Site icon Combine Resource Institution

Kelola Sampah Rumah Tangga Bisa Jadi Alternatif Kendalikan Timbunan Sampah

Di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST), tidak semua sampah dapat didaur ulang. Sebab, tidak banyak pabrik atau perusahaan yang mau menerima sampah yang mereka produksi untuk diolah kembali menjadi produk baru. Hal itu dipaparkan oleh Nur Thamrin, pekerja sampah asal Sorogenen, Sewon, Bantul dalam diskusi ‘Sampahmu Rejekiku (?)’ yang merupakan gelaran perdana dari diskusi "Suka Duka di Tanah Jogja" pada Jumat, 3 Mei 2019. 

“Banyak plastik yang berakhir jadi sampah saja karena bijih plastiknya sudah tidak dapat didaur ulang,” jelas pria yang akrab disapa Kang Thamrin di Limasan Griya Jagadhaya, Sewon, Bantul.

Hal tersebut terjadi karena sejak awal, pabrik yang memproduksi plastik tidak terlalu peduli apakah produknya dapat didaur ulang kembali atau tidak. Selain plastik, sampah elektronik juga merupakan persoalan yang mendesak untuk diatasi. Cahyo Ramadhani, salah satu peserta diskusi menceritakan kegelisahannya dalam mengelola sampah elektronik. “Selama ini saya masih kebingungan dalam mengelola sampah-sampah elektronik. Misalnya saja baterai bekas,” jelas Cahyo. Menanggapi hal tersebut, Kang Thamrin menyarankan untuk mengelola sampah yang dapat didaur ulang untuk dijual ke penadah. 

Sehari-hari, Kang Thamrin memang bekerja dengan mencari nafkah lewat TPS. Ia dan kawan-kawannya mengelola dan mengolah sampah yang masih berharga untuk dijual kembali. “Misalnya sampah plastik atau besi yang masih dapat didaur ulang, akan saya jual kembali ke pabrik,” jelasnya

Persoalan sampah memang menjadi masalah yang cukup pelik. Apalagi, sehari-hari, manusia manusia tak pernah luput dari menghasilkan sampah, baik berasal dari rumah tangga maupun industri. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DI Yogyakarta, setidaknya terdapat 2.320 ton sampah yang menumpuk di sejumlah TPS sementara pada 24 hingga 27 Maret 2019. Hal tersebut terjadi karena sampah tidak dapat diangkut ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta karena telah melebih kapasitas.

Akibat meningkatnya jumlah sampah yang tak terkendali, Warga Dusun Ngablak, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Bantul menutup akses menuju TPST Piyungan, Bantul pada Maret lalu. Polusi udara dan lingkungan akibat tumpukan sampah membuat kenyamanan dan kesehatan warga terganggu.

Menanggapi masalah tersebut, Kang Thamrin menjelaskan bahwa pengelolaan sampah sebetulnya dapat dimulai dari rumah tangga masing-masing. Meski menjadikan TPS sebagai ladang mata pencahariannya, Kang Thamrin mengaku tidak pernah membuang sampah di TPS. "Kalau di desa ada yang namanya joglangan, yakni tanah yang dikeruk untuk menampung sampah. Saya mengelola sampah rumah tangga dengan joglangan tersebut," jelasnya. Melalui cara tersebut, Kang Thamrin mengelola semua sampah yang dihasilkannya sendiri tanpa membuangnya ke TPS.

Persoalannya, tidak semua orang memiliki lahan sisa di rumahnya. Merry Prestiningsih, salah satu peserta menjelaskan kondisinya yang tinggal di perumahan. “Kalau di perumahan kan memang minim lahan, jadi tidak bisa membuat joglangan,” katanya.

Ketiadaan lahan dapat disiasati dengan manajemen pengelolaan sampah. Meski tidak mengurus sampahnya sendiri, setidaknya tiap-tiap keluarga mengelola sampah rumah tangga dengan bijak sehingga mengurangi penumpukan sampah di TPS maupun TPST. “Jadi pengelolaan sampah dapat dilakukan dengan pemilahan. Sampah organik dikumpulkan jadi satu. Sementara itu sampah yang dapat didaur ulang dikelompokkan sendiri dan lain sebagainya,” jelas Kang Thamrin

Salah satu peserta lainnya mengkhawatirkan sumbangan sampah dari indekos yang jumlahnya cukup banyak. “Saya berharap anak-anak kos dan pemilik indekos menangani sampah dengan memilahnya atau membuat aturan tersendiri terkait dengan pengelolaan sampah,” jelasnya.

Exit mobile version