baik. Itu menjadi bukti bahwa media warga juga taat kode etik jurnalistik.

Pernyataan Agus tentang rencana penyusunan kode etik bagi blogger pun bisa diproblematisasi, sebab blogger dan jurnalis warga yang bernaung dalam media warga adalah dua entitas berbeda. Jika blogger menolak karena khawatir menjadi pengekang kebebasan berekspresi, maka jurnalis atau media warga yang menggunakan pendekatan jurnalistik dalam kerja-kerjanya sudah semestinya mematuhi kode etik.

Lantas apa yang perlu media warga lakukan? Media warga perlu membangun dan memperkuat jejaring di antara mereka sendiri. Jejaring ini ini dapat menjadi wahana bagi media warga untuk bertukar informasi, pengetahuan, dan saling memperkuat satu sama lain. Melalui pengalaman-pengalaman yang telah dilakukan selama ini, media warga juga dapat menyusun strategi untuk melindungi diri dari ancaman kriminalisasi.[]


Editor: Ferdhi F. Putra

Foto: Tim BaleBengong tengah melakukan liputan mengenai dampak COVID-19 terhadap petani di Tabanan, Bali (Foto oleh BaleBengong).

Exit mobile version