Site icon Combine Resource Institution

Wajah Perlu Dihadirkan Kembali dalam Komunikasi Daring*

Di balik akun-akun media sosial yang dirisak itu, ada manusia yang sama seperti kita. Namun, gelombang kebencian di internet seakan tidak memedulikan itu.

Media sosial sempat geger karena satu unggahan dari akun bernama Khaerani. Unggahan tersebut sebenarnya sama sekali tidak menyinggung: hanya tentang kreasi menu untuk bekal suaminya. Namun, cuitan tersebut mendapatkan komentar negatif berbagai pihak. Pada kesempatan lain, akun bernama Vivi mengunggah foto kegiatan belajar adik-adiknya di rumah. Unggahan tersebut juga mendatangkan serangan dari mana-mana.

Di media sosial, peristiwa semacam terus-menerus terjadi. Orang-orang bersikap pahit terhadap unggahan orang lain, bahkan merasa perlu marah dan menyerangnya. Di internet, tiap orang tak melihat wajah orang lain. Hilangnya wajah menyebabkan komunikasi yang etis tak terjadi dan berujung pada maraknya perundungan siber.

Hilangnya Pertemuan Antarwajah, Hilangnya Komunikasi Etis

“Yang-etis,” menurut Emmanuel Levinas, bermula dari pertemuan antarwajah (Tjaya, 2012: 85-86). Dalam perjumpaan dengan yang lain, kita bertemu dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Pertemuan seperti itu mengganggu kesadaran kita dengan membuat kita menyadari bahwa kita tidak sendiri, bahwa kita berbagi dunia dengan orang lain, dan bahwa kebebasan kita terbatas (Levinas dalam Miller, 2016: 54).

Saat kita berkomunikasi secara elektronik, kita hanya berhadapan dengan layar komputer atau gawai. Kita tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan ekspresi wajah, gerak tubuh, dan nada suara untuk menyampaikan sesuatu. Konsekuensinya, kita cenderung melupakan bahwa orang di balik layar komputer/gawai kita juga orang yang memiliki perasaan sama seperti kita. Dan setiap orang pada suatu titik akan menunjukkan sisi monsternya di ruang digital. 

Dalam penelitian Adam G. Zimmerman Gabriel dan J. Ybarra (2016), anonimitas menjadi salah satu faktor utama yang mendorong agresi daring. Zimmerman dan Ybarra juga memasukkan faktor lain yakni pemodelan sosial atau peniruan terhadap perilaku orang lain. Terbukti, agresi daring lebih banyak dilakukan oleh akun anonim dan akan semakin meningkat kala perilaku yang menjadi model di ruang internet tertentu juga bersifat agresif alih-alih netral.

Sejalan dengan ini, Cristian Danescu-Niculescu-Mizil dari Cornell University menemukan bahwa tiap orang berpotensi menjadi troll atau melakukan trolling. Dalam penelitiannya, ia bahkan mendapati bahwa beberapa troll yang ditemuinya adalah orang-orang biasa yang tidak memiliki kecenderungan sebagai sociopath. 

Penelitian tersebut menganalisis enam belas juta komentar dari 667 partisipan di CNN.com dengan menggunakan eksperimen terkontrol daring. Mereka menggunakan pembelajaran mesin (machine learning) untuk menganalisis potensi pengguna internet melakukan troll. Hasilnya, sebanyak 80% pengguna internet berpotensi menjadi troll dan hal ini disebabkan oleh dua faktor: suasana hati (mood) dan konteks diskusi. Pengguna internet yang suasana hatinya buruk berpotensi melakukan troll. Demikian juga bila komentar pertama mengarah pada trolling. Komentar tersebut dapat memicu pengguna lain melakukan hal yang sama.

Menghadirkan Kembali Wajah yang Lain

Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk menciptakan ruang-ruang aman bagi semuanya di internet? Pertama, membangun ekosistem digital yang sehat dengan memaksimalkan penggunaan teknologi robot berbasis pembelajaran mesin. Robot ini diberdayakan untuk menyortir dan menyembunyikan komentar-komentar buruk sehingga tidak dapat dilihat oleh pengguna internet lain. Tugas ini merupakan tanggung jawab semua platform media sosial agar komentar negatif hingga perundungan siber teratasi.

Robot berbasis kecerdasan buatan, selanjutnya, bisa digunakan tak sekadar untuk menyortir dan mengidentifikasi troll tetapi juga melawan trolling itu sendiri. Sebuah eksperimen menunjukkan bahwa penghinaan rasis kepada pengguna internet berkulit hitam dapat dikurangi dengan menggunakan akun bot yang mengidentifikasi diri sebagai orang kulit putih. Bot ini menanggapi setiap cuit rasis dengan membalas, “Hai Bung, ingatlah bahwa ada orang sungguhan yang terluka saat Anda melecehkan mereka dengan bahasa seperti itu.” Strategi ini rupanya berdampak cukup positif karena terbukti dapat mengurangi cuit rasis hingga 27%.

Meski cukup efektif, praktik ini juga memiliki kekurangan karena ia tetap mengadopsi prasangka terhadap suatu kelompok. Eksperimen ini menunjukkan bahwa pengguna internet lebih memercayai apa yang dikatakan oleh orang berkulit putih. Dalam pengembangannya, penggunaan bot perlu lebih menjunjung asas inklusivitas.

Kedua adalah intervensi sosial. Menanggapi komentar negatif tentu bukan hanya tanggung jawab bot. Kita juga bisa turut menegur dan memberikan edukasi kepada pengguna internet lainnya tentang komentar buruknya dan bagaimana itu berpotensi menyakiti orang lain. Tidak hanya itu, kita juga bisa memintanya menghapus komentar tersebut sehingga meminimalisir komentar buruk lain. Catatannya, intervensi sosial ini tidak boleh memicu online bullying kepada pengguna yang melakukan troll. 

Di masa depan, komunikasi daring akan kian sulit terhindarkan. Kita butuh kolaborasi berbagai pihak untuk membentuk ekosistem ruang digital yang sehat. Oleh karenanya, penting untuk mengembalikan “wajah” kita sendiri dalam komunikasi daring serta mempertimbangkan “wajah orang lain” setiap kali berinteraksi dengan pengguna internet lain. Tekankan pada diri sendiri bahwa di balik komputer atau ponsel, ada orang yang sama seperti kita.


Daftar Pustaka


*) Artikel ini sebelumnya dimuat di remotivi.or.id, dengan lisensi CC BY-NC 4.0 

Ilustrasi oleh Nidiansrafi . Sebelumnya dimuat oleh remotivi.or.id, dengan lisensi CC BY-NC 4.0.

Exit mobile version