BERITA

Membangun Karakter Anak dengan Sastra

Dibaca 2 Menit
BERITA

Membangun Karakter Anak dengan Sastra

Dibaca 2 Menit

Ada dua tolok ukur bilamana karya sastra yang baik: dulce et utile. Karya sastra yang baik wajib memberi nikmat (dulce) dan sekaligus mengasih kegunaan pada pembacanya (utile). Dalam tataran kenikmatan, pembaca merasa senang, tertarik, dan terhibur saat dan setelah membaca karya sastra. Dan, segera atau agak lama setelah membaca karya sastra, secara tidak langsung, pembaca memperoleh sesuatu yang dapat mendewasakan dirinya melalui moral dan wawasan kehidupan atau nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut.

Tetapi, selain jarang ada yang memberi kenikmatan dalam membaca karya, sastra modern juga cenderung abai terhadap pesan moral. Isinya hanya dipenuhi oleh aneka ragam pemikiran yang belum tentu ada kaitannya dengan moral. Oleh karena itu, amat diperlukan membaca semua karya sastra yang ada, di mana guru bersama siswa memilih karya sastra yang baik tutur ceritanya dan kental akan nilai pendidikan sebagai bahan pemebalajarannya.

Demikian poin penting tentang letak sastra dalam membentuk karakter anak, yang disampaikan oleh B. Ramhanto, dosen jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, pada Diskusi Dwi Bulanan Dinamika Edukasi Dasar (DED) yang bertajuk “Membangun Karakter Anak Melalui Pembelajaran Sastra”, Kamis (25/8) pagi. Beberapa guru dari sekolah-sekolah di Yogyakarta, hadir mengikuti diskusi tersebut. Turut hadir COMBINE Resource Institution (CRI), dan beberapa lembaga yang peduli terhadap pendidikan, serta kalangan umum yang tertarik akan tema diskusi.

Selain menghadirkan B. Rahmanto selaku pembicara, DED juga menngundang sastrawan Joko Pinurbo, untuk memberi materi diskusi . Diskusi ini merupakan putaran ketiga dari 6 seri diskusi yang direncanakan oleh DED tiap dua bulan sekali dengan tema utama “Membangun Karakter Melalui Pendidikan Sekolah”.

Pada diskusi yang dimulai sejak pukul 09.00 WIB itu, Joko Pinurbo mengakui bahwa dulu, tiap siswa wajib baca buku. “Saya, sebagai generasi yang dididik dengan membaca, masih ingat buku apa saja yang telah saya baca. Pada 1970-an itu, guru sekolah saya tidak akan memberi saya nilai bila buku yang ia pinta untuk saya baca, belum habis benar,” aku Joko.

Kini, melihat kurikulum pada mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah-sekolah, dari tingkat SD-SMA, sudah tidak ada lagi kewajiban untuk membaca buku (baca: sastra). Untuk menyiasati sempitnya ruang lingkup sastra dalam pembelajaran, B. Rahmanto memberi usul kepada para guru atau pemerhati pendidikan dan sastra sekaligus untuk, “…membuat gerakan dengan mengumpulkan karya-karya terbaik yang mengandung nilai-nilai sejak taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas.” Betapapun B. Rahmanto mengakui, “Ini jelas membutuhkan dana dan sponsor yang mau berbuat ‘kegilaan’ bersama-sama.”

Joko Pinurbo memberi tanggapan kepada peserta disksui, bahwa pemberian karya sastra kepada anak didik memang harus berjenjang. “Yang kita takutkan jika bahasa mencerminkan sikap,” kata Joko. Ia mencontohkan sajak Aku dari Charili Anwar. Sepotong sajak Aku itu yang tertulis, Aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang/, kalau diberi langsung kepada anak didik SD, akan menimbulkan ‘bencana’. Mereka, anak didik itu, akan menganggap kalau seorang manusia (dalam sajak: Chairil) adalah binatang, atau orang yang mengaku berperangai binatang. Padahal, “Maknanya tidak jalang seperti itu,” kata Joko lagi.

Khairul Anam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *