BERITA

Pakar Kaji Sistem Informasi Desa

Dibaca 3 Menit

Kamis, 17 November 2011, bertempat di UC UGM telah diselenggarakan diskusi terbatas dengan para pakar yang bisa membedah gagasan program Sistem Informasi Desa (SID). Hadir dalam diskusi tersebut antara lain Eko Teguh (Pakar Sosial Kebencanaan/Dosen UPN), Sudirman Alfian (Kepala Desa Terong, Bantul), Yana Noviadi (Kepala Desa Mandala Mekar, Tasik Malaya), Sutoro Eko ((Pakar Pemberdayaaan Masyarakat Desa/Dosen APMD Yogyakarta), dan lain-lain.

Diskusi ini lebih difokuskan pada 3 hal penting, yaitu: Pertama, substansi; yaitu terkait dengan isi dari Sistem Informasi Desa. Dimana mulai muncul tuntutan/kebutuhan bahwa SID semata-mata tidak menyajikan data yang sifatnya administrasi saja namun juga bisa dipakai sebagai rujukan untuk mendapatkan data warga miskin, untuk kebencanaan, kesehatan, dsb. Artinya, data tersebut bisa dipakai sebagai ‘rujukan’ untuk program-program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Kedua, sistem; yaitu terkait dengan keamanan data, kemudahan mengakses, kemudahan memperbarui (update), serta menarik dari sisi tampilan. Sedangkan yang ketiga tentang roadmap advokasi. Baik advokasi untuk mempersiapan keempat pra-syarat SID yang terdiri dari perangkat keras (hardware) misal komputer dan webbased, Perangkat lunak (software) misal aplikasi dan data, Perangkat manusia (humanware) misal motivasi, kebutuhan dan ketrampilan, serta Perangkat sosial (sosioware) misal aturan sosial dan komitmen.

Substansi

Secara umum peserta diskusi berpandangan bahwa data yang ditampilkan dalam SID sudah cukup memadai. SID sudah bisa mempermudah dan mempercepat. Refleksi dari 3 desa yang sudah mengembangkan SID (Terong, Nglegi, dan Mandala Mekar) menunjukkan bahwa SID yang sudah ada sekarang sangat bermanfaat bagi pemerintah desa. Di Mandala Mekar misalnya, data yang tersaji di dalam SID bisa memperkuat usulan-usulan pembangunan desa dan memperkuat akuntabilitas pelaksanaan pembangunan desa. Sementara untuk di Nglegi dan Terong, SID semakin memperlancar perencanaan pembangunan yang partisipatif dan perbaikan pelayanan publik.

Meskipun sudah cukup baik, namun cukup banyak tanggapan dari peserta untuk perbaikan SID di masa depan. Adapun beberapa usulan yang muncul seperti penyajian angka kemiskinan di level desa, pengintegrasian data-data yang dimiliki pemda –instansi terkait—ke dalam SID. Hal yang sangat penting adalah tidak mempertentangkan antara SID dengan profil desa. Bahkan profil desa bisa menjadi acuan sebagai data awal SID, walaupun data tetap berjangkar pada kebutuhan desa. Tampilan web SID juga dirasakan belum cukup menarik, sehingga perlu memasukkan foto-foto desa. Tidak kalah penting adalah terbaharuinya data secara kontinyu, sehingga diharapkan desa mempunyai SOP yang bisa mengatur hal tersebut.

Adapun tantangan yang akan dihadapi dalam pengembangan sistem informasi desa antara lain:

•    Pengintegrasian bukanlah persoalan sederhana. Karena 1) Data yang dimiliki SKPD di kabupaten sering kali berbeda beda; 2) antara data yang satu dengan data yang lain dibangun dengan aplikasi yang berbeda sehingga tidak kompatibel untuk ‘didialogkan’.
•    Dari sisi teknis (sistem) penambahan isi/item bukanlah persoalan sederhana.
•    Tentang isi data, penting untuk diperhatikan adalah akurasi data. Jika melihat data-data yang selama ini disajikan oleh pemda terlihat bahwa ada manipulasi. Masyarakat sebagai sumber informasi, sering kali tidak mau jujur ketika dimintai data.

Sistem
Hal mendasar yang muncul terkait dengan pembahasan sistem adalah: siapakah yang memiliki data SID? Bagaimana pengamanan terhadap data tersebut? Siapa yang bisa mengakses? Mas Eko Teguh mengingatkan jangan sampai data tersebut justru membuat aset desa dikuasai oleh ‘orang asing’ sehingga secara ekonomi masyarakat desa justru kehilangan kedaulatannya. Dia juga menyampaikan, selain aspek kemanfaatan data, COMBINE juga penting menyampaikan residu dan resiko-resiko yang bisa muncul dengan adanya SID.

Sementara Pak Yohanes menyampaikan, lebih baik jika SID tidak menjadi semacam aplikasi yang siap pakai. Karena pada prakteknya data akan hidup jika dipelihara dan akan mati jika dibiarkan. Apa yang disampikan Pak Yohanes sejalan dengan Widianto yang menyampaikan bahwa prinsip open source bukan semata-mata data tersebut gratis namun juga terbuka untuk dikurangi dan ditambahi. Hal lain yang disampaikan Widianto, ketika ada mimpi SID direplikasi secara nasional maka akan berhadap dengan masalah yang sering kali muncul: jika dibuat top down biasanya mahal tapi saling kompatibel; jika bottom up biasanya sesuai kebutuhan masyarakat namun belum tentu kompatibel dan bisa saling ‘berdialog’.

Roadmap Advokasi
Dalam roadmap advokasi, terutama jika SID akan direplikasi sampai tingkat nasional maka perlu memperhatikan aspek politik, isntitusionalisasi, dan governance. Sutoro Eko, memaparkan ada 4 strategi advokasi SID: fasilitasi, emansipasi, rekognisi, dan intervensi. Dia sampaikan, COMBINE tidak mungkin menggantikan peran negara, sementara jika negara melakukan rekognisi dan intervensi seringkali program tersebut gagal. Sehingga yang paling ideal adalah bagaimana agar SID ini menjadi milik masyarakat, muncul emansipasi dalam pengelolaan SID dari masyarakat. Pak Sudirman menyampaikan, SID adalah teknologi tepat guna yang dikembangkan desa, karena itu aspek regulasi tidak begitu penting. SID adalah kedaulatan desa dalam mengelola informasi. Sedangkan untuk menyiapkan prasyarat SID, banyak program-program pemerintah yang bisa diarahkan menuju pada persiapan 4 prasyarat SID. Misalnya program-program pelatihan IT untuk kesiapan sumber daya manusia pengelola SID.  (Haryana)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *