BERITA

Desa “Tangguh” Merapi Dimulai

Dibaca 3 Menit

Program Tanggap dan Siaga untuk Harmoni (Tangguh) di seputaran desa-desa Merapi tentang Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang akan berlangsung sejak November 2012-Maret 2016 dimulai.

Rangkaian pengetahuan lokal dan pengalaman warga sekitaran Gunung Merapi terhadap ancaman bencananya telah menangkap gairah Radio FMYY Kobe, Jepang, untuk belajar bersama terkait bagaimana warga menghadapi ancaman bencana alam.

komunitas Jalin Merapi, perangkat desa, dan tim siaga desa, kumpul bersama dengan pegiat Radio FMYY di Yogyakarta pada Selasa (27/11/2012) untuk merincikan rencana program mereka selama 3 tahun ke depan itu.

Sebanyak 7 desa dari 4 kabupaten dari Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah di seputar Gunung Merapi melibatkan diri pada program itu. Mereka beriringan dengan 5 radio komunitas Jalin Merapi, yakni Desa Sidorejo dan Talun bersama Lintas Merapi FM (Klaten); Desa Glagaharjodan Kepuharjo bersama Gema Merapi FM (Sleman); Desa Jumoyobersama Lahara FM (Magelang), Desa Dukun bersama K FM (Magelang); dan Desa Samiran bersama MMC FM (Boyolali).

Radio FMYY yang telah bergerak dalam upaya pengurangan risiko bencana (PRB) selama 17 tahun pascagempa bumi Kobe Januari 1995 akan menjadi ujung tombak program saling berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk kesiapsiagaan warga menghadapi ancaman Gunung Merapi itu.

“Kita semua ingin berbagi dengan masyarakat di berbagai daerah agar lebih siap menghadapi bencana,” kata pegiat Radio FMYY Junichi Hibino.

Setelah mengunjungi beberapa radio komunitas di Jawa Tengah dan Yogyakarta seperti Radio Komunitas Angkringan dan Radio Komunitas Lintas Merapi pada 2007 lalu, serta masyarakat desa setempat, dia mendapat penjelasan jika radio komunitas di sana dipakai untuk saluran informasi warga menghadapi bencana alam.

Dia juga mengatakan, Indonesia dan Jepang mempunyai banyak kesamaan. Selain banyaknya radio komunitas, Indonesia-Jepang sama-sama berada pada wilayah rawan bencana alam.

Persamaan tersebut, lanjutnya, bisa menjadi titik awal untuk saling belajar ilmu dan pengalaman masing-masing tentang pengurangan risiko bencana.

PRB Berbasis Masyarakat

Temuan Junichi itu menguatkan pendapat jika alat paling ampuh dalam manajemen bencana di masyarakat adalah pemberdayaan dan keberlanjutan masyarakat itu sendiri.

Dalam setiap PRB, kata Junichi, membangun komunitas dan pemberdayaan adalah hal terpenting. Mungkin hanya lewat radio komunitas itulah, perihal berbagi informasi, komunikasi dan diskusi untuk pengambilan keputusan bisa berjalan tanpa memandang jenis kelamin, agama, usia, suku, pekerjaan, dan latar belakang lainnya.

“Inilah mengapa radio komunitas dapat memainkan peran utama,” tegas Junichi.

Dia menjelaskan, pada saat bencana terjadi, radio komunitas bisa menjadi sumber informasi dan berita bagaimana menyalurkan bantuan logistik, pencarian orang hilang, hingga penyembuhan trauma. Selain itu, yang lebih penting baginya, radio komunitas mampu membangun interaksi yang lebih hidup antara korban dengan orang-orang yang hendak menyorongkan bantuan, karena si korban dapat memiliki kesempatan untuk menyampaikan apa yang mereka rasakan dan pikirkan.

Peranan radio komunitas, tambah Junichi, tak berhenti saat bencana saja. Justru peranannya terus berlangsung sampai bertahun-tahun usai bencana secara terus-menerus.

“Di Kobe, Jepang, acara memperingati Gempa Bumi Kobe diadakan setiap tahunnya (oleh radio komunitas) untuk menyampaikan pengalaman dan pengetahuan ke generasi berikutnya,” kata Junichi.

Sedangkan terkait kendala pendanaan yang menjadi masalah klasik bagi radio komunitas, radio komunitas di Jepang seperti FMYY juga bernasib sama. Bertahun-tahun lalu, kata Junichi, mereka juga mengalami kesulitan dana.

Tapi mereka terus berkegiatan secara on air dan off air dengan dana seadanya. Lambat laun warga sekitar merasakan manfaat besar FMYY dan merekalah yang menyokong operasional radio sebelum mendapat bantuan dari banyak pihak.

“Sampai sekarang terdapat kurang lebih 150 relawan yang bahu-membahu menghidupkan FMYY,” kata Junichi.

Proses pelibatan warga dalam radio komunitas itu juga diamini oleh pegiat Radio Komunitas Lintas Merapi FMSukiman M. Pratomo (42). Selama hampir 12 tahun beroperasi, Lintas Merapi FM praktis mengandalkan modal mandiri dari komunitasnya.

Pada kesempatan itu, Sukiman buru-buru menampik “anggapan” kalau Lintas Merapi FM hanya mampu hidup gara-gara bantuan.

“Bantuan dari lembaga dan pihak lain hanya kami pakai untuk membeli alat-alat siaran baru sebagai cadangan,” kata Sukiman.

Gara-gara banyak melibatkan warganya itu pula, tak jarang mereka berebut untuk sekadar ikut menjadi penyiar di studio Lintas Merapi FM. Dan beberapa waktu lalu, aku Sukiman, warga patungan untuk memperbaiki alat siaran Lintas Merapi FM yang sempat rusak.

Bokomi ala Merapi

Sementara itu, Mart Widarto selaku Koordinator Program Tim Informasi dan Komunikasi untuk Situasi Darurat (Tikus Darat) COMBINE Resource Institution selaku rekanan Radio FMYY menyampaikan tujuan dari program Desa Tangguh Merapi untuk mewujudkan Bokomi ala Merapi yang berjejalin dengan Sistem Informasi Desa (SID).

Boshai Community (Bokomi) lahir usai Gempa Kobe 1995, ketika masyarakatnya membangun kelompok-kelompok masyarakat tanggap bencana yang dibina oleh Biro Pemadam Kebakaran Kota Kobe.

Upaya itu merupakan respons dari akibat gempa Kobe. Usia gempa terjadi kebakaran dahsyat di mana pemadam kebakaran hanya mampu menyelematkan 1,7% penduduk, sedangkan sisanya justru ditolong oleh keluarga, tetangga, dan anggota komunitas lainnya.

“Sekarang kita telah punya tim siaga desa (TSD). Ini tinggal memadukan antara yang sudah ada dengan pengatahuan dan pengalaman baru yang bakal kita himpun selama 3 tahun ke depan,” kata Mart.

Bokomi ala Indonesia itu (TSD) nantinya akan berpadu dengan SID untuk Kebencanaan (SID-K) yang juga akan menyertai 7 desa di seputaran Gunung Merapi. Sehingga keduanya diharapkan akan bisa mesra mempersiapkan warga menghadapi ancaman Gunung Merapi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *