BERITA

Warga Harus Mandiri Menghadapi Ancaman Bencana

Dibaca 3 Menit

Warga yang mukim di wilayah rawan bencana alam harus bisa mandiri mengahadapi ancanaman. Tidak perlu menunggu keputusan pemerintah untuk mengungsi atau melakukan penyelamatan dini terhadap keluarga masing-masing. Apalagi kalau warga tersebut sudah pernah mengalami ancaman serupa seperti orang-orang yang tinggal di dekat Gunung Merapi.

Demikian diungkapkan Koordinator Program Pusat Pembelajaran Pengurangan Risiko Bencana (DRLC) Japan International Corporation Agency (JICA Hyogo) Tomoyo Kawaike pada pelatihan Bokomi tingkat desa dalam program “Desa Tangguh Merapi” di Balai Desa Dukun, Dukun, Magelang, Rabu (6/2).

“Yang benar-benar dipikirkan oleh warga adalah bagaimana caranya orang yang tidak punya kesadaran sama sekali terhadap ancaman bencana mampu menyiapkan keadaan darurat tersebut,” ujar Tomoyo pada acara yang dihadiri oleh perangkat desa, guru-guru sekolah, pegiat organisasi pengurangan risiko bencana (OPRB), militer, dan kepolisian setempat tersebut.

Tomoyo menambahkan, saat terjadi bencana alam sangat ditekankan untuk tidak memikirkan bantuan-bantuan dari orang atau pihak lain. Tapi bagaimana warga bisa menanggulanginya sendiri.

“Ketika tsunami menghempaskan prefektur Miyagi beberapa tahun lalu, tidak ada bantuan seperti yang lazimnya terjadi di Indonesia. Semua orang berdaya sendiri. Bahkan sampai sekarang masih banyak warga yang tetap tinggal di rumah-rumahnya yang telah rusak,” katanya.

Pada sisi lain, untuk membangun kesadaran bersama menghadapi ancaman bencana, dibutuhkan pendidikan berkelanjutan yang menyentuh masyarakat dari pelbagai unsur dan usia. Tidak cukup hanya dengan melaksanakan simulasi menghadapi bencana sekali dua dalam setahun. Itulah sebabnya, kurangnya penyadaran upaya preventif terhadap ancaman bencana mengakibatkan seringnya timbul korban jiwa atau penanganan bencana yang masih terkesan tergopoh-gopoh.

Kondisi seperti inilah, kata Tomoyo, yang menuntut warga harus punya kemandirian menghadapi ancamana bencana alam. Dia mencontohkan inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah kota Kobe, Jepang, segera setelah kota yang terletak di Pulau Honshu itu digoyang gempa hebat berskala 7,3 Skala Ritcher pada 1995 silam. Usai menelan 6.434 orang tewas akibat kebakaran yang dipicu gempa, Biro Pemadam Kebakaran Kota Kobe merangsang tumbuhnya BOKOMI (Boshai Community), kelompok-kelompok masyarakat tanggap bencana di tingkat akar rumput.

Setiap kecamatan digelontor ¥ 140.000 guna menyubsidi kegiatan BOKOMI seperti pelatihan, peralatan, pertemuan, dan lain-lain. Masing-masing kecamatan juga berkesempatan mendapat ¥ 200.000 lewat jalur proposal. Kendati demikian, kata Tomoyo, tidak mudah mengajak warga belajar tentang kesiapsiagaan bencana.

“Oleh karena itu kami juga mengemasnya dengan perlombaan di sekolah-sekolah. Tiap permainan lomba memuat cara-cara penanganan bencana seperti estafet mengangkut air, pasir, dan lain-lain,” kata Tomoyo. “Intinya bagaimana supaya pembelajaran itu menyenangkan dan melibatkan semua keluarga.”

Pada sesi pemaparan kondisi desa, salah satu perangkat Desa Dukun Bejo SP mengatakan, perhatian pemerintah sementara ini baru terletak pada penanganan bencana lahar hujan. Penanaman kesadaran bencananya belum maksimal. “Ibarat anak sekolah yang setiap ujiannya tidak pernah lulus. Kami belum mendapatkan cara bagaimana misalnya setelah erupsi itu, warga bisa tentram kembali. Bekerja seperti sedia kala,” katanya.

Sesungguhnya di Desa Dukun sendiri sudah ada semacam BOKOMI dengan nama Organisasi Pengurangan Risiko Bencana (OPRB) tingkat desa yang dikoordinatori langsung oleh kepala desa. Menurut Sekretaris Desa Dukun Agus Winarno (46), OPRB di desanya terdiri dari semua perangkat desa, pemuda karang taruna, dan relawan lokal.

“Simulasi menghadapi bencana juga sudah sering dilakukan. Relawan-relawan dari luar wilayah juga banyak yang terlibat. Terakhir dua bulan yang lalu kerjasama BNPB, Rekompak, dan desa,” katanya.

Sementara itu, anggota OPRB Dukun Tanto H. Bumi (38) menanggapi pelatihan BOKOMI ini menjadi penyegaran bagi desanya. Berulangkali desanya sudah melakukan pelatihan sejenis. Mereka juga mengakui sudah punya prosedur tetap (protap) penanggulangan bencana alam.

“Dari pascaerupsi Merapi 2006 kita sudah sering (mengadakan pelatihan). Cuma pemahaman sampai ke masyarakat terbawah itu kan belum. Yang dilibatkan hanya relawan. Orang-orang pilihan lah kasarnya,” ujar Tanto. Dia berharap pelatihan BOKOMI ini bisa menjadi perangsang untuk menggejolakkan kesdaran warga akan ancaman bencana alam.

Dia menambahkan, dalam penanganan bencana alam seperti erupsi Merapi, yang belum tersentuh adalah bagaimana membangun ketahanan ekonomi dalam kondisi darurat. Warga, kata Tanto, belum punya sumber ekonomi cadangan ketika tiba-tiba terjadi bencana alam. Praktis mereka kelimpungan harus bertahan hidup dalam kondisi serba terbatas itu.

“Nek wis do makmur wong ki mbok kon ngungsi kepenak (kalau sudah makmur orang disuruh mengungsi pun gampang),” ujar Tanto.

Khairul Anam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *