BERITA

UU Intelijen Negara, Ancaman bagi Kebebasan Informasi

Dibaca 3 Menit

Senin, 28 November 2011, bertempat di Gedung Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, COMBINE Resource Institution menghadiri “Diskusi Publik Evaluasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara.” Diskusi yang digelar oleh AJI Yogyakarta ini menghadirkan narasumber, yaitu Agus Sudibyo (Dewan Pers), Angger Jati Wijaya (PBHI), dan Najib Azca (Dosen Sosiologi UGM).

Diskusi ini ingin mencermati kembali UU Intelijen Negara (istilah lain dari UU Rahasia Negara) yang telah disahkan oleh Badan Legislasi DPR RI dan Pemerintah . Namun oleh berbagai kalangan, terutama dari kalangan pers yang diwakili oleh Aliansi Jurnalis Independen, UU ini berpotensi memenjarakan jurnalis. Karena UU tersebut, membatasi kerja jurnalis dalam membeberkan fakta dan informasi bagi publik. UU Inteljen Negara ini hukumannya spektakuler, jurnalis bisa dipenjara 5-20 tahun karena dianggap membocorkan rahasia negara. Indonesian Corruption Watch yang pernah menggelar diskusi mengenai UU Intelijen mengungkapkan bahwa sejumlah pasalnyakontraproduktif dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini disebabkan laporan pembelanjaan dan alokasi anggaran bisa dikategorikan dalam informasi yang dirahasiakan.

Agus Sudibyo dari Dewan Pers berpendapat bahwa UU ini sangat menghambat kebebasan untuk mengakses dan distribusi informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik. Ia memberikan contoh pada pasal 25 mengenai Kerahasiaan Intelijen. Disebutkan bahwa Rahasia Intelijen, salah satunya dikategorikan dapat: a) membahayakan pertahanan dan keamanan negara;b) mengungkapkan kekayaan alam Indonesia yang masuk dalam kategori dilindungi kerahasiaannya;c) merugikan ketahanan ekonomi nasional; d) merugikan kepentingan politik luar negeri dan hubungan luar negeri. Tetapi tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai pengecualian informasi, misalnya informasi mana saja yang bisa diakses dan yang dirahasiakan dalam kategori “membahayakan pertahanan dan keamanan negara.” Dengan pernyataan yang tidak rinci, maka tafsir mengenai satu pernyataan bisa saja berbeda tergantung situasi. Agus Sudibyo, memberikan contoh lagi mengenai rahasia intelijen dengan kategori “mengungkap kekayaan alam indonesia.” Apakah artinya warga negara tidak boleh mengetahui potensi kekayaan alam yang ada di daerahnya?. Terkait dengan hubungan luar negeri, apakah warga tidak berhak untuk mengetahui kontrak-kontrak antara pemerintah dengan korporasi asing? Pasal-pasal semacam ini jelas berpotensi membungkam hak warga negara untuk mengakses informasi terkait kepentingan rakyat.

Angger Jati Wijaya dari PBHI dalam presentasinya memaparkan bahwa penataan ulang keamanan nasional memang harus dilakukan karena tantangan di sektor keamanan negara semakin kompleks. Kehadiran UU Intelijen ini bisa dibaca sebagai reformasi UU keamanan. Namun reformasi di sektor keamanan nasional harus mengedepankan gagasan keamanan manusia (human security). Artinya bukan hanya “negara” yang harus dijaga, tetapi juga negara harus menjamin dilindungi rasa aman manusia seluruh warga beserta pemenuhan hak-hak dasarnya. Namun UU Intelijen tidak mengacu pada gagasan human security, tetapi lebih pada keamanan negara yang bisa melakukan apa saja, termasuk pelanggaran HAM, atas nama negara. Padahal keamanan manusia harus diposisikan di atas keamanan negara. Menurut Angger Jati Wijaya, hampir 99% UU Intelijen membahas BIN, sehingga ini seharusnya UU untuk BIN.

Najib Azca dari sosiologi UGM mengembalikan esensi dari makna intelijen. Menurutnya intelijen adalah ranah yang tak bisa begitu saja diakses oleh publik, sehingga akan selalu menghadapi tegangan dengan demokrasi. Indonesia, sejak tahun 1998 memang mengalami transisi demokrasi yang prosesnya cukup lama. Bahkan di beberapa negara, transisi demokrasi berjalan permanen seperti di Pakistan. Di dalam transisi demokrasi inilah terjadi kondisi ketidakpastian, baik dalam kelembagaan, pembuatan UU. Pertarungan antara otoritarian dan demokrasi akan selalu terjadi, tetapi yang penting adalah melacak arahnya. Apakah arah negara ini berjalan ke proses konsolidasi demokrasi atau sebaliknya. Hingga saat ini, konsolidasi demokrasi di negara ini pun menghadapi jalan terjal. Seperti yang dikatakan juga oleh Agus Sudibyo, masyarakat sipil seperti lembaga swadaya masyarakat, pers, masih terpecah-pecah pascareformasi. Tidak ada yang mengawal agenda bersama. Agus Sudibyo mengatakan bahwa begitu banyak UU yang kontraproduktif bisa lolos tanpa pengawalan masyarakat sipil. Mengapa organisasi masyarakat sipil (OMS) bisa lengah terhadap proses pembuatan UU ? Ini pun merupakan kritik terhadap OMS yang tak bisa bersatu untuk selalu membuat agenda bersama dalam menanggapi persoalan bangsa. Sebagai contoh, jurnalis yang paling rentan terkena UU Intelijen tidak terlalu meresponsnya dengan gigih. Tak ada konsolidasi dari pemimpin redaksi untuk mengadakan negosiasi dengan DPR atau mengangkat isu ini ke publik luas.

COMBINE Resource Institution yang mengembangkan pewarta warga untuk mendorong terjadinya transparansi dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik untuk perbaikan hidup warga juga berkepentingan terhadap implementasi UU Intelijen. Selain itu juga, hal ini bisa berdampak pada Sistem Informasi Desa yang sedang dikelola oleh berbagai desa untuk memetakan sumber daya manusia dan alam yang ada di daerahnya. Warga desa sangat berkepentingan untuk mengetahui potensi kandungan alam yang ada di sekitarnya. Apakah hak atas informasi ini tidak bisa diakses karena termasuk kerahasiaan negara? Padahal untuk mengantisipasi terjadinya bencana seperti lumpur porong Sidoarjo, warga perlu mengetahui kandungan alam yang ada di wilayahnya. Sistem Informasi Desa yang dikembangkan oleh COMBINE sebenarnya mengarah pada hak warga untuk memperoleh dan mengelola informasi terkait potensi desanya. Dalam perjalanan selanjutnya, memang dibutuhkan sebuah forum antara organisasi masyarakat sipil untuk mencermati UU yang sekiranya kontraproduktif dengan proses demokrasi dan berpotensi melanggar HAM. Konsolidasi masyarakat sipil seyogyanya menjadi agenda bersama. *** (Ade Tanesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *